KUALA LUMPUR (Arrahmah.com) – “Tak ada lagi aturan di atas hukum,” ujar Mahathir Mohamad (90) yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia selama 22 tahun itu. “Satu-satunya cara agar masyarakat kembali kepada sistem lama adalah dengan menyingkirkan perdana menteri ini (Najib Razak).”
Mahathir secara blak-blakan telah mengeritik perdana menteri saat ini, Najib Razak, dalam kurun tahun terakhir, meski keduanya dari basis partai yang sama, United Malays National Organization (UMNO), sebagaimana dilaporkan The Spec, Selasa (1/9/2015). Namun, yang membuatnya spesial adalah adanya demonstrasi besar-besaran pada 2 hari terakhir di pusat Kuala Lumpur.
Demonstrasi massa biasanya diserang dan ditekan oleh kepolisian Malaysia, meskipun itu seharusnya dianggap formal saja di negara demokrasi. Tetapi kali ini, para polisi sangat berdamai dalam demonstrasi itu. Hanya ada perselisihan biasa tentang berapa banyak orang berada di sana, dimana penyelenggara mengklaim 300.000 orang terjun ke jalan, sementara polisi mengatakan 20.000, tapi yang penting adalah bahwa Mahathir muncul dan memberikan dukungannya.
Tentunya ada alasan baik di balik permintaan pengunduran diri Najib Razak dari jabatannya sebagai PM.
Pada bulan Juli, Wall Street Journal mempulikasikan sebuah laporan bahwa “uang utang budi” sebesar $700 juta telah ditransfer ke dalam rekening pribadinya pada 2013 dari dana investasi negara 1MDB, yang dia ciptakan pada 2009, segera setelah dia diangkat menjadi PM. Najib bahkan masih menjadi dewan penasihatnya hingga kini.
Mulanya Najib hanya menyangkal semuanya. Dia memecat wakil perdana menterinya, Muhyiddin Yassin, atas kritiknya terhadap cara Najib menangani perkara itu. Jaksa Agung, Abdul Gani Patail, yang memimpin penyelidikan skandal tersebut juga turut dipecat. Kemudian, ketika menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa uang telah muncul di rekeningnya, penasihatnya mulai mengklaim bahwa uang itu bukan dari 1MDB, tetapi sebagai “sumbangan politik” dari sumber Timur Tengah yang tidak disebutkan namanya.
Apakah itu benar-benar dijarah dari dana investasi 1MDB atau hanya diberikan kepada Najib oleh “keluarga Arab kaya,” tujuannya jelas. Itu tidak untuk memperkaya Najib pribadi. Itu untuk memanipulasi hasil pemilu 2013, saat partai Najib terancam bahaya kehilangan suara.
Dalam demokrasi yang normal, menerima bagian yang lebih baik dari satu miliar dolar dari orang asing untuk memenangkan pemilu merupakan kejahatan serius seperti mencuri dari dana investasi nasional, tetapi Malaysia tentu bukan negara demokrasi yang normal. Menurut Gwynne Dyer, Malaysia memang sudah efektif menjadi negara satu partai sejak kemerdekaan pada tahun 1957, karena sebagian besar orang etnis Melayu bersuara untuk UMNO dan sekutu-sekutunya untuk mempertahankan hak-hak istimewa mereka di negara ini.
Melayu, yang hampir semua Muslim, adalah populasi asli di sebagian besar negara itu, 60 persen dari rakyatnya. Namun, imigrasi besar-besaran dari Cina dan India pada abad ke-19 menggeser keseimbangan: populasi Cina Malaysia sekarang sekitar seperempat dari populasi, dan orang-orang keturunan India untuk sekitar sepersepuluh.
Selain itu, orang Cina yang mendominasi ekonomi negara itu menjadi sebuah fakta yang mengarah pada kerusuhan ras berdarah di 1969. Sejak itu, orang Melayu telah menikmati perumahan murah, prioritas dalam pekerjaan pemerintah dan izin usaha, dan dalam praktek (meskipun tidak lagi secara teori ), akses yang lebih baik ke program universitas, demi membantu mereka menmpersaingkan ekonomi dengan populasi Cina dan India.
Kebijakan ini telah memiliki beberapa keberhasilan: pendapatan rumah tangga rata-rata telah berkumpul, dengan keluarga Melayu sekitar 40 persen dari pendapatan keluarga Cina pada tahun 1970 menjadi sekitar 70 persen pada tahun 2009. Kebanyakan orang Melayu tetap merasa “kasih yang dilembagakan” ini masih diperlukan, dan suara UMNO dapat melindunginya – sementara mayoritas Cina dan India Malaysia pasti merasa bahwa memberikan setengah abad hak tambahan untuk Melayu sudahlah cukup.
Itu sebabnya sebagian besar pengunjuk rasa dalam demonstrasi pekan lalu di Kuala Lumpur adalah etnis Cina atau India. Kejahatan keuangan Najib dijadikan pembenaran atas protes mereka. Namun banyak orang Melayu hanya mengamati Najib dari belakang, orang Melayu memilih pergi karena mereka mendeteksi adanya agenda tersembunyi yang lebih dalam gerakan protes itu.
Hal-hal yang lebih rumit adalah fakta bahwa semua orang Melayu adalah Muslim sehingga praktis tidak ada orang lain lagi di kancah politik negara itu. Mahathir telah mengeksploitasi demo dalam rangka untuk lebih mengampanyekan pelengseran Najib dalam konflik internal di dalam UMNO, tapi dia pasti tidak ingin mengakhiri dominasi Melayu-Muslim politik di negara itu atau membongkar hak Melayu. Ini ibarat pedang bermata dua bagi Mahatir.
“Apa 20.000 (demonstran)? Kita bisa mengumpulkan ratusan ribu,” kata Najib setelah demonstrasi. “Sisa dari populasi Malaysia berpihak pada pemerintah.”
Atau setidaknya sebagian besar Melayu, terutama di daerah pedesaan, dan itu mungkin cukup baginya untuk naik dan keluar dari krisis ini kecuali situasi ekonomi Malaysia memburuk.
Ekonomi Malaysia telah melambat secara dramatis sejak permintaan Cina untuk impor dan harga minyak kedua mulai runtuh. Mata uang Malaysia, ringgit, jatuh merosot. Jika semakin buruk, Najib akan harus pergi.
Apapun ketidakadilan itu, sebaiknya setiap orang dari semua permasalahan etnis dikesampingkan dahulu, sehingga UMNO harus berpikir ulang secara keras tentang siapa kiranya yang dapat menjadi suksesor partainya agar bisa diterima semua orang.
Gwynne Dyer adalah wartawan independen yang artikelnya telah diterbitkan di 45 negara. (adibahasan/arrahmah.com)