Shukee Begum (33) adalah seorang Muslimah Inggris yang pergi ke wilayah yang diduduki kelompok “Daulah Islamiyah”, atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, bersama 5 anaknya. Pada bulan Agustus lalu, ia melakukan perjalanan ke Suriah untuk mencari suaminya, Jamal Al-Harits, seorang mualaf yang sebelumnya diketahui bernama Ronald Fiddler.
Jamal adalah seorang mantan tahanan Guantanamo. Dia meninggalkan Inggris 18 bulan yang lalu untuk bergabung dengan ISIS. Jamal mendesak Shukee untuk pergi ke Suriah bersamanya, meskipun istrinya itu tengah hamil enam bulan anak kelima mereka pada saat itu. Shukee pun menolaknya.
Tapi ketika bayinya berusia empat minggu, Shukee membawa kelima anaknya ke Turki untuk liburan di negara itu dan kemudian melintasi perbatasan setelah ia mengaku telah berulang kali mendapat tekanan dari suaminya untuk bergabung dengannya di Suriah.
Shukee yang merupakan seorang sarjana hukum dari Greater Manchester itu menegaskan bahwa ia tidak mendukung ekstrimis ISIS, dan mengatakan ia hanya ingin membujuk Jamal untuk pulang.
Mengapa Shukee berani pergi ke wilayah yang diduduki ekstrimis? Mengapa ia membawa serta anak-anaknya? Bagaimana perjalanannya hingga ia bisa kembali bebas? Video ini merupakan sebuah laporan yang menampilkan wawancara yang dilakukan oleh jurnalis senior asal Amerika, Bilal Abdul Kareem, dengan Shukee Begum, yang ditayangkan Channel 4 pada Rabu (14/10/2015). Berikut terjemahannya.
***
Ini adalah kisah Shukee Begum, ibu dari lima anak berkebangsaan Inggris yang lolos dari ISIS. Ia menghabiskan 10 bulan di bawah otoritas ISIS dan kemudian 3 bulan di penjara Suriah. Kisahnya ini kontroversial, karena ia pergi ke sana untuk mencari suaminya yang merupakan seorang pendukung ISIS. Pekan lalu program [Channel 4] ini mengungkapkan suaminya adalah Jamal Al-Harits, seorang mantan tahanan Teluk Guantanamo.
Sekarang Shukee berencana untuk kembali ke Inggris. Perjalanannya ke Suriah dimulai setelah liburannya di Turki bulan Agustus lalu. Saat itu ia terlihat [berlibur] dengan paralayang di sana. Beberapa hari kemudian, ia membawa kelima anaknya, termasuk bayinya yang baru berusia empat minggu, ke seberang perbatasan.
Ia mengatakan kepada jurnalis Bilal Abdul Kareem bahwa ia memulai perjalanan berbahaya ini karena ia ingin mengajak suaminya pulang ke rumah.
“Dia suamiku dan tiba-tiba dia tidak ada di sana. Jadi [rumah kami] tidak terasa seperti di rumah lagi. Aku mencoba untuk mengatur urusan sekolah dan hal-hal seperti itu [sendiri di rumah].
Aku tengah berpikir tentang masa depan anak-anak. Apakah dia akan menjadi bagian dari masa depan anak-anak? Apakah dia akan kembali? Semua hal yang wajar terpikir dibenakmu.
Aku melihat dalam pemberitaan bahwa pada titik ini ISIS telah menjadi dari buruk menjadi lebih buruk lagi. Jadi aku memutuskan bahwa aku akan mencoba berbicara dan menyampaikan beberapa pengertian kepadanya.
Pada saat yang sama aku juga ingin bertemu dengannya. Aku ingin anak-anak melihat ayah mereka. Aku ingin bayiku bertemu ayahnya juga. Itulah hal-hal yang terpikirkan olehku.”
Saat Anda berpikir bahwa Anda akan pergi untuk bergabung dengannya di sana, apa yang membuat Anda membawa anak-anak?
“Suamiku adalah seorang pria yang sayang keluarga. Aku begitu mengenalnya. Aku sudah menikah dengannya selama 11 tahun. Aku selalu tahu bahwa dia adalah orang yang baik dengan karakteristik yang baik.
Bagiku, membawa anak-anak untuk bertemu dengannya dan kemudian pergi jauh dari sana, itu akan memberikan kekuatan lebih dari apa pun yang bisa ku katakan pada saat itu.”
Setelah di Suriah, Shukee dan keluarga dibawa ke kubu ISIS, Raqqah. Ia ditempatkan di safe-house ISIS bersama puluhan wanita lainnya dan keluarga mereka, menunggu untuk bertemu kembali dengan suaminya.
Sejak mengambil alih sejumlah wilayah Suriah dan Irak, ISIS telah membanjiri media sosial dengan gambar-gambar yang menampilkan kehidupan yang terkesan sangat indah di bawah kekuasaan mereka, tetapi Shukee mengatakan bahwa kenyataannya sangatlah berbeda.
“Anda akan mendapati ratusan keluarga yang tinggal dalam satu ruangan, berbagi mungkin satu atau dua kamar mandi di antara mereka, satu atau dua dapur di antara mereka. Anak-anak yang menangis, anak-anak yang sakit.
Ada semacam mentalitas gangster di kalangan para wanita lajang di sana. Obrolan seputar kekerasan – berbicara tentang perang, pembunuhan. Mereka biasanya duduk bersama dan meringkuk menghadap laptop mereka dan menonton video-video ISIS bersama serta mendiskusikannya dan segala sesuatunya. Itu bukanlah minatku.”
Akhirnya ia bertemu kembali dengan suaminya dan ia pindah ke sebuah rumah di dekat Al-Bab di Suriah utara, tapi ia mengatakan bahwa dirinya tak bisa meyakinkan suaminya untuk pergi dari sana.
Shukee mengatakan hanya berencana untuk tinggal di Suriah selama satu bulan tapi sekarang tanpa uang dan paspor ia terjebak di sana.
“Ini adalah yang ingin saya jelaskan kepada wanita-wanita lain yang berpikir untuk datang ke wilayah ISIS – bahwa kalian jangan berharap bisa datang ke wilayah ISIS dan kemudian dapat pergi lagi dengan mudahnya. Tidak ada otonomi pribadi sama sekali [di sana].
Aku meminta suamiku untuk pergi dari sana dan dia tidak ingin kami pergi…
Dan setelah itu aku menulis surat ke pengadilan [ISIS], meminta izin untuk pergi. Surat ini diedarkan dari satu tempat ke tempat lainnya selama berbulan-bulan. Beberapa bulan yang lalu baru ada respon dari mereka dan mereka mengatakan bahwa Anda tidak diizinkan untuk pergi.”
Jadi mereka tidak mengizinkan Anda pergi?
“Ya, karena kaum wanita dan anak-anak ada di bawah otoritas ISIS.”
Setelah putus asa untuk melarikan diri, Shukee mencoba mengontak kelompok penyelundup yang setuju untuk membantunya. Pada bulan Juni mereka memindahkannya dan keluarganya dari Al-Bab ke sebuah rumah di Azaz, dekat perbatasan Turki.
Gambar ini diambil setelah mereka tiba. Berharap akan segera dipindahkan ke Turki setiap harinya. Namun ia dan anak-anaknya kemudian malah ditempatkan di Aleppo, kota Suriah yang telah dihancurkan [oleh bombardir rezim Nushairiyah].
“Kami ditahan di sebuah penjara bawah tanah tanpa sinar matahari alami selama 86 hari. Anak-anak terpaksa memakai pakaian yang sama selama dua minggu pertama.
Anakku yang berusia tiga tahun, ia suka mengompol, dan kami tidak memiliki pakaian untuk ganti. Aku mencuci pakaian dan aku menggantungnya hingga kering. Ia harus berada di bawah selimut sepanjang hari sementara menunggu pakaiannya kering.
Aku meminta untuk mengontak keluargaku. Aku meminta kalau-kalau aku bisa mengirim pesan untuk memberitahu mereka bahwa aku baik-baik saja, dan mereka bahkan tidak mengizinkanku untuk melakukannya.
Aku bukan ISIS, dulu maupun sekarang. Aku tengah berharap itu akan menjadi faktor penentu dan mereka akan mengizinkan kami pergi setelah beberapa saat.
Aku punya bukti juga. Aku katakan kepada mereka: Kalian bisa memeriksa Facebook-ku, kalian bisa memeriksa akun email pribadiku. Tidak ada apa pun yang menunjukkan bahwa aku adalah seorang pendukung ISIS.”
Ia harus meyakinkan para penahannya bahwa ia tidak mendukung kelompok “Daulah Islam” maupun tujuan-tujuannya. Setelah hampir tiga bulan dipenjara di Aleppo, ia akhirnya dibebaskan. Bilal Abdul Kareem membantu memfasilitasi pembebasannya.
Shukee Begum dan keluarganya kini dilaporkan aman dan tinggal di Suriah, dekat perbatasan Turki. Ia mengatakan kepada Bilal Abdul Kareem bahwa ia menunggu waktu yang tepat sebelum kembali ke Inggris karena ia takut ia bisa menghadapi tuduhan-tuduhan terorisme.
“Aku akan senang sekali kembali ke Inggris. Inggris adalah rumahku. Aku dibesarkan di sana. Teman-temanku di sana. Keluargaku di sana. Itulah yang ku sebut sebagai rumah.
Tapi aku masih tidak yakin saat ini, dengan track record pemerintah baru-baru ini, bahwa Inggris merupakan tempat di mana aku bisa memperoleh keadilan. Aku harap aku salah [tentang hal ini].”
(banan/arrahmah.com)