Pada awalnya, Muslim yang taat berkumpul di Washington DC, pusat konferensi seluruh Muslim Amerika dari Masjid manapun. Terdapat perempuan berhijab dan laki-laki yang memelihara jenggotnya.
Tapi ada sesuatu yang berbeda. Mereka kini berbaur, mereka mendiskusikan bagaimana mengubah masa depan Islam. Seorang wanita berbicara mengenai “memerangi terorisme”, dia telah menikah dengan orang di luar Islam, yang dilarang bagi wanita Muslim. Seorang pria Pakistan menyebutkan rencananya untuk bertemu teman untuk minum, meskipun terdapat larangan pada alkohol.
Di pojok ruangan, seorang imam dengan tunik abu-abu panjang menasehati seorang Muslim muda dengan konflik rohani yang membingungkan, ia menjadi gay dan Muslim. Imam, sang gay dan dalam sebuah hubungan, dapat dengan mudah bersimpati dengan kesulitan pemuda itu.
Pada Senin malam di akhir Oktober tahun lalu, anggota Muslims for Progressive Values, sebuah organisasi reformis yang baru lahir di Amerika, berkumpul dari seluruh negeri untuk merayakan tonggak sejarah. Dalam empat tahun, kelompok ini telah berkembang dari beberapa teman menjadi ribuan anggota dan menelurkan serangkaian masjid kecil dan kelompok-kelompok spiritual yang membentang dari Atlanta hingga ke Los Angeles, menurut klaim mereka.
Hari ini, saat pemimpin Muslim amerika memperdebatkan topik kontroversi seperti radikalisme politik di dalam masjid dan upaya negara untuk melarang hukum syariah, jaringan ini tumbuh di mana masjid alternatif dan kelompok-kelompok secara diam-diam menjalin gerakan spiritual baru.
Mereka mengambil langkah berani, menafsirkan kembali norma-norma Islam dan hal-hal tabu. Sementara jauh dari diterima oleh ulama-ulama mainstream, para pengikut gerakan ini merasa bahwa masa depan agama bukan terletak semata-mata dengan tradisi, tapi di tangan mereka. Perempuan memimpin sholat berjamaah, imam gay melakukan perkawinan secara Islam, perempuan dan laki-laki sholat berdampingan.
Ini bukan norma bagi sebagian besar komunitas kuat Islam Amerika yang berjumlah 2,6 juta orang yang terbiasa dengan tradisi lama.
“Kami tidak dapat bergerak maju sebagai masyarakat, dalam sistem iman, jika kita berlangganan cara-cara kejam lama mempraktikkan Islam,” ujar Ani Zonneveld, yang menjadi presiden Muslims for Progressive Values. Wanita berusia 49 tahun ini merupakan penyanyi dan pengarang lagu yang tinggal di Los Angeles, ia memimpin sholat untuk pria dan wanita dan mengatakan kepada gay Muslim-yang sering dijauhi di masjid-masjid lain-bahwa agama mereka menyambut mereka.
Warga Amerika-Malaysia yang memiliki rambut pirang ini adalah salah satu dari kader kecil dari reformis Islam di Amerika Serikat, baik di dalam kelompoknya dan di luarnya. Dia memerangi “radikalisai” dan mendidik kaum muda untuk membangun jembatan antar agama dan melindungi hak-hak perempuan. Selama bertahun-tahun, para pemimpin komunitas Muslim telah membahas kebutuhan perubahan, dari membangun masjid untuk membela hak-hak sipil ketika praktek-praktek spiritual mengakibatkan diskriminasi. Namun, gerakan baru ini adalah benar-benar radikal.
“Apa yang terjadi dalam Islam di Amerika saat ini adalah apa yang terjadi sebelumnya dalam agama lain,” ujar John Esposito, proferos studi Islam di Universitas Georgetown.
Beberapa masjid Amerika menggabungkan Sunni dan syiah dalam satu atap. Tetapi sejauh ini, partisipasi terbuka untuk gay dan perempuan menjadi imam, tidak pernah terjadi selama ini di Amerika Serikat.
Terdapat perjalanan panjang. Sementara jumlah masjid di Amerika telah naik 74 persen selama dekade terakhir, lebih dari 2.100, Muslims for Progressive Values memiliki kehadiran hanya di dalam selusin kota, termasuk Atlanta, Philadelphia dan Washington. Kelompok ini tidak terafiliasi di pusat-pusat ibadah di kota-kota kecil.
Lahir di Kuala Lumpur, Malaysia, Zonneveld tumbuh di Jerman, Mesir dan India ketika ayahnya berpindah-pindah sebagai duta Malaysia. Ia tinggal di rumah bersama ibu dan lima saudara kandungnya dan dibesarkan dengan dasar-dasar Islam. Mereka membaca al-Qur’an bersama-sama, berpuasa dari matahari terbit sampai terbenam selama bulan suci Ramadhan, karena keberadaan masjid yang langka di Jerman, orang tuanya mengundang Muslim lain untuk sholat berjamaah di rumah mereka (sholat tarawih).
Setelah menghadiri kuliah di Illinois, Zonneveld pindah ke Los Angeles dengan mimpinya menjadi musisi. Di situlah ia bertemu dengan pria yang menjadi suaminya, seorang agnostik kelahiran Belanda, mereka membesarkan putri mereka, Jasmine (14) sebagai seorang Muslim.
Selama 20 tahun Zonneveld bekerja di belakang layar dalam industri musik, menulis dan menulis lagu. Dia menyembunyikan keimanannya di tempat kerja karena takut itu akan merusak karirnya. Ia mulai berubah sejak peristiwa 911.
Untuk pertama kalinya, ia menempatkan agama di garis depan musiknya. Dua tahun setelah serangan, dia merilis album berjudul “Ummah Wake Up!”. Dalam lagu tersbeut, ia menyerukan “jihad” baru sesuai pengertiannya. Baginya “jihad” adalah berjuang untuk menjadi lebih berbelas kasih bukan mengangkat senjata. Lagu lainnya, “Bury Me”, mengungkapkan keluhannya apa yang dilihatnya sebagai perempuan terpinggirkan dalam masyarakat Islam. Tetapi albumnya tidak menjadikan karirnya melesat lebih baik, bahkan cenderung tenggelam.
Muslim terkemuka mengatakan Zonneveld terlalu berfokus kepada hal-hal yang buruk yang ia tidak memahaminya.
Frustasi dengan kurangnya kontrak dan kritik mengalir kepadanya, Zonneveld membantu sebuah kelompok yang disebut Progressive Muslim Union of North America. Aliansi puluhan aktivis dan akademisi yang memerangi keyakinan dan anggotanya ingin mereformasi doktrin Islam. Upaya selama dua tahun, sebagian besar akademisi mundur, kelompok tersebut runtuh di tahun 2006, tidak pernah berhasil mendirikan sebuah masjid.
Setahun kemudian, Zonneveld kembali mendirikan Muslims for Progressive Values yang ternyata mengalami kesuksesan lebih nyata. Kerja spiritualnya telah menarik dukungan dari aktivis dan politisi.
***
Anggota gerakan tersebut setuju bahwa al Qur’an tidak secara eksplisit melarang wanita memimpin sholat atau seorang gay mengambil peran kepemimpinan dalam Islam. Kitab suci juga tidak melarang pria dan wanita melaksanakan sholat bersama. Namun, berabad-abad ulama telah menghasilkan pandangan yang berlaku hingga kini di kalangan ummat Islam di seluruh dunia bahwa pemimpin sholat haruslah laki-laki dan aktivitas homoseksual diharamkan.
Dalam tiga perempat dari masjid di Amerika, jamaah perempuan berkumpul di ruang terpisah atau berada di shaf belakang dengan dipisahkan tirai. Praktek ini berasal dari Al Qur’an yang mengatakan bahwa pria dan wanita harus menjaga hubungan mereka.
Terdapat bagian dalam Al Qur’an yang mengutuk tindakan homoseksual, namun gerakan ini memperdebatkannya. Al Qur’an telah mengabarkan kisah kaum Nabi Luth, yang kotanya dihancurkan oleh Allah karena laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki. Seperti Kristen liberal, Muslims Progressive menafsirkan cerita ini menjadi salah satu kecaman tentang pemerkosaan bukan homoseksual.
***
Pada Sabtu sore, Zonneveld dan aktivis spiritual lainnya berkumpul untuk pertemuan Muslims Progressive Values di Los Angeles, di sekitar meja ruang tamu penuh dengan pamflet dan buku-buku tentang hukum Islam. Di antara yang hadir adalah seorang Syiah dari Iran, seorang Sunni dari Lowa, seorang mualaf dan agnostik Palestina. Mereka dipersatukan oleh sebuah pertanyaan :
“Apakah syariah itu?” tanya Zonneveld.
Jawaban dari mereka :
“Syariah adalah bagaimana kita hidup sesuai dengan kehendak Allah kepada kita,” ujar Jamila Ezzani (28) seorang spesialis autisme yang telah berada di kelompok itu hampir dua tahun. “Ini ideal untuk meraihnya”.
“Tapi ada baiknya untuk mengetahui kitab suci dan ayat,” klaim Vanessa Karam, seorang profesor pendidikan umum di Universitas Barat. “Tidak ada seorang Muslim tidak bisa mengatakan itu dasar untuk segala sesuatu, kan?”
“Saya pikir Syariah telah benar-benar dibuat,” balas Zonneveld. “Ini tidak seperti terdapat dalam halaman al Qur’an yang mengatakan, bagi anda untuk menjadi Muslim, anda harus hidup oleh seperangkat aturan”.
Yasir Qadhi, seorang ulama konservatif dan dekan bidang akademik di Institut AlMaghrib mengambil pandangan yang terakhir. Sebuah kuliah tentang progresif telah ia berikan dan dikumpulkan dalam ribuan video di Youtube.
“Kenyataan bahwa gerakan ini sangat kecil atau berbicara banyak tentang marjinal kekuasaan dan pengaruh mereka,” ujar Qadhi yang hidup di Memphis, Tenn dan lembaganya mengajar 6.000 siswa per tahun. “Ini cukup jelas dalam arus utama Muslim di Amerika Utara, yang berada di bawah tekanan atau ancaman kekerasan fisik, telah diidentifikasi dengan jelas dengan suara tradisional.”
“Mari kita lihat teks Al Qur’an dan lihat apa yang Allah dan utusanNya ingin kita lakukan, bukan untuk memproyeksi gagasan kita ke teks,” lanjut Qadhi. “Kami sangat percaya bahwa Al Qur’an adalah kitab Allah dan firman Allah”.
Dalia Mogahed, direktur Gallup Center for Muslim Studies, juga mengambil pandangan kritis terhadap gerakan itu.
Muslims Progressiv Values adalah lebih kecil dari catatan kaki atau minat khusus, tulisnya dalam email. “Mereka sebenarnya tidak memiliki pengaruh bagi Muslim Amerika,” tambahnya yang telah menghabiskan enam tahun mengumpulkan 50.000 wawancara untuk bku “Who Speaks For Islam? What a Billion Muslims Really Think”.
Mohamed Magid, presiden Islamic society of North America, mengambil pendekatan yang lebih lembut. Sebagai imam yang memiliki 5.000 anggota di utara virginia, ia menyambut sebuah “pasar ide” untuk bersaing dalam Islam. “Saya tidak punya hak untuk mengupas siapa saja dalam Islam yang ingin menjadi Muslim,” ujarnya. Pria, bagaimanapun harus memimpin sholat di masjid dan Magid tidak percaya bahwa Islam membenarkan homoseksual. (haninmazaya/arrahmah.com)