PARIS (Arrahmah.id) – Serikat pekerja dan kelompok anti-rasisme mengkritik inisiatif kementerian dalam negeri Prancis untuk memeriksa jumlah anak Muslim yang bolos sekolah bulan lalu untuk merayakan Idul Fitri.
Kementerian dalam negeri Prancis mengatakan pada Ahad (21/5/2023) bahwa pihaknya telah memerintahkan “evaluasi tingkat ketidakhadiran yang dicatat pada momen Idul Fitri.”
Kementerian “secara teratur mempelajari dampak dari beberapa acara keagamaan terhadap kinerja pelayanan publik, dan terutama di sektor pendidikan,” bunyi pernyataan dari menteri Sonia Backes.
Di kota Toulouse, polisi meminta kepala sekolah setempat untuk melaporkan jumlah anak yang tidak hadir pada 21 April, yang menimbulkan tuduhan bahwa pihak berwenang sedang membuat daftar – yang dibantah oleh Backes.
Serikat guru terbesar di negara itu, FSU, mengatakan dalam sebuah pernyataan yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin pada Senin (22/5) bahwa mereka “mengecam keras operasi ini.”
“Mencoba membuat statistik oleh pasukan keamanan tentang keyakinan agama dan ketaatan mereka atau tidak, terutama di lingkungan sekolah, bertentangan dengan prinsip dasar sekularisme dan hak-hak dasar,” katanya.
Serikat buruh (CGT) menyebutnya sebagai “stigmatisasi yang memalukan dan berbahaya.”
Menggunakan polisi untuk melakukan pemeriksaan itu “sangat mengejutkan karena mengaitkan ketaatan agama Islam dengan masalah keamanan,” kata kelompok anti-rasisme SOS Racisme.
Prancis memiliki bentuk sekularisme ketat yang berusaha memisahkan negara dan berbagai cabangnya dari agama dan badan keagamaan, sambil menjamin kebebasan beribadah bagi semua orang.
Mengumpulkan informasi tentang etnis atau keyakinan agama juga dilarang di Prancis berdasarkan undang-undang anti-diskriminasi negara tersebut. (zarahamala/arrahmah.id)