(Arrahmah.id) – Dalam menjelaskan tauhid, sering orang memakai kalimat tauhid ( لا إله إلا الله ) tak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebagai tolok ukur penjelasan. Kata disembah sama dengan diberi ibadah atau ubudiyah. Dan salah satu jenis ubudiyah adalah cinta.
Lalu lahirlah frasa “tak ada yang boleh dicintai kecuali Allah” sebagai padanan frasa “tiada Tuhan kecuali Allah”. Frasa ini mudah dipahami oleh pendengar, tapi tidak akurat. Sebab jika penjelasan tauhid adalah tak ada yang boleh dicintai kecuali Allah, maka kita menjadi salah jika mencintai ibu, bapak, anak dan sebagainya. Padahal cinta kepada orang tua selain sebagai naluri manusia, ia juga bagian dari birrul walidain. Tentu ada yang salah di sini.
Pada sisi lain, wala’ dikampanyekan oleh kaum Liberal atau Pluralis agar tidak bersifat tunggal, tapi fleksibel. Jika ada Nasrani yang sedang Natal, dianjurkan mengucapkan selamat Natal. Jika salam, tak cukup dengan salam versi Islam, harus pula salam versi agama lain. Tindakan ini adalah refleksi wala’ yang ada di hati.
Begitu banyak simpang siur pemahaman soal cinta dan wala’. Karena itu, perlu ada penjelasan yang memadai terhadap kosa kata cinta dan wala’. Bagaimana menempatkan cinta dan wala’ dalam Islam. Apakah cinta sama dengan kesetiaan atau wala’ atau loyalitas? Jika beda, apa perbedaannya?
Cinta Itu Bisa Dibagi
Cinta adalah rasa suka yang ada di hati seseorang terhadap sesuatu. Kata yang paling sering dipakai adalah hubb ( حب ). Manusia punya potensi untuk mencintai banyak hal sekaligus. Misalnya, cinta terhadap rumah, mobil, uang dan sebagainya. Dalam mencintai sesama manusia juga bisa terjadi pada banyak orang. Seorang ayah bisa mencintai seluruh anaknya yang berjumlah 10 orang misalnya.
Demikian pula orang beriman. ia diminta mencintai banyak hal. Cinta terhadap Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, As-Sunnah, Islam, Masjid, Sahabat Nabi saw dan sebagainya. Masing-masing dicintai meski dengan kadar cinta yang berbeda.
Rasulullah saw menggambarkan cintanya kepada beberapa orang:
عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ العَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السُّلاَسِلِ، فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: (عَائِشَةُ) ، فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ ، فَقَالَ: (أَبُوهَا)، قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ( ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّاب )، فَعَدَّ رِجَالًا”. رواه البخاري في “صحيحه” (رقم/3662) ، ومسلم في “صحيحه” (رقم/2384) .
Amru bin Ash ra menuturkan bahwa Nabi saw mengutusnya dalam ekpedisi Dzat Salasil: Aku menemui Nabi saw, lalu aku tanya: Siapa orang yang paling Anda cintai ? Nabi saw: Aisyah. Aku: Siapa dari laki-laki? Nabi saw: Ayahnya. Aku: Lalu siapa? Nabi saw: Umar bin Khattab. Nabi saw meneruskan dengan menyebut nama-nama lain. (HR. Bukhari no. 3662 dan Muslim no. 2384)
Dalam hadits yang lain Nabi saw mengungkapkan cintanya kepada banyak hal:
قالَ رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم (حُبّبَ إِلَيَّ مِنْ دنياكُمُ النّساءُ والطيبُ وجُعِلَتْ قرةُ عينِي في الصّلاةِ)
Rasulullah saw bersabda: Dijadikan hatiku mencintai beberapa hal dari duniamu: wanita dan parfum, dan dijadikan hatiku nyaman dengan shalat. (HR. Hakim)
Dua hadits ini cukup menjadi bukti bahwa di hati Nabi saw ada banyak cinta. Semuanya diungkapkan dengan kata hubb ( حب ). Sudah pasti Nabi saw cinta kepada Allah, Al-Qur’an, orang tua, kerabat, dan seterusnya. Selain itu, sebagaimana dalam dua hadits di atas, ditambah cinta terhadap Aisyah dan tentu saja istri-istrinya yang lain, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan parfum.
Jika di hati Nabi saw sebagai panutan terdapat cinta yang bercabang terhadap banyak hal, tentu umatnya juga dibolehkan untuk memiliki cinta terhadap banyak hal. Selain bercabang, cinta juga memiliki prosentase masing-masing. Ketika Nabi saw ditanya, siapa orang yang paling dicintai, beliau menjawab: Aisyah. Berarti cinta Nabi saw terhadap Aisyah lebih besar dibanding cintanya terhadap orang lain, misalnya istri yang lain. Lalu cinta Nabi saw terhadap Abu Bakar As-Shiddiq juga lebih besar dibanding cintanya terhadap Umar bin Khattab dan orang-orang lain.
Karena itu, cinta bisa diperbandingkan. Besar mana cinta Nabi saw terhadap Aisyah ra atau terhadap Ummu Salamah ra yang sama-sama istrinya? Jelas jawabannya: Aisyah ra. Demikian pula, besar mana cinta Nabi saw terhadap Abu Bakar ra atau Umar bin Khattab yang sama-sama sahabatnya? Jelas jawabannya: Abu Bakar.
Perbandingan cinta tak terbatas, bisa antara siapa saja dan apa saja. Tapi ujung dari semua itu, Allah harus ditempatkan sebagai yang paling dicintai, tak boleh dikalahkan oleh cinta terhadap siapapun dan apapun. Inilah makna firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ ١٦٥ ( البقرة/2: 165)
Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman cinta mereka paling hebat (tak ada tandingannya) kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat keras azab-Nya, (niscaya mereka menyesal). (Al-Baqarah/2:165)
Ayat ini menerangkan bahwa cinta orang beriman paling besar kepada Allah dengan tanpa tandingan. Sementara cinta kaum musyrik terbagi, cinta kepada berhala-berhala pujaan mereka sama besarnya dengan cinta kepada Allah.
Jika kita kombinasikan antara ayat ini dan hadits Nabi saw di atas, diperoleh kesimpulan bahwa seorang mukmin tidak dilarang untuk mencintai selain Allah, seperti cinta terhadap wanita atau parfum. Atau cinta terhadap rumah, mobil, pekarangan, perhiasan dan sebagainya.
Cinta yang dilarang adalah memperbandingkan cinta kepada Allah dengan selain-Nya. Atau meletakkan cinta kepada selain Allah sama besarnya dengan cinta kepada Allah. Apalagi meletakkan cinta kepada selain Allah lebih besar dibanding cinta kepada Allah. Inilah makna dari ayat di bawah ini:
قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ ِۨاقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ ࣖ ٢٤ ( التوبة/9: 24)
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (At-Taubah/9:24)
Jadi kita tidak dilarang mencintai selain Allah sepanjang tidak melanggar ketentuan cinta yang diatur dalam Islam. Satu hati bisa diisi dengan banyak cinta, dengan prosentase masing-masing sesuai arahan Islam. Cinta kepada satu hal tidak harus membatalkan cinta kepada yang lain. Cinta kepada Allah tak harus membatalkan cinta kepada parfum, wanita, mobil, rumah dan sebagainya, selagi tertata dengan benar.
Wala’ Itu Tunggal
Wala’ adalah kesetiaan atau loyalitas. Kesetiaan bisa berupa rasa dalam hati, bisa tindakan di luar hati, bisa juga kombinasi keduanya. Ini jika kita mengukur kesetiaan dengan kaca mata manusia. Tapi jika kesetiaan diukur menurut pandangan Allah, maka kesetiaan dalam hati wajib ada, lalu dibuktikan dengan kesetiaan lahir (luar hati).
Seorang prajurit pasti setia terhadap komandannya. Apapun perintahnya dia laksanakan. Jika kita mengukur kesetiaan sang prajurit, kita hanya bisa melihat aspek lahirnya, sebab kita tak bisa membaca hatinya. Seandainya hatinya benci terhadap sang komandan, sepanjang si prajurit tetap setia dan taat secara lahir, sudah cukup hal itu menjadi bukti kesetiaan. Berarti, manusia dalam mengukur kesetiaan (wala) manusia lain, hanya mengandalkan indikator lahir, tanpa batin.
Namun kesetiaan manusia jika diukur oleh Allah, karena Allah Maha Tahu isi hati manusia, maka Allah memasukkan dua aspek sekaligus, yaitu kesetiaan batin, dan kesetiaan lahir. Kesetiaan batin wujudnya adalah cinta dan kecondongan hati. Sementara kesetiaan lahir adalah tindakan non hati yang mencerminkan kesetiaan hati tersebut.
Berbeda dengan cinta, kesetiaan itu bersifat tunggal. Sebab orang hanya bisa setia pada satu pihak. Orang tidak mungkin melaksanakan perintah yang berbeda dari dua pihak pada waktu bersamaan. Ia harus memilih, melaksanakan perintah si A atau si B. Sementara cinta, ia bisa membaginya di saat bersamaan. Sebab cinta hanya rasa dalam hati, tak harus ada konsekwensi tindakan non hati.
Seseorang dimungkinkan punya cinta dalam hati kepada dua atau tiga klub sekaligus. Misalnya Barcelona, MU dan Juventus. Tapi saat dua klub yang sama-sama ia cintai itu bertanding – misalnya Barcelona vs MU bertemu di final piala Champion – tentu ia dipaksa oleh keadaan untuk memilih. Hatinya pasti muncul kecondongan klub mana yang lebih dia inginkan untuk menang. Cinta bisa diberikan terhadap lebih dari satu obyek, tapi kecondongan atau keperpihakan hati pasti hanya kepada satu obyek. Inilah perumpamaan antara cinta dengan wala’.
Inilah alasan mengapa wala’ dalam Al-Qur’an tak pernah diperbandingkan. Wala’ ditampilkan dalam diksi pembatasan. Simak ayat berikut:
اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَهُمْ رٰكِعُوْنَ ٥٥ ( الماۤئدة/5: 55)
Wala’mu (kesetiaanmu) itu hanyalah untuk Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang menegakkan salat dan menunaikan zakat seraya tunduk (kepada Allah). (Al-Ma’idah/5:55)
Ayat ini dimulai dengan diksi ( إنما ) yang memiliki arti hanya atau cuma atau saja. Ikatan kesetiaan dibatasi hanya untuk Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Sementara orang beriman yang boleh diberi wala’ hanyalah yang berkarakter menegakkan shalat, menunaikan zakat dan selalu ruku atau tunduk kepada Allah.
Pembatasan pada tiga pihak ini tidak bersifat kontradiktif, sebab semuanya pada hakekatnya setia kepada obyek yang satu yaitu Allah. Ketesiaan kepada Rasul-Nya dan orang beriman hanya turunan dari kesetiaan kepada Allah, sebab Rasul-Nya dan orang beriman sama-sama memberikan kesetiaan kepada Allah.
Mari kita lihat pembandingnya di ayat yang lain.
بَشِّرِ الْمُنٰفِقِيْنَ بِاَنَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ ١٣٨ ۨالَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ اَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَاِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ ١٣٩ ( النساۤء/4: 138-139)
- Berilah kabar ‘gembira’ kepada orang-orang munafik bahwa sesungguhnya bagi mereka azab yang sangat pedih. 139. (Yaitu) orang-orang yang memberikan wala’ kepada orang-orang kafir dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? (Ketahuilah) sesungguhnya semua kemuliaan itu milik Allah. (An-Nisa’/4:138-139)
Ayat ini menerangkan, orang munafiq dimurkai Allah karena memberikan wala’ kepada orang kafir dengan mengabaikan orang beriman. Inilah karakter wala’ yang bersifat tunggal tak bisa dibagi, berbeda dengan cinta. Wala’ munafiq terhadap orang kafir bersifat meniadakan wala’nya terhadap orang beriman.
Karakter khas orang munafiq adalah menjaga hubungan kepada kedua pihak; mukmin dan kafir. Ia ingin dicitrakan berada di tengah. Moderat. Pluralis. Bhinekais. Liberalis. Humanis. Orang yang luwes dalam pergaulan dan kesetiaan. Kadang ke mukmin kadang ke kafir, tergantung kalkulasi keuntungan yang akan kembali pada dirinya.
Namun ayat ini membantah pencitraan yang dilakukan si munafiq itu. Jika ia memberikan wala’ kepada kafir, itu artinya membatalkan wala’ terhadap mukmin. Sebab tidak ada wala’ ganda. Inilah makna ayat di bawah ini:
مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ ۚوَمَا جَعَلَ اَزْوَاجَكُمُ الّٰـِٕۤيْ تُظٰهِرُوْنَ مِنْهُنَّ اُمَّهٰتِكُمْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ ٤ ( الاحزاب/33: 4)
Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongga (dada)nya, Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al-Ahzab/33:4)
Ayat ini berbicara tentang hubungan wala’ dalam keluarga. Bahwa anak angkat tetap harus diposisikan sebagai anak angkat, tak bisa dirubah menjadi anak kandung. Meski wala’ dalam keluarga, tapi Al-Qur’an memberikan kesamaan pandangan bahwa wala’ pada dasarnya bersifat tunggal baik dalam masalah ideologi maupun keluarga. Wala’ tak bisa dibagi, berbeda dengan cinta. Satu rongga dada hanya bisa diisi satu ikatan wala’, mustahil untuk diisi dengan dua ikatan wala’ sekaligus.
Karena itu, siapapun yang memenunjukkan wala’ terhadap kaum kafir, baik wala’ batin maupun wala’ lahir atau kombinasi keduanya, maka wala’nya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman dinyatakan batal. Pembatalan wala’ ini diberikan contohnya oleh ayat di bawah ini:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ٥١ ( الماۤئدة/5: 51)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memberikan wala’ kepada orang Yahudi dan Nasrani, sebab sebagian mereka terikat wala’ dengan sebagian yang lain. Siapa di antara kamu yang memberikan wala’ kepada mereka, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Ma’idah/5:51)
Ayat ini menjelaskan, jika mukmin memberikan wala’ kepada orang Yahudi atau Nasrani, maka Allah akan golongkan ia bersama Yahudi atau Nasrani. Mengapa demikian? Sebab wal’a bersifat tunggal, tak bisa dibagi. Ketika orang beriman memberikan wala’ kepada kafir, saat itu juga wala’nya kepada mukmin dinyatakan batal. Dan wala’ terhadap mukmin satu paket dengan wala’ kepada Allah dan Rasul-Nya, karenanya jika dinyatakan batal, maka batal terhadap semuanya.
Lalu statusnya apa jika seorang mukmin wala’nya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman dinyatakan batal? Ayat berikutnya memberi penjelasan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٥٤ ( الماۤئدة/5: 54)
Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum(pengganti) yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Ma’idah/5:54)
Ayat ini menjelaskan, jika ada mukmin yang murtad maka Allah akan datangkan orang lain yang akan menggantikan posisinya. Tentu saja dengan karekter yang bertolak belakang. Tidak mungkin Allah datangkan pengganti dengan karakter yang sama. Sebab didatangkannya sosok pengganti adalah dalam rangka mengoreksi kesalahan orang sebelumnya. Jika karekaternya sama, percuma diganti.
Sebagai contoh, seorang suami menceraikan istrinya karena sebuah pelanggaran. Tentu ketika mencari istri lagi sebagai pengganti, pasti mencari yang mengoreksi sebelumnya. Jika sebelumnya boros, pasti mencari istri baru yang pandai mengatur keuangan. Jika sebelumnya selingkuh, pasti mencari istriu baru yang setia. Begitulah sunnatullah kehidupan.
Ayat tersebut tidak menyebutkan apa kesalahan si mukmin sehingga dianggap murtad oleh Allah. Tapi hal itu bisa disimpulkan dari sosok pengganti yang Allah datangkan. Mari kita analisa ciri-ciri sosok pengganti:
Pertama, Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah. Bukankah timbal balik cinta merupakan akar wala’?
Kedua, bersikap lemah lembut atau penyayang kepada mukmin dan tegas kepada kafir. Bukankah ini refleksi lahir dari wala’ yang ada di hatinya?
Ketiga, berjihad di jalan Allah yang maksudnya adalah berperang di jalan Allah. Bukanlah jihad penuh resiko, baik harta dan nyawa. Ketika seseorang sukarela berangkat jihad, bukanlah itu bermakna puncak pengorbanan kepada Allah? Dan itu artinya cerminan wala’ yang ada di hatinya?
Keempat, tidak takut celaan orang yang mencela demi sang Kekasih yaitu Allah SWT. Bukankah ini mental yang lahir dari wala’ yang ada dalam hati?
Jadi ayat tersebut secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa siapapun mukmin yang mencintai kafir dan orang kafir mencintai mereka (kebalikan dari dicintai dan mencintai Allah), hatinya lebih condong kepada kafir dan galak kepada mukmin, enggan berkorban jiwa raga demi membela Allah, dan serba takut mendapat cibiran di jalan Allah, maka dianggap murtad oleh Allah. Sebab sikap-sikap tersebut menunjukkan bahwa wala’nya bukan untuk Allah tapi untuk musuh Allah.
Mukmin yang punya karakter pengkhianat tersebut disingkirkan oleh Allah, tidak lagi diakui sebagai loyalis Allah. Dalam dunia partai, dipecat oleh partai karena terbukti main mata dengan partai lain. Meski yang bersangkutan masih pakai atribut partai, tapi partai sudah berlepas diri darinya.
Jadi betapa seriusnya wala’ ganda. Siapapun yang punya wala’ ganda; satu kaki bersama mukmin dan kaki yang lain bersama kafir, maka Allah akan batalkan wala’nya kepada mukmin dan yang diakui hanya wala’ kepada kafir. Sebab Allah itu idealis, tak mau diduakan atau dikhianati. Allah tidak bisa menerima orang yang bermain-main dalam masalah loyalitas.
Konsistensi Al-Qur’an dalam memandang wala’ sebagai kesetiaan tunggal bisa dilihat di bawah ini:
اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ ٢٥٧ ( البقرة/2: 257)
Allah adalah wali (ikatan wala’) orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang kafir, wali-wali (ikatan wala’) mereka adalah taghut. Mereka (taghut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah/2:257)
Ayat ini menjelaskan bahwa garis loyalitas mukmin adalah Allah. Sementara garis loyalitas kafir adalah Thaghut dengan beragam versinya, seperti berhala, dewa dan sebagainya. Garis loyalitas itu tunggal, tak bisa ganda apalagi lebih.
Suporter Persija saja punya semboyan loyalitas tanpa batas terhadap klubnya. Loyalitas tunggal. Jika terhadap Persija orang bisa memahami, tentu ketika Allah meminta loyalitas tunggal lebih harus bisa dipahami. Sebab Allah adalah Rabbul Alamin, Pencipta jagat raya. Sudah sepantasnya Allah meminta itu. Dan sudah wajar jika Allah menganggap murtad siapapun yang punya loyalitas ganda.
Tauhid Cinta dan Tauhid Wala’
Mentauhidkan Allah dalam bab cinta adalah mencintai Allah dengan tanpa memperbandingkan cinta itu dengan selain Allah. Tapi bukan berarti tidak boleh mencintai yang lain. Kita masih boleh mencintai selain Allah dalam porsi yang secukupnya, seperti cinta terhadap wanita dan parfum. Sementara memberikan porsi cinta kepada musuh atau tandingan Allah sama sekali dilarang, seperti berhala dan semacamnya.
Adapun tauhid dalam bab wala’ adalah memberikan kesetiaan dan loyalitas tunggal hanya kepada Allah dan turunannya yaitu Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Kita dilarang memberikan wala’ kepada selain Allah apalagi musuh Allah, sebab hal itu bermakna membatalkan wala’ kepada Allah. Pada akhirnya yang bersangkutan akan diberi status murtad oleh Allah.
Mentauhidkan Allah bukan hanya menganggap Allah tunggal, one and anly secara jumlah. Tapi juga menjadikan Allah sebagai one and only dalam masalah loyalitas. Mari kita jaga wala’ kita. Jangan sampai kita menyekutukan Allah dalam hal wala’ jika tak ingin ‘dipecat’ oleh Allah.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – 01012023
(arrahmah.id)