IRAN (Arrahmah.id) — Terbunuhnya tiga tentara Amerika Serikat (AS) di Yordania dan melukai puluhan lainnya, yang diduga dilakukan oleh kelompok yang didukung Iran, adalah ‘garis merah’ yang kemungkinan besar akan dilanggar dan berpotensi menjadi perang terbuka baru.
Hingga akhir pekan ini, AS berhasil menghindari korban jiwa dalam lebih dari 150 serangan terhadap pangkalan militernya yang dilakukan oleh proksi Iran sejak pecahnya perang Israel-Hamas setelah serangan 7 Oktober. Namun, ‘keberuntungan’ tersebut ternyata tidak akan bertahan selamanya.
Ini adalah skenario yang telah berulang kali dibahas di Pentagon dan Dewan Keamanan Nasional, namun keputusan yang diambil pada kenyataannya bergantung pada berbagai keadaan pada saat itu.
Biden sekarang akan memilih dari sejumlah opsi dan mempertimbangkan dilema mengenai sejauh mana upaya yang harus dilakukan untuk merespons hal tersebut sambil dengan menghindari perang langsung melawan Iran.
Seorang mantan komandan AS di wilayah tersebut mengatakan opsi yang diajukan kepada presiden akan mencakup “target di Iran yang terkait dengan produksi amunisi, untuk pelatihan dan memperlengkapi pasukan pengganti Iran”.
Ada banyak tuntutan dari para senator Partai Republik dan beberapa mantan jenderal AS sejak serangan terhadap pangkalan Tower 22 di perbatasan Yordania-Suriah agar Biden mengebom Iran secara langsung.
Wesley Clark, pensiunan jenderal yang pernah menjadi panglima tertinggi NATO di Eropa, menyarankan tindakan keras untuk merespons kejadian tersebut.
“AS harus berhenti mengatakan, ‘Kami tidak ingin melakukan eskalasi.’ Hal ini mengundang mereka untuk menyerang kami. Berhenti menyebut serangan kami sebagai ‘pembalasan’. Ini reaktif. Keluarkan kemampuan mereka dan serang keras sumbernya: Iran,” katanya, dilansir The Guardian (30/1/2024).
Biden pun sekarang kian rentan terhadap tuduhan kelemahan di panggung dunia karena perjuangannya untuk terpilih kembali – yang hampir pasti melawan Donald Trump.
Namun, serangan udara di Iran akan menjadi sebuah langkah besar. Mungkin saja ada operasi militer rahasia AS di Iran sejak revolusi Islam tahun 1979, namun tidak pernah dilakukan serangan terang-terangan.
Trump adalah pihak yang paling reaktif dengan serangan tersebut dengan memerintahkan serangan terhadap Iran dengan rudal dan pesawat tempur pada bulan Juni 2019 sebagai pembalasan atas jatuhnya pesawat tak berawak AS, namun ia membatalkan perintah peluncuran tersebut dalam waktu 10 menit.
Ia mengatakan bahwa ia berubah pikiran karena perkiraan banyaknya korban sipil dan risiko perang besar-besaran AS-Iran.
Kekhawatiran yang sama kini sangat membebani Biden. Kawasan ini sudah menjadi medan perang, di mana koalisi pimpinan AS saling baku tembak dengan Houthi yang didukung Teheran di Yaman, dan ancaman perang Israel-Hizbullah di Lebanon. Hal itu diwaspadai memicu lonjakan harga minyak dan inflasi global yang akan jauh lebih merusak prospek terpilihnya kembali Biden.
Nicholas Heras, direktur senior strategi dan inovasi di New Lines Institute di Washington, mengatakan pemerintahan Biden berada dalam posisi yang sulit.
“Anggota senior pemerintahan ingin terus bersaing dengan China di Asia dan menghadapi Rusia di Eropa dan tampaknya tidak akan mundur dari Iran di Timur Tengah,” ujarnya.
Heras menambahkan bahwa keseimbangan tersebut semakin sulit dipertahankan. “Situasi di kawasan ini berkembang pesat menuju konfrontasi antara Amerika Serikat dan Iran, yang telah berlangsung selama bertahun-tahun,” katanya.
Faktor penghambat utama adalah kenyataan bahwa tidak ada negara yang percaya bahwa mereka mempunyai kepentingan untuk mengubah serangkaian konflik proksi menjadi perang habis-habisan.
Dina Esfandiary, penasihat senior Timur Tengah di International Crisis Group, mengatakan Iran tidak mampu melakukan perang multi-front.
“Dari percakapan dengan beberapa pejabat, saya sangat yakin bahwa ini adalah sesuatu yang sangat mereka takuti. Saya tidak yakin mereka tahu cara menangani konflik besar-besaran dengan AS,” tuturnya.
Namun, Iran tetap menggunakan strateginya untuk meningkatkan kewaspadaan atas kehadiran AS di kawasan dengan mempersenjatai dan memberikan kebebasan kepada milisi proksinya, hingga Washington mulai menarik pasukannya.
Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah dengan menargetkan warga Iran dan perangkat keras Iran di luar perbatasan Iran. Pilihan yang paling parah adalah serangan terhadap kapal perang Iran yang mendukung Houthi di Laut Merah atau Teluk Aden.
Pilihan yang lebih kecil adalah serangan terhadap Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) yang bermarkas di Suriah, termasuk fasilitas yang dikenal sebagai Rumah Kaca di bandara Damaskus, yang oleh Charles Lister, dari lembaga pemikir Institut Timur Tengah, disebut sebagai “fasilitas komando/kontrol IRGC yang paling sensitif di Suriah.”
Mantan komandan AS tersebut mengatakan ada kemungkinan fasilitas pasukan ekspedisi Quds IRGC di Irak juga terkena serangan, namun hal ini berisiko semakin memperumit hubungan yang sudah retak dengan pemerintah di Baghdad yang mengancam akan mengusir pasukan AS darii Irak.
“Saya pikir ini adalah situasi yang penuh dengan kerapuhan di sejumlah wilayah yang berbeda,” kata mereka. “Respons jelas mutlak diperlukan, jika hal itu benar-benar menurunkan kapasitas dan kemampuan pasukan yang menembaki pangkalan dan tentara kita. Namun bagaimana melakukan hal tersebut tanpa memperburuk situasi yang sudah sangat menantang? Menurut saya ini sangat sulit.” (hanoum/arrrahmah.id)