GAZA (Arrahmah.id) – Dalam beberapa tahun terakhir, aplikasi kecerdasan buatan telah menandai lompatan signifikan dalam kemajuan teknologi, menjadi salah satu alat bantuan non-manusia yang paling penting di berbagai bidang, terutama model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT milik OpenAI dan pendatang baru yang telah mengganggu arena AI, DeepSeek milik Tiongkok.
Akan tetapi, meskipun disajikan sebagai pihak yang netral, perusahaan yang mengembangkan aplikasi ini sengaja menanamkan bias politik, sosial, dan bahkan ekonomi mereka dengan menekan informasi tertentu sambil memperkuat informasi lainnya—atau bahkan menghindari pembahasan topik tertentu sama sekali.
Untuk menekankan hal ini, The New Arab telah menguji ChatGPT yang berbasis di AS dan membandingkannya dengan DeepSeek buatan Cina. TNA mengajukan serangkaian pertanyaan politik kepada mereka, yang mencakup berbagai isu mulai dari dunia Arab hingga berbagai peristiwa global utama, untuk menyoroti perbedaan dalam tanggapan mereka, salah satunya terkait Gaza.
ChatGPT vs DeepSeek
Saat diajukan pertanyaan terkait Gaza, ChatGPT bersikeras mempertahankan netralitas akan isu Palestina, ChatGPT memiliki kecenderungan yang jelas untuk mengulang frasa “hak ‘Israel’ untuk membela diri” saat ditanya beberapa pertanyaan tentang perang di Gaza. Namun, mereka mengakui bahwa ‘Israel’ diklasifikasikan sebagai kekuatan pendudukan berdasarkan hukum internasional tertentu. Selain itu, mereka membingkai penyebab perang dengan memulai kronologinya dari 7 Oktober.
Sebaliknya, DeepSeek menyajikan perspektif sejarah yang lebih luas, membahas Nakba (Bencana Palestina) 1948 dan menegaskan kembali bahwa ‘Israel’ diklasifikasikan sebagai “negara kolonial pemukim” menurut beberapa peneliti. Klasifikasi ini memandang ‘Israel’ sebagai entitas kolonial di semua wilayahnya, bukan hanya di wilayah yang diduduki setelah 1967.
Ketika ditanya tentang pembentukan ‘Israel’, DeepSeek membingkai tanggapannya dalam konteks “konflik ‘Israel’-Palestina,” dengan menekankan bahwa perselisihan berkisar pada “tanah, perbatasan, Yerusalem, dan permukiman ‘Israel’ di Tepi Barat.” Ia juga menyatakan bahwa “Yerusalem adalah ibu kota ‘Israel’,” sambil mengklarifikasi bahwa pengakuan ini semata-mata datang dari ‘Israel’ sendiri dan tetap “kontroversial secara internasional.”
Sementara itu, ChatGPT memberikan catatan sejarah yang lebih lugas: “Negara ‘Israel’ secara resmi didirikan pada 14 Mei 1948, menyusul deklarasi kemerdekaan yang dikeluarkan oleh David Ben-Gurion, yang saat itu menjabat sebagai kepala Badan Yahudi. Deklarasi ini muncul setelah Mandat Inggris atas Palestina berakhir dan didasarkan pada Rencana Pembagian PBB 29 November 1947 (Resolusi PBB 181). Pengumuman tersebut bertepatan dengan pecahnya Perang Arab-Israel 1948, yang terjadi antara pasukan ‘Israel’ dan tentara Arab.”
Orang Palestina hanya disebutkan saat TNA mengajukan pertanyaan lanjutan yang lebih spesifik. (zarahamala/arrahmah.id)