SUKABUMI (Arrahmah.com) – Jelang bulan April, kaum feminis bersiap menjual dagangannya berupa wacana “emansipasi” dan “kesetaraan gender” pada hari Kartini yang kelak jatuh pada Selasa (21/4/2015). Tak sedikit Muslimah terbius oleh iming-iming kebebasan semu barat itu.
Namun, Ni’mah Sakinah -seorang ibu pendidik pengelola rumah tangga profesional yang juga aktivis Hizbut Tahrir Sukabumi – berupaya mengimbangi arus pemerdayaan perempuan itu. Dengan memperkenalkan kembali kaum perempuan Indonesia pada sejarah gemilang Muslimah dalam Khalifah, ia berharap Kartini masa kini mampu beroleh teladan dan berkiprah demi kejayaan Islam di akhir zaman. Demikian ulasan yang diterima Arrahmah.com, Jum’at (27/3).
Perempuan-perempuan teladan
Selama lebih dari 1300 tahun, perempuan hidup di bawah naungan dan bimbingan Khilafah. Hak-hak mereka terpenuhi. Kemiskinan teratasi, martabatnya terlindungi. Kemuliaan dan kehormatannya pun terjaga. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh perempuan muslim tapi juga oleh perempuan nonmuslim. Kebahagiaan dan kesejahteraan dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Kemajuan kaum perempuan pada masa Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan tercatat dalam sejarah. Pada masa kenabian terlihat dari majlis-majlis yang dipimpin Rasululloh SAW. Rasulullah SAW, melibatkan tak hanya para sahabat, tetapi juga sahabiyât. Perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara dan berpendapat. Atas permintaan muslimah pula Rasulullah SAW memimpin satu majlis terpisah khusus muslimah agar muslimah berkesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan beliau. Subhanalloh!
Sejarah pun mencatat betapa istri rasulullah dan banyak para perempuan di masa Rasulullah pun patut dijadikan teladan. Ummul Mukminin Khadijah r.a. adalah salah satu kampium bisnis pada masa itu. Sementara Aisyah r.a. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Sumayyah binti Hubath, orang yang pertama-tama masuk islam yang juga Isteri Yasir r.a, demi mempertahankan keimanannya dia menyatakan penentangannya terhadap orang-orang kafir yang menyiksanya, beserta suami dan anaknya, hingga beliau dan suaminya menemui syahid.
Kiprah kaum muslimah tidak berhenti di sana. Ketika islam menyebar ke penjuru dunia, jejak langkah istri-istri rasulullah saw dan para sahabiyah ini terus berlanjut. Di Eropa, perempuan Islamlah yang menjadi perintis kebangkitan kaumnya. Perempuan barat berhutang banyak kepada perempuan Andalusia yang mengajari mereka berbagai ilmu kehidupan.
Kaum laki-laki di barat juga belajar banyak tentang cara menghormati kaum wanita dari orang-orang Islam bangsa Arab. Gustav Le Bonn dalam bukunya, La Civilasation des Arabes (hlm. 428), menulis, “Dari orang-orang Arablah penduduk Eropa mengadopsi sifat menghormati wanita, sebagaimana dari orang-orang Arab pula mereka mempelajari kecakapan memacu kuda.”
Le Bonn menambahkan, kepentingan perempuan dalam kemajuan (civilization) bangsa Arab nyata dilihat dengan mengetahui jumlah kaum perempuannya yang terkenal dengan keluasan ilmu dan pengetahuannya. Ilmuwan Barat lainnya, Van Kreimer menulis dalam bukunya bahwa orang-orang Arab Cordovalah yang mencontohkan kepada Eropa betapa kaum pria menghormati kaum wanita. Dari orang Arablah orang Eropa belajar dan mengetahui cara menghormati kaum wanita.
Contoh lain di India, yaitu Mahrunnisa’, istri Emir Saliem yang dikenang melalui bangunan megah Taj Mahal. Suaminya menggelari Mahrunnisa’ dengan sebutan Nur Mahal. Rakyat menggelarinya Nur Jehan atau Nurud Dunya (cahaya alam). Nur Mahal sangat ahli dalam soal hukum, pandai bahasa Arab dan Persia. Ia pun sering keluar istana untuk menginspeksi kelengkapan tentara, menerima kedatangan panglima-panglima perang, para penguasa dan bahkan gemar berkuda untuk berburu. Ketika suaminya ditawan musuh dalam suatu peperangan, Nur Mahal berhasil membebaskannya. Lantaran itu namanya disanjung dan dipuji di seluruh India, bahkan dunia.
Dunia pun mencatat, islam sampai pula ke Indonesia. Terlahirlah perempuan-perempuan Indonesia yang pernah merasakan hidup di bawah naungan khilafah. Mereka perempuan-perempuan hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Sebut saja Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pecut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Hal ini juga bisa jadi klaim-klaim keterbelakangan kaum perempuan di negeri pada masa Kartini hidup yang harus segera digugurkan.
Kartini masa kini kemana akan melangkah?
Kini, atas nama emansipasi, dengan dalih meneladani kartini banyak perempuan yang meninggalkan kodratnya. Menjadi Kartini masa kini telah menjadikan banyak kaum hawa tidak menyadari bahwa sebagai perempuan Indonesia apa yang banyak dilakukannya, justru membuat mereka kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang menjunjung tinggi moral yang berdasarkan nilai-nilai agama. Mereka lupa akan kemuliaannya sebagai perempuan yang berpegang teguh pada nilai agama. Mereka pun lupa bahwa untuk berprestasi di ajang daerah, nasional atau internasional itu bisa tanpa mengorbankan jati dirinya sebagai umat beragama.
Ironis! Perempuan Indonesia tak terkecuali muslimahnya saat ini kita lihat belum termuliakan. Perempuan-perempuan barat yang doyan mengeksploitasi tubuh justru yang banyak dijadikan sumber inspirasi kaum perempuan masa kini. Miris! bahkan hingga hari kartini tahun ini, kita peringati potret generasi Kartini masa kini jauh dari harapan. Perempuan Indonesia mulai meremehkan kodratnya.
Memang perempuan makin terdidik seperti halnya harapan Kartini. Tapi keterdidikan kaum perempuan masa kini tidak seperti apa yang diperjuangkan Kartini. Kini semakin terdidik bukan malah menjadikannya semakin pintar menjalankan kewajiban, melainkan disibukkan menuntut hak-haknya. Perempuan sibuk berkiprah menyamai laki-laki, baik di bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan sebagainya.
Padahal, fakta berbicara, presiden perempuan pun pernah di Indonesia, tapi keadaan tetap sama. Bahkan ketika kuota partisipasi perempuan di politik dipatok 30 persen pun, tidak lantas membuat perempuan bersuka cita berbondong-bondong memenuhinya. Ini karena citra politik yang kotor, penuh intrik dan kolutif, yang bertentangan dengan fitrah perempuan yang lemah-lembut dan penuh kasih. Kalau pun gayung bersambut, kuota 30 persen tercapai ternyata masalah malah jadi tambah runyam.
Belum lagi ide Pemberdayaan Ekonomi Perempuan yang juga mendapat sambutan semakin memperburuk keadaan. Perempuan benar menjadi punya penghasilan sendiri, tidak tergantung suami dalam hal keuangan, dianggap sukses, mandiri, bebas menentukan nasib sendiri, bebas mengaktualisasikan diri dan mendapatkan hak-haknya.Tapi kewajibannya sebagai istri dan ibu pendidik generasi jadi terabaikan. Sebutan wanita karier lebih menggiurkan dibanding dengan sebutan Ibu Rumah Tangga. Waktu di luar rumah dengan bos atau relasi yang bukan mahramnya, lebih intens dibanding bercengkerama di rumah dengan suami atau anak-anaknya. Jika suami, ayah atau kerabat melarangnya, akan dikenai pasal kekerasan dalam rumah tangga. Penjara taruhannya. Rumah tangga pun rentan dengan perceraian.
Kehancuran generasi tinggal menunggu waktu. Lahirlah penjahat masa kini, bukan lagi lelaki berwajah sangar dan bertampang seram, tapi lelaki berdasi dan perempuan seksi.
Ke mana Kartini masa kini harus melangkah?
Fitrah perempuan dari sejak dulu sampai sekarang sama. Fitrahnya dia itu adalah istri bagi suaminya, ibu bagi anak-anaknya dan pengatur rumah yang bertugas menciptakan keharmonisan di dalam rumah tangga. Adapun dari sisi bahwa perempuan juga manusia sama sebagaimana halnya laki-laki, dia adalah hamba Allah dan juga bagian dari anggota masyarakat yang berkewajiban beramar ma’ruf nahi munkar.
Sangat menarik bagi kaum muslimah khususnya, terutama di bulan April menelaah lebih dalam sosok Kartini, agar bisa mengingatkan kaum perempuan Indonesia lainnya untuk tidak salah melangkah. Karena bila salah melangkah dalam kehidupan resikonya tidak main-main, keselamatan dunia dan akhirat yang dipertaruhkan.
Diceritakan, pertemuan Kartini dan Kyai Haji Sholeh Darat. Takdir, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholeh Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Pertemuan ini pula yang mendorong Kyai Sholeh Darat menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan dan diberikan sebagai hadiah perkawinan yang disebut Kartini sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikutnya, karena Kyai Sholeh meninggal dunia.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah.
Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon. “Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis, “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai”.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah”.
Jadi, jelaslah perjuangannya membela perempuan kini ditafsirkan sangat melenceng dari khittah. Bahkan setelah perkenalannya dengan Kyai Sholeh Darat Kartini dengan terang-terangan menyebutkan gelar hamba Allah adalah gelar yang ia anggap paling tinggi. Beliau pun tidak lagi menganggap masyarakat Eropa sebagai masyarakat terbaik. Bahkan, masih menurut Kartini peradaban Eropa tidak patut disebut peradaban.
Terbukti sudah ketika kaum perempuan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam, bukan hanya menghantarkan pada kemajuan dirinya, hidupnya menjadi terang tetapi juga berpengaruh terhadap kebangkitan suatu generasi, bangsa dan negara, bahkan peradaban.
Jadi, kembali kepada fitrah merupakan jawaban final untuk langkah yang jelas bagi semua perempuan Indonesia. Boleh berkiprah seperti halnya perempuan-perempuan teladan di kejayaan islam (bukan seperti perempuan barat). Berkiprah, bahkan harus, demi terwujudnya khilafah! Wahai para Kartini masa kini, peradaban baru menanti kita. Wallahu a’lam bish-shawwab. (adibahasan/rs/arrahmah.com)