XINJIANG (Arrahmah.id) — Sejumlah warga etnis Uighur melakukan aksi unjuk rasa di berbagai negara dunia. Unjuk rasa ini dalam rangka menantikan keadilan dari peristiwa yang terjadi 13 tahun silam.
“Kita harus mengingat hari itu,” kata Presiden Kongres Uighur Dunia (WUC) yang berbasis di Jerman, Dolkun Isa seperti dilansir dari RFA (12/7/2022).
Dolkun Isa menjelaskan pada 5 Juli 2009 terjadi kekerasan di Urumqi, Xinjiang, Tiongkok. Pada saat itu diperkirakan ratusan orang tewas dan ribuan lainnya terluka. Mayoritas korban merupakan warga Uighur.
Kelompok pegiat HAM termasuk Isa meyakini jumlah korban sebenarnya melebihi angka yang diungkap pemerintah setempat. Isa menilai terjadi praktik genosida terhadap warga Uighur yang nyaris tak berkesudahan.
Ia menyebut pada akhir 2016 dan 2017, otoritas setempat juga melakukan kekerasan terhadap etnis Uighur dan minoritas Turki. Kekerasan itu seperti penculikan dan penahanan secara sewenang-wenang sekitar 1,8 juta orang.
Sejumlah tahanan yang dibebaskan mengaku mendapatkan berbagai pelanggaran HAM selama ditahan. Dari penganiayaan, kerja paksa hingga pemerkosaan.
Unjuk rasa juga digelar di Australia. Sebanyak 15 anggota Asosiasi Wanita Uighur Tangritagh Australia melakukan aksi proters di luar sebuah mal di Adelaide. Mereka menuntut agar pemerintah Australia melarang impor barang yang dibuat dengan cara paksa di Xinjiang.
Sementara di Istanbul, Turki, warga Uighur menambahkan praktik genosida sedang berlangsung. Mereka meminta masyarakat internasional turut menghentikan praktik tersebut.
“Kami meminta masyarakat internasional untuk tidak tinggal diam dan mengambil tindakan terhadap genosida ini,” kata Ketua Aliansi Turkestan Timur (Sebutan Xinjiang) di Istanbul, Hadayetulla Oghuz.
Aksi unjuk rasa ini juga dilakukan orang-orang Uighur di beberapa kota atau negara lainnya. Seperti Amerika Serikat (New York dan Washington D.C), Jepang, India, dan Kanada.
Mereka kompak menuntut pemerintah Tiongkok segera mengakhiri pelanggaran HAM terhadap minoritas, termasuk etnis HAN. Mereka ingin pihak Tiongkok tidak menggunakan kaca mata subjektif dalam melihat persoalan. (hanoum/arrahmah.id)