Wafa Muhammad Ali Zeidan, wanita berusia 35 tahun, berada di ruang kelas tiga saat mendengar pesawat pertama datang, suaranya yang bergemuruh sangat menakutkan. Tanpa pikir panjang, Zeidan, seorang guru bahasa Inggris, bergegas menuju pintu, membuat panik seluruh siswi yang ada di kelasnya.
Murid lainnya tertawa, berteriak: “Ibu, kau takut pesawat?”
Dia kembali ke mejanya, malu karena telah membuat panik anak-anak dan mengganggu jam pelajaran.
Dan kemudian mereka mendengar ledakan pertama.
“Seorang gadis mencengkeram pakaian saya, gemetar dan menangis,” ujar Zeidan.
“Lalu kami mendengar suara mengerikan pesawat kedua. Kami kehilangan kontrol dari para siswa dan mereka mulai panik dan berlarian.”
Zeidan kehilangan empat rekanya dalam pemboman udara brutal di kompleks sekolah Kamal di kota Haas, Suriah Utara pada akhir Oktober lalu.
17 siswa dan 15 warga kota juga tewas, ujar seorang juru bicara kelompok relawan White Helmets mengatakan kepada Al Jazeera.
Badan amal UNICEF mengatakan serangan di provinsi Idlib yang dikuasai oleh Mujahidin adalah di antara yang terburuk yang menghantam lembaga pendidikan sejak awal revolusi Suriah. Itu adalah kejahatan perang.
Zeidan yang telah menjadi guru selama 13 tahun, telah menyaksikan pemboman udara sebelumnya di Suriah yang dilanda perang. Tetapi ia tidak pernah melihat kehancuran seperti yang dia saksikan pada Oktober silam.
“Itu adalah serangan yang dilakukan untuk menyerang rasa takut dalam hati anak-anak dan orang tua,” ungkapnya kepada Al Jazeera.
Haas tidak menjadi serangan terakhir terhadap sekolah di Suriah. Hari berikutnya pada 27 Oktober, tiga anak tewas dalam serangan yang melanda sebuah sekolah di Aleppo barat.
Sepanjang perang di Suriah, lembaga pendidikan telah menjadi target serangan. Lebih dari dua juta anak usia sekolah yang masih berada di dalam negeri, tidak menghadiri kelas.
Menurut UNICEF, ada 60 serangan terhadap sekolah-sekolah di Suriah sepanjang 2015, membunuh sedikitnya 591 anak. Tahun ini, PBB telah mendokumentasikan 84 serangan terhadap sekolah di seluruh Suriah, dengan sedikitnya 69 anak kehilangan nyawa mereka dan banyak lainnya yang terluka.
Tahun lalu, Save the Children mengatakan bahwa setengah dari 8.500 serangan global terhadap lembaga pendidikan antara tahun 2011 dan 2014, telah terjadi di Suriah. Di tahun 2016 saja, tiga perempat dari 60 sekolah di Idlib dan Aleppo telah digempur oleh bom.
Para guru dan organisasi-organisasi bantuan yakin bahwa serangan-serangan terhadap sekolah di Suriah sengaja dilakukan.
Abdul Hammami, direktur Badan Amal Swasia yang berbasis di Amerika Serikat yang menjalankan 14 sekolah di wilayah Ghautah, Suriah, yakin bahwa rezim Suriah dan sekutunya menargetkan sekolah untuk merusak pendidikan dan membuat imej kekerasan.
“Mereka ingin memberi kesan mereka memerangi ‘ekstrimis’ ketika tentu saja mereka yang menciptakan ini,” ujarnya.
Zeidan yakin motif rezim Suriah adalah untuk menghancurkan identitas.
“Mimpi-mimpi kecil guru masa depan dan para dokter telah dibunuh oleh penjahat yang tidak tahu arti kasih sayang.”
“Mereka (Rusia dan rezim Asad) tahu bahwa tidak ada yang akan dihukum karena kejahatan-kejahatan tersebut. Mereka adalah penjahat perang, karena mereka membunuh anak-anak di tempat yang suci, sekolah.”
Bagaimanapun, Rusia seperti sebelum-sebelumnya, selalu membantah tentang serangan yang menargetkan sipil. Sementara itu di hari yang sama dengan serangan Haas, media corong propaganda rezim Asad melaporkan telah membunuh “teroris” di provinsi Idlib tetapi tidak melaporkan setiap anak yang tewas dan terluka.
Itu jauh dari yang dialami oleh Zeidan.
“Jalan (di luar sekolah) dipenuhi dengan mayat. Aku merasa seperti aku tidak bisa bergerak, terutama ketika aku melihat ke kiri dan melihat keponakan suamiku yang telah meninggal.”
Kisah salah satu orang tua, Khaled Da’ef, juga berbeda dari versi resmi media Rusia dan rezim Suriah. Putrinya yang berusia 13 tahun, murid terpintar di kelasnya, tewas dalam serangan Haas.
“Pada pagi hari pembantaian, saya membawanya ke sekolah dan memberikan uang saku harian. Saya tidak menyangka bahwa itu akan menjadi perpisahan kami.”
Suriah sebelumnya memiliki sistem pendidikan yang berkembang baik. Tingkat melek huruf telah lebih dari 90 persen untuk kedua jenis kelamin. Tapi saat konflik telah memburuk, tingkat kehadiran telah turun menjadi kurang dari 50 persen, sekolah-sekolah menjadi target bombardir dan mengalami kehancuran parah, sementara beberapa lainnya berubah menjadi pangkalan militer dan pusat-pusat penyiksaan, menurut Human Rights Watch yang mendokumentasikan sebuah sekolah yang digunakan sebagai tahanan pusat di Homs.
Sekolah-sekolah di Aleppo dan Homs dan pedesaan Damaskus berubah mejadi tempat penampungan bagi pengungsi.
Dengan sekolah yang sering menjadi target serangan, seringkali sulit membujuk orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Bahkan anak-anak serangan mengasosiasikan sekolah dengan konotasi negatif.
“Anak-anak kami benci mendengar kata ‘sekolah’,” ujar Zeidan.
“Bahkan saya telah menjadi takut untuk pergi ke sekolah dan benci melihat buku atau tas, mereka menjadi kenangan yang menakutkan.”
Zeidan dan dua anaknya berhasil melarikan diri dari sekolah tanpa cedera. Dia dan rekan-rekannya kini bergabung untuk memberikan pelajaran kepada murid mereka dimanapun dan kapanpun saat memungkinkan.
“Kami tidak akan meninggalkan mereka dalam kebodohan. Mereka memiliki hak untuk pendidikan, sama seperti semua anak di dunia.”
Di timur Aleppo, di mana sampai 100.000 anak tetap berada di bawah pengepungan, guru-guru telah mengganti ruang kelas konvensional dengan ruang bawah tanah, karena takut serangan di sekah dan ruang terbuka seperti taman bermain. Langkah-langkah keamanan lainnya termasuk mengganti kaca jendela kelas dengan plastik.
Di provinsi Idlib, sekolah-sekolah diadakan di ruang bawah tanah untuk melindungi anak-anak dari pemboman udara saat mereka berada di kelas. (haninmazaya/arrahmah.com)