Pergolakan sosial sejak awal 2011 di Afrika Utara dan Timur Tengah memberi banyak inspirasi kepada dunia, tak terkecuali umat Islam. Kejadiannya mengalir, disulut oleh suatu peristiwa yang tampak biasa. Bermula dari perlawanan seorang pemuda tukang buah yang membakar diri akibat gejolak kemarahan yang membuncah di dadanya dan tertahankan lagi, sementara salurannya tak ada. Ia merasa membentur tembok kokoh yang membuat semua jeritan dan tuntutan keadilan yang ia teriakkan menguap terbawa angin.
Tak disangka, peristiwa itu berbuntut panjang. Sontak solidaritas sosial menyebar di tengah rakyat Tunisia yang juga merasakan gumpalan kemarahan serupa. Maka intimidasi aparat tak lagi menakutkan mereka, bahkan kematian juga tidak lagi menjadi penghalang untuk protes dan melawan, bersama-sama dalam satu solidaritas yang mengagetkan penguasa. Seluruh negeri diselimuti kemarahan. Perlawanan menyebar laksana virus menular, hingga ujungnya berhasil membuat penguasa Tunisia terjungkal dari singgasananya.
Keberhasilan Tunisia dengan gegap gempita ditiru oleh rakyat Mesir, yang juga merasakan penindasan serupa. Rejim Husni Mubarak yang didukung oleh kekuatan AS, Israel dan Eropa tak urung juga tumbang. Tak lama kemudian Libya mendapat giliran. Rejim Muamar Gadafy makin tersudut, berada di ambang kebinasaan. Perlawanan yang ia lakukan tak lebih upaya memperlambat hitung mundur untuk kejatuhannya. Yaman juga sedang mengharu-biru, Bahrain, bahkan Saudi yang dikenal konservatif juga ketularan virus pergolakan sosial.
Siapa Memetik Buah Pergolakan ?
Dunia Arab sedang membara. Para rejim penguasa berada pada titik nadir control politik terhadap rakyatnya sendiri, sebaliknya rakyat dalam posisi paling kuat dalam rentang sejarah mereka. Keadaan ini laksana gadis molek yang menarik untuk dipinang oleh siapapun yang punya kepentingan, baik Amerika, Israel, Eropa, Nasionalisme Arab, Demokrasi, Sosialisme, Syiah, Al-Qaeda, dll.
Meski semua berminat untuk memetik buah pergolakan, tapi fakta menunjukkan bahwa terdapat sejumlah keprihatinan yang membuat kita – aktifis Islam – cukup tahu diri untuk tidak mengklaim apa yang tidak nyata. Mengklaim memetik buah revolusi, padahal tidak ada buktinya. Bahwa revolusi ini dikawal oleh ideology Nasionalisme, dengan bumbu Liberalisme, semangat kerakyatan atau kebangsaan – bukan keumatan – dan kesetiaan terhadap jargon HAM, sangat jauh untuk dianggap aktifis Islam telah mengawal dan memetik buahnya dengan baik.
Secara umum kaum Islamis tak memetik buah revolusi. Kalaupun ada buah yang ‘kebetulan’ bisa dipetik, itu bukan hasil dari sebuah strategi yang disusun dengan sengaja sebelumnya oleh para aktifis Islam. Tapi semata berkah yang datang tanpa diundang, sebagai karunia dari Allah.
Misalnya buah berupa keterbukaan, yang sebelumnya sangat represif. Keterbukaan yang memungkinkan semua orang boleh menyuarakan apa saja sepanjang tidak masuk ranah anarkis. Buah ini bisa dipetik oleh aktivis Islam dengan memanfaatkannya sebagai peluang menyampaikan materi dakwah sesukanya dan seluasnya karena tak lagi dianggap sebagai makar melawan rejim.
Tapi jangan salah, keterbukaan laksana pisau bermata dua. Buah ini juga dipetik dengan baik oleh aktivis Kristen untuk leluasa melakukan Kristenisasi, aliran sesat untuk menyusupkan aliran sesatnya, Syiah untuk menebar racun pemikiran anti Sahabat, dan semuanya. Tak akan jauh beda dengan apa yang dialami Indonesia setelah pergolakan sosial tahun 1998 berhasil menumbangkan rejim Soeharto, berganti menjadi era keterbukaan. Saat ini kita juga dipusingkan dengan maraknya aliran sesat, kristenisasi, syiah dan sebagainya.
Maknanya bahwa keterbukaan dan hilangnya sikap represif dari penguasa, bukan karunia khas yang hanya diturunkan dari langit untuk aktifis Islam. Ia merupakan buah kemenangan milik bersama, karena ketika memperjaungkannya juga bersama-sama, diikat oleh semangat nasionalisme. Al-jaza’ min jinsil ‘amal, bentuk imbalan itu sesuai dengan bentuk usaha.
Umat Islam, Basis Massa Pergolakan Rakyat
Satu hal pasti yang bisa kita ambil kesimpulannya dari pergolakan sosial di tanah Arab adalah bahwa umat Islam merupakan basis massa terbesar . Hal ini logis, tak memerlukan pengujian empiris, sebab mayoritas masyarakat Arab beragama Islam. Kalaupun perlu pengujian empiris, hanya sekedar untuk mencari jumlah prosentase yang akurat.
Sebetulnya tidak ada hal istimewa dari pergolakan rakyat ini. Kurang lebih sama dengan yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Sama-sama tak bernafaskan sentimen Islam, tapi sentimen nasionalisme. Mesir diikat oleh nasionalisme Mesir, Tunisia juga diikat oleh sentimen nasionalisme Tunisia. Demikian juga Libya dan negara-negara Timur Tengah lain. Bedanya hanya karena dunia Arab dikenal konservatif, tak ada budaya demonstrasi dan protes masal tapi tiba-tiba bisa menumbangkan rejim hanya dengan demonstrasi. Dan berlangsung tiba-tiba dan sangat cepat.
Perobahan yang datang tiba-tiba inilah yang melahirkan banyak spekulasi tentang masa depan dunia Arab pasca tumbangnya rejim-rejim represif dan berobah menjadi lebih terbuka. Siapa yang akan mengambil manfaat terbesar dari situasi ini? Apakah kembali Amerika, Israel dan Eropa akan tetap menancapkan kukunya, ataukah ada perubahan konstelasi? Di posisi mana para aktifis yang selama ini dikenal berbenturan dengan penguasa? Lalu di mana Al-Qaeda dan aktifis jihad lain? Apa yang sedang mereka persiapkan?
Ataukah baru sekedar menjawab pertanyaan; apa yang bisa diambil pelajaran dari pergolakan ini? Apakah bisa umat Islam yang dengan spontan turun ke jalan melakukan perlawanan terhadap rejim zalim, bisa diajak turun sekali lagi untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih khas Islam? Apakah kejadian ini bisa direkayasa ulang, ataukah hanya terjadi kali ini?
Maklum, karena apa yang umat Islam Arab suarakan dalam pergolakan rakyat ini hanyalah jargon kemanusiaan yang bukan khas Islam. Tapi jargon yang universal, misalnya keterbukaan, kebebasan bersuara, HAM, bahkan Demokrasi. Universal dalam makna diterima semua bangsa di dunia karena mainstream pemikiran dunia seperti itu, setidaknya untuk saat ini.
Oleh karenanya kita mesti realistis. Tidak perlu terlalu tinggi berharap bahwa pergolakan ini akan melahirkan Khilafah, bahkan untuk sekedar berharap menjadi salah satu anak tangga menuju tegaknya Khilafah. Karena bahan baku dan pondasi tegaknya Khilafah tidak mungkin dengan corak pergolakan nasionalisme dengan bumbu HAM dan Demokrasi seperti ini.
Makanya Al-Qaeda dalam memandang pergolakan sosial di dunia Arab juga cukup hati-hati. Mereka tak larut dalam euforia anggapan bahwa basis massa terbesarnya adalah umat Islam, oleh karenanya bisa dititipi agenda yang khas Islam. Al-Qaeda tak melihat sampai ke situ. Mereka hanya mendukung dalam bab keberanian menumbangkan rejim zalim, sebab tumbangnya kezaliman merupakan salah satu misi terpenting Islam, sesuatu yang selama ini disuarakan dengan konsisten oleh Al-Qaeda.
Bahwa menumbangkannya dengan dibingkai sentimen nasionalisme, bukan menjadi titik permasalahan yang karenanya Al-Qaeda tidak mau mendukung. Sebab titik tekannya pada tumbangnya rejim yang menindas umat Islam. Bahkan Al-Qaeda dalam merumuskan konsep perlawanannya juga menerima model seperti ini, mencapai hasil dengan perantaraan yang tidak ideal, atau bahkan memukul dengan tangan orang lain. Dalam teori Al-Qaeda, bukan mustahil beraliansi dengan China dalam kerangka menjatuhkan Amerika, sebab Amerika merupakan bahaya terdekat sementara China masih lebih jauh. Memukul yang lebih madharat.
Namun Al-Qaeda – demikian juga kita – sadar dengan spenuhnya tak ada jaminan bahwa setelah rejim Thaghut zalim tumbang maka penggantinya bukan Thaghut yang lain. Minimal kadar ke-thaghut-annya tak sepekat dan sekejam rejim Thagut sebelumnya, karena sudah berganti dengan era keterbukaan, kesetaraan, demokratisasi dan HAM.
Tantangan Sesungguhnya, Lahirnya Perlawanan Rakyat Khas Islam
Masalahnya adalah tumbangnya kezaliman belum bisa menjadi tolok ukur keberhasilan perjuangan umat Islam. Sebab umat Islam baru berhasil digerakkan untuk memperjuangkan sesuatu yang diterima oleh semua manusia, baik kafir atau muslim, baik musyrik atau mukmin, belum sesuatu yang khas Islam.
Perjuangan umat Islam akan dinilai berhasil jika sudah mampu memperjuangkan sesuatu yang khas Islam, yang biasanya ditolak oleh manusia anti Islam pada umumnya. Penolakan ini bukan karena Islam tak sesuai dengan nurani manusia, tapi karena nurani manusia telah dirusak oleh pemikiran, aliran dan budaya sesat sehingga menolak kebenaran Islam.
Sebagai contoh, jika umat Islam dapat digerakkan secara masal untuk menumbangkan syirik, berhala, kuburan keramat, nasionalisme, demokrasi, aliran sesat, kultus individu, Yahudi, Nasrani, Amerika, Israel dan sejenisnya maka umat sudah berada di jalur perlawanan yang khas. Bukan semata perlawanan yang ikut trend masyarakat dunia yang bercorak demokrasi, liberalisme dan HAM. Sebab perlawanan dan revolusi model begini tak ada kecaman dan suara sumbang dari masyarakat dunia.
Berbeda sekali dengan perlawanan khas Islam yang menghasilkan hujatan dari masyarakat dunia, bahkan dari kalangan umat Islam secara umum. Maka tolok ukur partisipasi umat islam adalah jika berhasil digalang dan digerakkan secara masal seperti yang terjadi di dunia Arab tapi dalam konteks perlawanan khas Islam. Inilah tantangan kita sesungguhnya.
Abu Mus’ab As-Suri, tokoh jihad kontemporer yang digelari sebagai Arsitek Jihad Global oleh pengamat Barat, mengkampanyekan seruan perlawanan global yang khas Islam. Perlawanan umat Islam yang berskala global dalam rangka mengentikan dan menumbangkan rejim kafir dunia, sebagai bentuk fokus pada musuh utama. Ia mengarang buku Dakwah Muqawamah Islamiyah ‘alamiyah (Seruan Perlawanan Islam Global).
Inti gagasannya adalah mengajak sebanyak mungkin umat Islam untuk terlibat dalam perlawanan global (muqawamah ‘alamiyah). Sebab saat ini perlawanan masih bersifat “elitis”, hanya dilakukan oleh Al-Qaeda dan yang senafas dengannya, baik yang berada di ranah jihad, dakwah, nahi munkar, politik dan ekonomi. Senafas dalam semangat perlawanannya, bukan senafas dalam keharusan jihadnya.
Bukan hanya mengajak sebanyak mungkin muslim, tapi juga memberikan peta kontribusi untuk seluruh umat Islam. Seolah Abu Mus’ab As-Suri menyeru: ayo kita melawan, dengan potensi apapun yang kita punya, sebisanya, dan kapanpun, dalam satu gerak langkah bersama, untuk menumbangkan musuh bersama umat Islam.
Islam Identik dengan Perlawanan, bukan Persaingan
Islam bernafaskan perlawanan, bukan persaingan. Sebagaimana kekafiran juga dilandasi ideologi permusuhan bukan toleransi.
Sebagai contoh konsep Tauhid. Konsep ini punya misi menghapuskan seluruh bentuk syirik, tak memberi toleransi sedikitpun terhadapnya. Tidak ada kelonggaran bagi kemusyrikan untuk berkembang, tumbuh dan didakwahkan. Semuanya harus dimusnahkan.
Nabi Ibrahim as menjadi contoh terbaik tentang ideologi perlawanan dalam konteks Tauhid, bukan persaingan. Berhala dia hancurkan. Keyakinan syirik yang dipahami Namrudz dibantah dengan tegas hingga kalah telak, meski menghasilkan balasan secara fisik berupa pembakaran. Maknanya, Ibrahim as menang secara argumen Tauhid, tapi kalah secara kekuatan fisik sebab Namrudz didukung balatentara satu negara sedangkan Ibrahim as hanya seorang diri. Ini semua menegaskan satu hal; Tauhid bercorak perlawanan. Di mana tauhid tumbuh dan hidup sebagaimana mestinya, di sana syirik punah sebagai konsekwensi logis. Tak ada hidup berdampingan dengan pola persaingan sehat, layaknya dalam dunia bisnis.
Ideologi model begini sangat tidak populer di mata dunia. Mereka pasti menghujat dan melawan dengan segala daya upaya. Melawan dengan senjata Demokrasi, HAM dan Liberalisme. Celakanya, ketiga senjata itu mendominasi keyakinan dan pandangan umat manusia, tak terkecuali umat Islam.
Bahkan kota yang menjadi cikal bakal sejarah Tauhid, Makkah, yang pondasinya dibangun oleh Ibrahim as dan disempurnakan eksistensi dan perannya oleh Muhammad saw sama sekali tak membolehkan orang musyrik untuk tinggal di sana. Bahkan untuk sekedar melintas saja tidak boleh. Demikian juga Madinah, yang pondasi dan kematangan pertumbuhan kotanya dijaga oleh Muhammad saw, tak boleh dihuni sama sekali oleh orang musyrik.
Bukan hanya Makkah dan Madinah, seluruh jazirah Arab tidak boleh didiami oleh orang musyrik. Ini menandakan bahwa Tauhid yang dibawa Ibrahim as dan diteruskan oleh Muhammad saw bernafaskan perlawanan; menang atau kalah.
Ideologi perlawanan ternyata bukan hanya dalam ranah keyakinan (aqidah), tapi juga bidang ekonomi. Setelah Islam menang, segala bentuk riba diharamkan oleh Islam, dan tak mengijinkan riba beroperasi di wilayah Islam.
Begitu pula ranah sosial, misalnya perzinaan. Islam setelah menurunkan larangannya, tak mengijinkan sama sekali praktek itu tumbuh di tengah masyarakat muslim. Setali tiga uang, praktek mabuk-mabukan dengan cara apapun juga dilarang, tak ditoransi sama sekali.
Melahirkan Umat Perlawanan
Sekali lagi, tolok ukur keberhasilan aktivis Islam adalah jika mereka mampu menyuntikkan ideologi perlawanan kepada umat Islam. Atau menciptakan UMAT PERLAWANAN, bukan UMAT PERSAINGAN, menuju KEMERDEKAAN ISLAM.
Banyak aktivis Islam yang cepat puas ketika sudah berhasil mengamalkan Islam untuk dirinya sendiri atau di tengah realitas sosial umat Islam. Sebagai contoh, para aktivis ekonomi Islam, ketika mereka sudah mampu mendirikan Bank Islam atau Bank Syariah sebagai alternatif muamalat yang halal bagi umat, sudah merasa sudah mencapai tapal batas perjuangan.
Misalnya, aktivis ekonomi Islam Indonesia dengan puas bercerita tentang prestasinya yang mampu menggolkan konsep DUAL SYSTEM dalam lanskap ekonomi nasional. Yakni sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi konvensional (ribawi) berdiri sama tinggi di Indonesia, dari strata paling bawah hingga strata paling atas; bank sentral. Kepuasan ini wajar jika dibandingkan dengan Malaysia yang hanya menganut konsep WINDOW SYSTEM, yang bermakna sistem ekonomi Islam hanya sub-ordinat dari sistem ekonomi ribawi.
Padahal mau disebut dengan Dual System atau Window System, tetap saja intinya riba belum bisa di-delete dari tengah realitas sosial umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Paradigmanya masih sekedar persaingan sehat. Sistem riba dilindungi legalitasnya, sebaliknya sisten anti-riba juga legal dan dilindungi. Keduanya boleh bersaing sepuasnya, asal sehat. Meski harus diakui, dibanding dengan sekian dekade lalu, sama sekali tak ada sistem ekonomi anti-riba. Maknanya, ada kemajuan yang nyata.
Fenomena cepat puas ini dilatarbelakangi pandangan bahwa perjuangan membela dan menegakkan Islam selalu dibingkai persaingan sehat alias fairplay. Tak ada semangat mengalahkan dan mematikan lawan, yang ada ialah semangat saling menghargai. Ini merupakan racun Demokrasi yang menyusup di alam bawah sadar para aktifis. Bahwa bagaimanapun keadaannya, umat Islam harus tetap memberi ruang gerak dan ruang berkembang bagi syirik, munkar, riba, pelacuran, narkoba, pornografi, kristenisasi, aliransesatisasi, dan sebagainya. Dakwah hanya di ranah persaingan, bukan menyingkirkan.
Mendidik Resiko Perlawanan
Cita-cita menegakkan Islam tak bisa mengesampingkan ideologi perlawanan. Dan pilihan ideologi perlawanan harus dibarengi dengan mendidik umat untuk sabar menanggung beban dan resiko perlawanan.
Rasulullah saw pernah marah kepada Khabab bin Art ra gara-gara minta didoakan agar intimidasi dan penyiksaan yang dilakukan kaum musyrik kepada para Sahabat diringankan. Rasulullah saw menjawab dengan ekspresi marah, bahwa orang-orang terdahulu ada yang disiksa karena keimanannya dengan disisir dengan sisir besi hingga habis dagingnya, dan ada yang digergaji badannya hidup-hidup hingga terbelah dua, tapi tak membuat mereka mundur dari keimanannya.
Rasulullah saw kemudian menjelaskan keyakinan akan janji Allah, bahwa perjuangan menegakkan Islam akan sampai pada ending orang berjalan dari Sana’a ke Hadramaut terjamin keamanannya oleh kekuasaan Islam sehingga tak ada yang perlu ia takuti kecuali Allah, atau takut kambingnya akan diterkan oleh serigala. Lalu Rasulullah saw menutup sabdanya dengan kalimat: Tapi kalian tergesa-gesa.
Maksudnya, tergesa-gesa ingin cepat meraih kemenangan sehingga merasakan hidup nyaman tanpa gangguan dan siksaan dari musuh Islam. Bahwa yakin akan janji kemenangan harus tertanam di hati , tapi bersabar menghadapi fase sulit dalam jalan panjang menegakkan Islam juga lebih penting dimiliki. Inilah inti dari nasehat Nabi saw dalam kasus tersebut.
Oleh karenanya, selain kita perlu mengkampanyekan keyakinan akan tegaknya sistem kekuasaan dengan manhaj kenabian (atau yang biasa disebut dengan Khilafah) di akhir zaman, kita juga harus lebih gencar lagi menceritakan resiko perlawanan. Sebab jika kita hanya asyik dengan mengiming-imingi umat awam dengan janji kemenangan, tanpa dibarengi dengan pendidikan kesabaran, bisa menjadi bumerang alias blunder. Ini bagian dari ketergesaan yang karenanya Rasulullah saw marah kepada Khabab bin Art radhiyallahu anhu. Titik blundernya, akan lahir generasi yang kerjaannya menunggu janji kemenangan Islam atau Khilafah, tapi gagap dengan resiko perlawanan. Generasi tidak peka zaman.
Ketika zaman sedang mengharu-biru dengan gelora perlawanan di seluruh jengkal bumi Islam, banyak yang terbunuh, cacat, luka, depresi, janda, kelaparan, dinistakan dan semua bentuk malapetaka lain, lalu kita hanya sibuk menganalisa kapan Khilafah akan tegak, ini adalah pekerjaan orang yang kurang bijak. Mengkampanyekan bahwa Islam akan menang di akhir zaman dengan nubuwat dari Rasulullah saw tidak harus hingar bingar. Tak perlu diblow-up berlebihan.
Tapi yang perlu diblow-up adalah bagaimana jalan menujunya, apa aqidah yang menjadi bekalnya, bagaimana manhajnya, apa resikonya, apa bekal ilmunya, apa bekal amalnya, siapa yang akan menjadi kawan, siapa yang menjadi lawan, dan seluk beluk lainnya. Kesibukan kita 90% harus dalam bidang ini, dan cukup 10% mengkampanyekan terminologi dan janji khilafah.
Peta Perlawanan
Muqawamah (perlawanan sosial) yang kita maksudkan, harus dipetakan dengan baik. Umat Islam pada seluruh strata dan bidang harus paham apa visi besar yang dituju. Lalu paham manhaj dalam mencapainya. Lalu ditunjukkan caranya, diberi contoh dan keteladanan. Lalu dirawat potensinya untuk selalu dalam nafas muqawamah.
Jelas tidak mungkin mengajak semua elemen umat Islam untuk datang ke medan jihad, meski kita memotivasi mereka untuk ingin berjihad dan mati syahid. Umat Islam harus ditunjukkan bagaimana cara melawan tapi yang dekat dengan dunia mereka, dan mungkin mereka lakukan. Bukan selalu diberi imajinasi jihad bersenjata, padahal jauh sekali dari dunia mereka.
Oleh karenanya, muqawamah yang bisa dilakukan adalah memberi nafas perlawanan dan mengalahkan untuk semua yang digeluti umat Islam. Dipahamkan daftar musuh yang dekat dengan mereka, seperti kristenisasi, aliran sesat, ahmadiyah, syiah, syirik, bid’ah, Liberalisme, Riba, mafia hukum, dan sebagainya.
Bila kita hanya menghadirkan Amerika dan Israel sebagai musuh, maka potensi perlawanan umat Islam tak tersalurkan dan terberdayakan dengan baik, karena sosok bernama Amerika dan Israel jauh di benak dan realita umat. Ini bukan cara bijak untuk mendidik UMAT PERLAWANAN, sebab hasrat mereka menjadi tertunda hingga saat yang tak mampu kita jawab.
Oleh karenanya, umat Islam harus digalang untuk memberantas Ahmadiyah, Syiah, kemunkaran, perjudian, narkoba, syirik dan bentuk-bentuk lawan lain – sesuatu yang dekat dengan keseharian mereka. Dengan melawan, umat akan mengalami benturan. Dengan benturan akan bisa menghayati pertarungan, lalu menghayati makna kesabaran. Lalu akan tumbuh solidaritas dan ukhuwah. Lalu menjalin makin solid menjadi kekuatan sosial yang nyata.
Dengan cara ini, tak ada satupun muslim yang tidak turut serta dalam muqawamah global. Bedanya hanya dalam ranah perlawanannya. Jika Al-Qaeda di ranah jihad, umat Islam Indonesia di ranah sosial yang nyata. Semuanya dibingkai paradigma; MELAWAN SEBISANYA ! Jangan biarkan apapun yang menganggu dan merusak Islam berkeliaran tanpa perlawanan dari umat.
Dengan cara ini, jalan menuju muqawamah global makin terbuka. Semoga.
Source : elhakimi.wordpress.com