Sekitar 5.000 orang Inggris memeluk Islam setiap tahunnya – dan kebanyakan dari mereka adalah para wanita berpendidikan. Guardian pada Jum’at (11/10/2013) memaparkan pengalaman seorang atheis wanita Inggris yang akhirnya memeluk Islam dan merasakan ketenangan setelahnya.
Berikut adalah kesaksian Ioni Sullivan (37), seorang mualaf yang berasal dari Sussex Timur, Inggris.
Saya telah menikah dengan seorang Muslim dan memiliki dua orang anak. Kami tinggal di Lewes, di mana saat ini saya mungkin merupakan satu-satunya wanita berkerudung di desa ini.
Saya dilahirkan dan dibesarkan di sebuah keluarga kelas menengah, yang berhaluan kiri, dan atheis. Ayah saya adalah seorang profesor, dan ibu saya adalah seorang guru. Setelah saya menyelesaikan Master (M.Phil) saya di Cambridge pada tahun 2000, saya bekerja di Mesir, Yordania, Palestina dan “Israel“.
Pada waktu itu, saya memiliki pandangan yang cukup stereotip tentang Islam. Tetapi saya kemudian merasa sangat terkesan dengan kekuatan umat Islam yang berasal dari iman mereka. Di tengah ujian hidup, hampir setiap orang Islam yang saya temui tampaknya menjalani hidup mereka dengan ketenangan dan keseimbangan yang sangat berbeda dengan orang-orang yang saya temui sebelumnya.
Pada tahun 2001, saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang Muslim Yordania. Dia bukanlah orang yang cukup mempraktekkan Islam dalam kehidupannya. Pada awalnya kami hidup dengan gaya hidup sangat Barat, pergi ke bar dan klub. Tetapi pada waktu itu saya juga mulai kursus bahasa Arab dan mempelajari salinan terjemahan Al-Qur’an berbahasa Inggris.
Saya mendapati diri saya tengah membaca sebuah kitab yang menyatakan bukti adanya Tuhan terdapat dalam keindahan yang tak terbatas dan keseimbangan penciptaan semesta. Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang meminta saya untuk mempercayai bahwa Tuhan itu mengatur dunia dengan berwujud dan bertingkah laku seperti manusia. Saya tidak membutuhkan seorang pendeta untuk memberkati saya atau sebuah tempat suci khusus untuk berdoa.
Lalu saya mulai giat mencari tahu ibadah Islam lainnya: puasa, zakat wajib, ilmu adab. Saya pun berhenti menganggap semua itu sebagai pembatasan kebebasan pribadi. Dan saya mulai menyadari bahwa semua itu merupakan cara-cara bagi manusia untuk mencapai pengendalian diri.
Dalam hati saya, saya mulai mempertimbangkan untuk menjadi seorang Muslim, tetapi saat itu saya belum merasa perlu untuk mengumumkannya. Ada bagian dari diri saya yang mencoba untuk menghindari konflik dengan keluarga dan teman-teman saya.
Pada akhirnya, kerudunglah yang mengenalkan saya [sebagai seorang Muslimah] kepada masyarakat yang lebih luas: saya mulai merasa bahwa saya tidak bersikap jujur kepada diri sendiri jika saya tidak mengenakan kerudung.
Ternyata ini bukan hanya mendatangkan beberapa gesekan, namun juga mengundang humor: orang-orang terus bertanya dengan suara lirih, menduga-duga bahwa saya [mengenakan kerudung lantaran] menderita kanker.
Bagaimanapun saya takjub mendapati semua hubungan berharga yang saya miliki tetap terjaga. (banan/arrahmah.com)