Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan bahwa, “Kalau kita sudah bisa terhindar dari kehidupan pragmatisme dan hedonisme, saya yakin pejabat itu tidak akan korup, tapi kalau terjebak pada pragmatisme dan hedonisme pastilah korup.” (news.detik.com, 16/01/2014)
Sungguh menarik apa yang dipaparkan oleh ketua KPK tersebut. Hal ini menjadi perhatian kita di tengah gurita korupsi yang makin menggila di negeri ini. Ya, korupsi yang dilakukan oleh para elit politik ataupun pejabat negeri ini. Makin kesini korupsi seperti wabah yang makin menjamur, bisa dikatakan sudah putus urat malu mereka, saat diamanahi tanggug jawab tetapi malah menyalahgunakannya dengan melakukan korupsi.
Berbicara korupsi tidak akan ada habisnya. Selalu saja ada hal-hal yang mendorong hal tersebut terjadi. Ketika yang melakukan korupsi adalah laki-laki, seperti kata pepatah di balik kehebatan seorang laki-laki pasti ada perempuan di belakangnya. Ya, perempuan dipandang sebagai makhluk yang strategis dengan perannya di segala lini kehidupan.
Perempuan dan dunia sosialita
Pernyataan sang ketua KPK itu senada dengan sindiran mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawansa akhir Desember lalu. Khofifah menyebut ada istri pejabat yang ikut arisan tas sampai Rp 25 juta per bulan. (news.detik.com, 16/01/2014)
Wow…fantastis nilai arisannya. Jika seorang karyawati biasa mesti berapa kali gajian untuk bisa ikut arisan seperti itu. Sindiran Khofifah itu bisa jadi memang tidak mengada-ada. Tidak hanya di kalangan pejabat, demam arisan juga menyerang para sosialita, khusunya di Jakarta. Gaya hidup arisan sangatlah jamak ditemukan di kalangan sosialita. Banyak kaum hawa kalangan The Have yang punya arisan sampai belasan.
Bahkan Nadia Mulya, penulis buku ‘Kocok, The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites‘ pernah melakukan survei terkait budaya arisan di kalangan sosialita. Dari 300 wanita usia 20-an hingga 40-an tahun yang disurvei, ada 234 (78 persen) yang ikut arisan. Dari jumlah itu, paling dominan adalah wanita usia 30-35 tahun, sementara status profesinya paling banyak adalah kalangan pekerja professional (96 orang), serta diikuti ibu rumah tangga (89 orang). Masih berdasarkan survei yang sama, rata-rata tiap orang punya 2-3 arisan dengan uang arisan Rp 500 ribu – Rp 1 juta.
Jika demikian, seorang sosialita bisa merogoh kocek rata-rata Rp 3 juta untuk iuran resmi arisan. Jumlah itu masih belum termasuk untuk biaya tambahan, yang umumnya jauh lebih besar dari iurannya. Sebut saja misalnya untuk biaya makan, make up, beli baju, dan barang fashion terkini, di tambah biaya sewa fotografer demi foto eksis.
Korban sistem
Saat ini para perempuan di seluruh dunia sedang terzalimi akibat penerapan sistem yang munkar, yaitu sistem kapitalis yang tidak membela dan menjamin hak-hak perempuan. Penerapan sistem kapitalis sekuler telah membawa kepada kehidupan yang menyimpang bagi para perempuan. Sistem ini juga melahirkan kalangan perempuan dengan tingat kesenjangan ekstrim.
Kapitalisme telah membagi kaum perempuan sebagai korban dalam dua arus ekstrim yaitu:
Pertama, kalangan perempuan miskin. Mereka menjadi korban kapitalisme karena mereka harus hidup tereksploitasi dan banting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Kedua, kalangan sosialita. Mereka adalah para perempuan kaya dan bergaya hidup glamour yang justru aktivitasnya menghambur-hamburkan harta, termasuk di dalamnya gaya hidup hedonistik, karena hanya bersenang-senang tanpa harus banting tulang memikirkan kecukupan kebutuhan hidup keluarga. Kalangan sosialita biasanya terdiri dari para artis, artis atau perempuan bukan artis yang menjadi istri pejabat tinggi negara, atau bahkan perempuan itu sendiri yang merupakan pejabat. Gaya hidup mereka glamour, konsumtif, hedonistik, serta identik dengan penggunaan barang mewah, misalnya berupa perhiasan, aksesoris atau kendaraan.
Kemunculan kalangan sosialita dipicu dari tegaknya sistem kapitalisme yang berlandaskan kehidupan sekular dan individualistik. Sistem kehidupan yang ada saat ini telah membuat kaum perempuan terbiasa memiliki kebebasan untuk hidup dengan gaya apa saja sesuka mereka, tanpa peduli apa pun, apalagi standar hidup sesuai dengan hukum syara’. Ya, mereka mengusung asas kebebasan yang kebablasan. Akibatnya, peran perempuan di ranah publik melenceng jauh dari kemubahannya. Bahkan dalam bentuk yang tidak patut, termasuk menjadi ‘obyek’ pelaku korupsi. Artinya, aktivitas publiknya sudah terkategori haram, karena tidak sesuai dengan Islam.
Perempuan pemicu korupsi ?
Korupsi yang endemik, sistem ekonomi yang salah kelola, kebijakan dan aturan eksploitatif yang dihasilkan oleh kepemimpinan gagal seperti pasar bebas, pinjaman berbasis riba, semua ini adalah hasil dari sistem kapitalis yang rusak yang diterapkan di Indonesia dan negeri lainnya sehingga menyebabkan kemiskinan.
Sudah banyak bukti sederet perempuan cantik yang terseret dalam pusaran kasus korupsi yang dilakukan oleh dirinya sendiri ataupun oleh suaminya. Perempuan-perempuan tersebut diberi sejumlah barang mewah, seperti mobil, arloji mahal, dan uang ratusan juta. Dari sini dapat diketahui bahwa posisi perempuan yang rentan menjadi ‘obyek’ uang panas ataupun pelaku dari uang panas tersebut.
Ini jelas menunjukkan bahwa kemuliaan perempuan tidak terjamin dalam sistem yang digunakan saat ini. Di samping itu, kondisi kehidupan sekular dalam sistem demokrasi memungkinkan kehidupan perempuan berstandar pada kebebasan dan tidak terikat dengan hukum syara’. Akibatnya perempuan tidak bisa menjaga kemuliaannya.
Hal ini pun mengulik komentar dari Khofifah dan Abraham Samad bahwa gaya hidup hedonis dan konsumtif ini disinyalir memicu korupsi suami maupun dirinya sendiri, yang notabene merupakan pejabat tinggi negara. Kesimpulannya, pemberantasan korupsi yang harus sejalan dengan upaya mengikis gaya hidup hedonis ini. Namun, cukupkah hanya demikian dalam memberantas korupsi? Wallahu A’lam Bis-Shawaab. (arrahmah.com)