(Arrahmah.id) – Tak terasa kita telah mendekati pertengahan Rajab, salah satu dari empat bulan yang disucikan dalam Islam. Rajab terkenal akan peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di dalamnya. Salah satunya Perang Tabuk yang sangat fenomenal.
Perang Tabuk juga dikenal dengan nama ekspedisi Usra. Ekspedisi tersebut diprakarsai oleh Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam pada Oktober 630 M dengan 30.000 tentara. Mereka berbaris menuju utara Tabuk yang dekat dengan Teluk Aqaba. Wilayah yang saat ini dikenal sebagai Arab Saudi barat laut.
Peperangan ini berlangsung selama 50 hari, dengan pembagian 20 hari kaum Muslim berada di Tabuk dan 30 hari untuk menempuh perjalanan pulang pergi dari Madinah ke Tabuk. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Riyadh: Muntada ats-Tsaqafah, 2013], h. 366)
Skenario Pra Peperangan
Perang Tabuk bermula adanya berita penyerangan oleh Bizantium, maka Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam meminta kaum muslimin untuk bersiap menghadapi mereka tetapi banyak dari kaum muslimin yang menolak ikut. Pasukan Muslim berbaris menuju Teluk Aqaba pada Oktober 630, saat itu bertepatan dengan 9 Rajab.
Rombongan ini merupakan sebuah ekspedisi besar dan perbedaan dalam pertempuran kali ini adalah Ali bin Abi Thalib tidak ikut serta, ia mendapatkan perintah Nabi shalallahu alayhi wa sallam untuk tetap tinggal di Madinah memegang komando kepemimpinan.
Pasukan kaum muslimin tinggal selama beberapa waktu di Tabuk. Nabi Muhammad shalallahu alayhi wa sallam mengintai daerah tersebut dan bertemu dengan beberapa pemimpin kabilah dan membuat perjanjian dengan mereka. Namun, dalam periode ini tidak satupun tentara Bizantium yang menampakkan diri. Maka, Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam memutuskan untuk kembali ke Madinah. Disebutkan dalam oxford ensiklopedia dunia Islam,
“Pameran kekuatan ini menunjukkan niat untuk menantang Bizantium dalam menguasai bagian utara rute kafilah dari Makkah ke Suriah” (oxford ensiklopedia dunia Islam).
Sebab Peperangan
Konflik antara kaum Muslimin dan Romawi dimulai ketika Syurahbil bin Amr, seorang gubernur Kristen Busra membunuh Harits bin Umair yang merupakan utusan Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam. Tak terima dengan kematian sang utusan, Nabi shalallahu alayhi wa sallam mengutus 3000 tentara dibawah pimpinan Zaid bin Haritsah ke perbatasan Suriah. Ketika mereka sampai di Ma’an, mereka mendapat kabar bahwa Syurahbil bin Amr sedang berbaris untuk melawan mereka dengan membawa 100 ribu tentara dan di sisi lain saudara laki-laki Kaisar Theodore juga berbaris dengan jumlah tentara yang sama. Dengan rahmat Allah SWT, kaum muslimin berhasil memenangkan peran, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Mu’tah. Hal ini memberikan dampak positif, sejumlah kabilah Arab mulai melepaskan diri dari kekaisaran Romawi dan bergabung dengan umat Islam.
Hal ini merupakan sinyal bagi Romawi bahwa Islam kelak akan menaklukkan kekuasaan mereka.
Masih tidak terima dengan kekalahan yang memalukan di Mu’tah, Kaisar Romawi memutuskan untuk mempersiapkan penyerangan melawan kaum muslimin pada 9 H. Orang-orang munafik saat itu bersemangat untuk melihat kekalahan Islam di tangan Kaisar, yang mana telah dijelaskan dalam Surah at Taubah yang dengan jelas menyebutkan kemunafikan mereka.
“Ayat 42 pada surah at Taubah yang diturunkan pada Rajab AH 9 atau beberapa saat sebelum ini, ketika Rasulullah sedang melakukan persiapan untuk perang memperingatkan orang-orang Mukmin untuk segera mengambil bagian dalam Jihad, dan orang-orang yang lalai ditegur keras karena menahan harta mereka dan ragu-ragu untuk mengorbankan hidup mereka di jalan Allah karena kemunafikan, iman yang lemah atau kelalaian.” (Tafhimul Quran)
“Sekiranya (yang kamu serukan kepada mereka) ada keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, niscaya mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu terasa sangat jauh bagi mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jikalau kami sanggup niscaya kami berangkat bersamamu.” Mereka membinasakan diri sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (TQS. At Taubah: 42)
Ternyata kabar rencana penyerangan itu terdengar ke telinga umat Muslim kendati masih samar-samar. Sadar bahwa Romawi merupakan imperium raksasa paling ditakuti pada masanya, membuat masyarakat Muslim di Madinah gelisah. Khawatir jika tiba-tiba Romawi datang menggempur mereka dan meluluhlantakkan Madinah.
Kaum muslimin merasakan kegentaran. Sementara itu, orang-orang munafik justru menunggu-nunggu hasil dari penyerangan Romawi, mereka cukup yakin jika penghancuran Islam oleh Romawi akan terlaksana. Mereka juga percaya bahwa ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk menghancurkan kekuatan Islam jika kaum muslimin mengalami kekalahan telak di Suriah. Maka, mereka menggunakan Masjid yang mereka dirikan untuk menyusun skenario.
Di sisi lain, para Mukmin sejati juga mengakui sepenuhnya bahwa nasib dakwah Islam selama 22 tahun terakhir kini berada dalam situasi genting. Jika mereka menunjukkan keberanian dan berhasil mengalahkan Romawi, maka Islam akan menyebar ke seluruh dunia, sedangkan jika mereka menunjukkan kekurangan atau kelemahan, maka semua yang telah mereka perjuangkan akan musnah.
Singkat cerita, Nabi shalallahu alayhi wa sallam akhirnya menuju Suriah pada 9 Rajab dengan 30.000 prajurit. Kondisi saat itu sangat sulit, logistik yang dimiliki kaum muslimin terbatas, jumlah tunggangan yang dibawa sangat sedikit sampai-sampai sejumlah besar dari pasukan harus berjalan kaki dan saling bergiliran menunggangi unta. Selain itu, cuaca gurun panas membakar dan kaum muslimin mengalami kekurangan air yang parah. Namun, dorongan keimanan cukup bagi kaum Mukmin untuk melewati semua tantangan dan rintangan yang luar biasa itu.
Ketika kaum muslimin sampai di Tabuk, mereka menemukan bahwa Romawi telah menarik kembali tentara mereka dari daerah pedesaan, tidak ada musuh untuk dilawan. Kaum muslimin berhasil meraih kemenangan tanpa pertumpahan darah.
Pertempuran ini masih dikenang oleh sejarah dan akan terus dikenang hingga akhir zaman dan bahwasanya bukanlah kuantitas atau peralatan yang menentukan tetapi ketaatan yang tulus, iman, dan kepercayaan tanpa syarat kepada Allah SWT adalah yang paling penting. (zarahamala/arrahmah.id)