LAGOS (Arrahmah.com) – Belum genap dua bulan mengabdi di sebuah rumah sakit negeri Lagos, dua perawat Muslim dipecat dari pekerjaan karena menolak untuk melepas jilbab setelah pihak berwenang rumah sakit mengatakan kepada mereka untuk memilih antara pekerjaan dan jilbab mereka.
“Pada saat orientasi satu bulan dimulai, saya diberitahu untuk melepas jilbab saya,” ujar Fasilat Olayinka Lawal, salah satu dari dua perawat yang dipecat dari National Orthopaedic Hospital Igbobi Lagos ( NOHIL ), kepada OnIslam.net.
“Saya meminta mereka untuk membolehkan saya, terlebih saya juga memiliki surat permohonan yang disirkulasikan dari Keperawatan dan Kebidanan Dewan Nigeria yang saya sampaikan kepada kepala Departemen Keperawatan, maka saya diijinkan untuk melakukan orientasi mengenakan jilbab,” tambahnya.
Kisah Lawal dan Seminar Sanusi bermula di bulan Februari ketika dua perawat Muslim melakukan pemeriksaan medis mereka untuk bergabung dengan staf NOHIL.
Saat diminta untuk menanggalkan jilbabnya, Lewal berkata, “Aku menanggapi mereka dengan mengatakan bahwa setahu saya rumah sakit federal lainnya membolehkan jilbab dan saya berharap RS Igbobi tidak menjadi pengecualian.”
“Setelah hari itu, saya melakukan kontak dengan rekan-rekan di University College Hospital Ibadan (UCH) dan Obafemi Awolowo University Teaching Hospital Ile-Ife (OAUTHC) dan saya merasa tercerahkan saat mengetahui akan ada harapan bagi saya untuk dipanggil bekerja menjadi perawat di RS pemerintah, sebab ada surat yang diedarkan setelah pernyataan saya tersebut, menyatakan berjanji memberi ijin berjilbab kepada staf medis.”
Pada surat edaran tersebut, dikutip oleh koresponden OnIslam.net, tertanggal 11 Februari 2002 dan ditandatangani oleh dewan maka Sekretaris Jenderal & Panitera , PN Ndatsu menyatakan bahwa “perawat perempuan harus memakai baik topi Perawat atau jilbab sebahu.”
Setelah menerima surat edaran, ia dirujuk ke kantor administrasi keperawatan untuk orientasi.
Argumen atas jilbab muncul kembali lagi pada tanggal 23 Maret, Lawal mengatakan, ketika ia mengenakan seragam keperawatannya dengan jilbab sebahu, saya diberitahu bahwa “cara berpakaian seperti saya tidak dibenarkan, karena menggunakan jilbab, bukan topi perawat.”
“Pada tanggal 31 Maret, saya diberitahu untuk meninggalkan bangsal saat masih mengenakan jilbab,” tambahnya.
Kemudian April, ia berhenti dari pekerjaan dan dicegah dari penandatanganan daftar hadir, keputusan serupa juga dijatuhkan kepada Sanusi.
Advokasi hukum
Kasus perawat berkembang lebih lanjut pada bulan April ketika sebuah komite disiplin meminta mereka untuk melepas jilbab dan perintahuntuk tampil di hadapan panel pada Senin (15/4/2014).
“Kami segera mencari penasihat hukum karena kami bertekad untuk tidak melepaskan jilbab kami,” kata Lawal.
“Kami memutuskan untuk melanjutkan ke pengadilan untuk menghentikan tindakan disipliner yang diambil terhadap kami dan juga mencari ganti rugi di pengadilan atas pelanggaran hak asasi manusia dan diizinkan untuk bekerja dengan memakai jilbab tanpa halangan yang diizinkan oleh N & MCN, satu-satunya badan legal untuk mengatur profesi keperawatan di Nigeria,” ia menceritakan kepada OnIslam.net.
Lawal mengatakan meskipun dokumen pengadilan disajikan pada pihak berwenang, mereka masih dilarang melanjutkan pekerjaan, pengacara mereka mempromosikan untuk menulis kepada pihak berwenang pada 17 April guna memperingatkan mereka tentang konsekuensi dari tindakan mereka.
Pihak berwenang rumah sakit tidak merespon, namun dan pada Rabu (23/4), mereka memberikan dua wanita itu memo agar masing-masing untuk tampil di hadapan dewan manajemen rumah sakit.
“Kami bertemu dengan dewan dan diberitahu bahwa dengan tetap berjilbab, kami telah melakukan tindakan pembangkangan dan ketidaktaatan dan akan dikenai sanksi oleh hukum pelayanan publik,” katanya.
Tanpa ada proses pembelaan dari pengacara mereka, direktur medis dari rumah sakit Dr. OO Odunibi mengatakan dalam pesan singkatnya kepada OnIslam.net pada Minggu (27/4) bahwa kedua Muslimah itu dipecat bukan karena jilbab tapi atas “pembangkangannya”.
“Jika Anda datang ke rumah sakit, Anda akan melihat banyak anggota staf yang berjilbab. Kasus di pengadilan sangat kasuistik, jadi saya tidak bisa membahas lebih lanjut.”
Upaya untuk berbicara dengan ketua NOHIL dari Asosiasi Perawat dan Bidan Nigeria, Nyonya Agunloye, ditolak karena ia menolak untuk mengomentari insiden tersebut.
“Saya tidak bisa mengomentari itu. Silahkan pertanyaan Anda layangkan ke humas dari NOHIL,” bentak Agunloye, marah sambil membanting telepon.
Kemarahan Muslim
Sebuah organisasi Islam Nigeria terkemuka telah mengecam keputusan rumah sakit NOHIL untuk memberhentikan dua perawat Muslim untuk mengenakan jilbab. Mereka menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya diskriminasi di negara ini.
“Dengan tindakan terbaru, NOHIL dan manajemen rumah sakit terus menunjukkan agresi terhadap para korban dan permusuhan terskenario dan tidak akuntabel terhadap agama Islam,” kata Direktur Eksekutif MPAC Disu Kamor dalam sebuah pernyataan yang keras kepada media.
Organisasi tersebut juga mengutuk pihak rumah sakit yang mempertahankan status quo dengan bersikukuh mengantisipasi dengan menyelesaikannya sendiri, tanpa ada pihak lain dari pemerintah guna mengakomodir perundingan kedua belah pihak.
Pernyataan itu menambahkan “Para suster akan terus menuntut keadilan, dan masyarakat Muslim mendukung mereka. Tindakan agresi yang baru hanya akan memperkuat kami. Muslimah perawat ini akan terus mencari keadilan dengan segala cara yang sah, MPAC menghormati mereka dan siap memberdayakan mereka.”
” Keputusan untuk memecat korban diskriminasi tidak hanya menindas korban, itu adalah noda lain pada sejarah NOHIL. Tirani pengusaha, publik dan swasta, perlu ada tindakan menyoroti anggota parlemen kita untuk melakukan hal yang benar dan membuat undang-undang yang mengkriminalisasi, serta diskriminasi atas dasar agama.”
Organisasi tersebut mendorong Muslim yang mengalami situasi seperti di tempat lain untuk melaporkan dan pengambil tindakan hukum “terhadap setiap atasan yang memaksa mereka harus memilih antara agama dan pekerjaan mereka.”
MPAC mendesak semua lembaga dan individu Muslim untuk “memanjatkan doa dan dukungan mereka kepada para korban terbaru dari diskriminasi terhadap agama.”(adibahasan/arrahmah.com)