Allah SWT. berfirman,
“Ketahuilah tentang laa ilaaha illaLlah”
Karena kalimat ini, Allah SWT. mengirimkan Nabi dan Rasul, karenanya orang-orang dibedakan dari Muslim dan kaafir, karenanya orang-orang mempunyai kesucian dalam hidup dan kekayaannya dan karenanya Kuffar tidak mempunyai kesucian. Karena laa ilaaha illaLlah, Muhammad SAW. bersabda,
“Wahai kaum Quraisy, aku datang untuk memerangi kalian.”
Dan dia SAW. bersabda, “Aku telah diutus untuk berperang sampai mereka mengatakan laa ilaaha illaLlah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dan jika mereka melakukannya maka hidup dan harta mereka terlindungi dariku kecuali untuk haq Islam dan perhitungan kepada Allah SWT.”
Karena laa ilaaha illaLlah Islam menjadi yang tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, karenanya kuffar takut terhadap Islam.
Karena laa ilaaha illaLlah Islam menjadi yang tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, karenanya kuffar takut terhadap Islam.
Namun, orang-orang Asy’ariy tidak mempelajari Tauhid, mereka hanya memperlajari Tauhid Ar -Rububiyyah tanpa menjelaskan apapun tentang Tauhid Al-Uluhiyyah, mereka juga tidak mempelajari tentang thaghut lebih dahulu, padahal mengetahui tentang thaghut adalah pilar pertama dalam At- Tauhid. Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus….” (QS Al baqarah, 2: 256)
Ibnu Abbas berkata,
“Al Urwatul Wutsqa adalah kalimah Laa ilaaha illallah.”
Pilar pertama tauhid adalah menolak thaghut, dan kedua adalah beriman kepada Allah.
Ini adalah pemahaman Tauhid Shahabat, dan mereka adalah orang yang terbaik dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, pemahaman Abu Bakar As Siddiq tanpa diragukan lagi itu lebih baik daripada semua Ulama saat ini atau semua Ulama setelah Shahabat. Allah SWT berfirman,
“Jika mereka beriman pada apa yang kamu imani, mereka akan mendapat petunjuk.”
Allah SWT. berbicara tentang Shahabat, bahwa jika kita beriman pada apa yang mereka imani, kita akan mendapatkan petunjuk. Mereka adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, RasuluLlah SAW bersabda,
“Ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semua akan masuk neraka dan satu yang akan selamat,” mereka bertanya,”Siapakah yang selamat itu?” Nabi SAW bersabda,”Aku dan shahabat-shahabatku.”
Utsman Ad-Darimi meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata,
” At Thaghut adalah segala sesuatau yang disembah selain Allah.”
Sa’ad Ibnu Musayyab meriwayatkan bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud berkata,
“Segala sesuatu yang disembah, diikuti atau di taati selain Allah adalah Thaghut.”
Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar berkata,
“Al ilaah adalah Al Ma’bud, Al Mutaa’, Al Matbuu”
‘Laa ilaaha illaaLlah’ bukan berarti “Tidak ada pencipta selain Allah” tetapi itu berarti,
“Tidak ada yang berhak disembah, ditaati atau diikuti dalam kebenaran kecuali Allah.”
Ibadah termasuk semua ibadah ritual, termasuk shalat, zakat dan sebagainya, semua yang memberikan ibadah ritual kepada selain Allah adalah Musyrik. Seorang yang melakukannya (menyembah kepada selain Allah) maka kita harus menyebutkanya kafir, kita seharusnya tidak takut menyebut mereka kafir karena Allah menyebut mereka kaafir. Allah adalah satu-satuNya yang mempunyai hak untuk menyebut seseorang kaafir, dan siapa saja yang Dia sebut kafir, kita harus menyebut mereka kafir atau kita akan mengingkari kalimat Allah, itulah mengapa semua yang meragukan bahwa Yahudi atau Nasrani atau Musyrikin adalah Kafir, mereka adalah kaafir.
Takfir
Kemudian, jika sebelumnya seseorang Muslim, tetapi kemudian melakukan kemurtadan, maka kita harus mendeklarasikan kepada mereka takfir. Takfir adalah untuk memurnikan camp Islam, dan dia merupakan ibadah kepada Allah SWT, kita menjadi lebih dekat kepada Allah dengan melakukan takfir. Seseorang yang berbicara seperti kaafir, berbuat seperti kafir, berperang dengan kafir melawan Muslim, mereka tidak mempunyai hak untuk tetap di camp Imaan dan tauhid. Mereka yang berada dalam Camp Islam mempunyai perlakuan yang khusus, mereka menikah dengan orang-orang Muslim, mereka memberikan dan menerima salam dari Muslim. Namun seseorang yang melakukan perbuatan murtad dari Islam, tidak mempunyai hak istimewa tersebut, mereka tidak mempunyai hak untuk tetap berada di camp imaan, tetapi mereka harus bersama camp kufur, atau kuffar dan musyrikin.
Orang-orang Asy’ariy dan Maturidiy tidak mempunyai perbedaan sama sekali dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang At-Tauhid Ar Rububiyyah, tetapi ada perbedaan besar dalam Tauhid Al-Uluhiyyah. Asy’ariyyah tidak beriman atau bahkan (tidak) mempelajari Tauhid Al-Uluhiyyah, mereka adalah Murji’ah – mereka membedakan iman dari perbuatan, mereka tidak menyebut orang yang melakukan kufur menjadi kafir, walaupun jika dia menggunakan salib, mereka membuat keringanan untuk mereka – ‘mungkin mereka beriman dalam hati’. Murji’ah tidak beriman pad Al-Kufur bit thoghut, mereka tidak beriman pada Talazum (penyatuan) antara zhahir dan batin, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman bahwa ada kesatuan (talazum) antara yang batin dan zhahir.
Dua Muslim datang kepada Muhammad SAW. dengan sebuah perselisihan untuk berhukum, dia telah memutuskan di antara keduanya. Salah seorang dari mereka tidak setuju dengan keputusannya, dan berkata,”Aku tidak setuju”, Shahabatnya bertanya apa yang harus dilakukan, laki-laki berkata,”mari kita pergi kepada Abu Bakar”, mereka pergi kepadanya dan berkata kepadanya tentang apa yang terjadi, Abu Bakar berkata,”kalian harus berada pada keputusan Muhammad”, salah seorang dari mereka berkata,”Aku tidak setuju”, Shahabatnya berkata,”mari kita pergi kepada ‘Umar” mereka pergi kepada ‘Umar dan berkata kepadanya tentang apa yang terjadi, Umar berkata kepada mereka untuk menunggu sebentar dan dia masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil pedangnya, dia menyerang laki-laki yang tidak setuju dan kemudian mengejar orang yang kedua. Dia pergi dan mengadukan kepada Muhammad SAW bahwa Umar telah membunuh temannya dan bahwa dia akan dibunuh olehnya, Muhammad SAW. berkata,”Aku tidak pernah mengajarkan Umar untuk berani membunuh seorang Mu’min,”Allah SWT. menurunkan ayat,
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Umar Ibnu Khattab menganggap mereka menjadi kafir beradasarkan pada sesuatau yang tampak, tanpa memeriksa hati mereka, dan Allah SWT. menurunkan sebuah ayat yang mengkonfirmasi keputusannya dan kemudian Muhammad SAW. memeluknya dan berkata,”Allah telah memurnikanmu dari langit ketujuh.”
Al Asmaa’ Wal Sifaat
Abu Hasan Al-Asy’ariy 50 tahun memeluk Mu’tazilah. Mu’tazilah mempunyai banyak macam, mereka percaya bahwa rasio (akal) adalah sumber legislasi. Mereka percaya bahwa perkara baik adalah apakah yang baik menurut rasio, dikonfirmasi oleh wahyu, dan perkara buruk adalah apa yang buruk menurut rasio, dikonfirmasi oleh wahyu. Mereka percaya bahwa ada lima pilar iman, pertama, Tauhid, nama dan sifat, mereka melakuan interpertasi terhadap nama dan sifat, mereka akan mengganti pengertian Yadd, dari tangan menjadi kekuasaan dan sebagainya. Orang-orang Asy’ariy melakukan ta’wil yang sama, ta’wil ini dari ulama adalah sebuah penghalang takfir, mereka melakukan interpretasi terhadap sifat dan nama Allah, ketika Allah SWT. berkata bahwa dia mempunyai tangan mereka akan mengatakan karena Allah SWT. tidak seperti kita, Dia SWT. tidak bisa mempunyai tangan jika kita mempunyai tangan, dimana Allah SWT tidak mempunyai wajah jika kita mempunyai wajah.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah membuat Tatsbit, mereka menegaskan nama dan sifat secara bahasa, tanpa menggambarkan bagaimana, mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai tangan dan itu tidak sama dengan tangan kita dan kita tidak mengetahui bagaimana.
Mu’awwilah mengalihkan pengerian pengertian dari maknanya secara bahasa kemudian mengartikan secara metafora bahkan dengan tanpa dalil sekalipun. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Mutsabitah (mereka mengambil makna secara bahasa) dalam mengartikan, mereka Mufawidh dalam kaifiyyah (bagaimana), seperti mereka mengatakan,”Allah mempunyai wajah tidak seperti wajah kita, dan kita tidak tahu bagaimana.”
Ta’wil ini (terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT.) adalah salah satu penyimpangan Asy’ariyyah, namun ketika kita berbicara tentang penyimpangan, kita tidak berbicara tentang penyimpangan Abu Mansur Al-Maturidi atau penyimpangan Abu Hasan Al-Asy’ariy. Kita menilai penyimpangan mereka dari orang-orang terbaik yaitu Shahabat – Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Ketika kita berbicara tentang nama dan sifat Allah, kita harus memahami bahwa ada prinsip dalam Islam menyatakan bahwa kita harus mengambil pengertian secara bahasa dari sebuah kata kecuali jika kita mempunyai dalil syar’i untuk mengubahnya menjadi pengertian secara metafora.
Kata, Yadd berarti tangan, secara metafora itu berarti banyak hal termasuk kekuatan dan sebagainya. Mu’awillah membuat interpretasi pada hal ini dan mengambil pengertian secara metafora. Ini salah karena kita mengetahui bahwa semua suku Arab mengartikan kata Yadd berarti tangan, maka tidak ada argumen untuk mengatakan itu berarti sesuatu yang lain. Berbeda, dengan mufawidha membuat tafwiidz pada sesuatu.
Imaan
Perselisihan lainnya adalah tentang Imaan, orang-orang Asy’ariy percaya bahwa imaan dalam hati dan statis dalam hati, mereka tidak percaya bahwa kita bisa menjadi kafir setelah menjadi Muslim.
Orang-orang Maturidiy percaya bahwa Imaan adalah dalam hati dan diucapkan dengan lidah, tidak akan pernah bisa dibatalkan. Orang-orang Jahmi percaya bahwa tidak bisa dibatalkan, walaupun jika kita mengatakan bahwa kita kafir, mereka tidak akan percaya padamu.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah percaya bahwa imaan adalah perkataan dan perbuatan serta niyyah (di dalam hati), juga bertambah dan berkurang, Ibnu Taimiyyah berkata,
“Imaan adalah perkataan dan perbuatan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dalam hati.”
Selanjutnya salah satu kesalahan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah adalah bahwa mereka membedakan antara iman dari perbuatan. Nabi SAW. menjelaskan sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Umar Ibnu Khattab sebagaiman dia SAW. berbicara kepada Jibril a.s. bahwa,”Islam adalah mengucapkan “laa ilaaha illaLlah”, melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa ramadhan dan menunaikan haji…,” dan dia berkata dalam hadits yang sama bahwa “Imaan adalah beriman kepada Allah, kitabNya dan Rasulnya…”
Karena hadits ini, orang-orang Asy’ariy membedakan Islam dan Imaan, membedakannya dan mereka mempelajari masalah-masalah perbuatan dalam konteks (masuk dalam pembahasan) Syari’ah dan belajar masalah-masalah iman dalam pembahasan atau konteks aqidah.
Pada Aqidah mereka mengatakan bahwa itu adalah apa yang ditegaskan (tasdiq) dan berdasarkan hanya pada dalil yang qhat’i bukan zhanni, walaupun mereka mengambil dalil zanni untuk masalah syari’ah.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mempunyai talazum (penyatuan) antara aqidah dan syari’ah. Selanjutnya, pada aqidah, asy’ariyyah percaya bahwa tidak ada taqlid dalam aqidah, tetapi taqlid hanya ada pada syari’ah. Mereka mengatakan bahwa aqidah harus berdasarkan pada pendirian setiap individu. Ini adalah perkataan imam Al-Maturidiy.
Ahlus Sunnah percaya dalam ittba’, mengikuti kehidupan Ulama, Allah SWT berfirman,
“Bertanyalah kepada Ahluz zikr jika kamu tidak tahu.”
Kita mengikuti ulama jika dia mengikuti Shahabat Muhammad SAW, Ahluz zikr adalah ulama dan shahabat, kita melakukan ittiba’ kepada mereka dalam semua hal. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah memahami tentang Islam dan Imaan, keduanya adalah sinonim, hanya ketika mereka disebutkan secara bersamaan keduanya membawa pengertian yang berbeda, dengan kata lain Islam adalah Imaan dan Imaan adalah Islam.
Imaam Abu Hasan Al-Asy’ariy setelah 5 tahun mengikuti aqidah ini (mu’tazilah) telah merubah aqidahnya menjadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan membuat pernyataan yang terkenal disaat melemparkan jubahnya,”Aku melempar opiniku ke tembok sebagaimana aku melempar jubah ini ke tembok.” Dan dia mulai memperbaiki semua perkataannya yang salah tentang aqidah, ini seketika sebelum kematiannya. Setelah perubahannya dia dikenal sebagai Imaam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Wallahu’alam bis showab!