(Arrahmah.ccom) – Sejumlah analis dan pakar kembali ramai membahas serangan 11 September dan dampak globalnya yang sampai saat ini masih dirasakan oleh dunia internasional. Salah satu analis dan pakar tersebut adalah Isham Zaidan yang menulis artikel berjudul Shira’ Al-Istiratijiyah: Hal Intasharat Al-Qa’idah ‘ala Amrika untuk situs iraqnusra.qawim, Berikut terjemahannya.
Perang strategi, apakah Al-Qaeda meraih kemenangan atas AS?
Perluasan operasi di luar negeri dan serangan militer, terkhusus lagi dalam perang Afghanistan dan Irak 2003, saling berperan sehingga menimbulkan krisis ekonomi dan menempatkan AS dalam posisi yang sangat sulit dalam aspek ekonomi dan militer. Hal itu sepenuhnya sesuai dengan keinginan Al-Qaeda. Oleh karena itu kita bisa mengatakan bahwa perang strategi antara AS dan kelompok Al-Qaeda masih terus berlangsung.
Peperangan antara AS dan kelompok Al-Qaeda tidak berhenti pada medan-medan pertempuran militer dan peperangan berdarah di Irak, Afghanistan dan titik-titik peperangan lainnya yang tengah berkecamuk. Masih ada peperangan dalam bentuknya yang lain, yaitu perang strategi.
Strategi yang dibangun oleh kelompok Al-Qaeda —- kita tidak mesti sependapat dengannya dalam memandang tabiat peperangan, akibat-akibatnya dan sikap umat Islam darinya— yang diumumkannya sejak 2004 M, dalam beberapa pesan audio pimpinan kelompok syaikh Usamah bin Ladin dan wakilnya syaikh Aiman Azh-Zhawahiri, bertumpu pada usaha menguras habis kekuatan AS sampai jurang kebangkrutan, yang akan berakibat kemunduran kekuatan militer AS.
Strategi ii nampaknya telah menunjukkan beberapa kemajuan. Dalam sebuah kebijakan yang boleh jadi belum pernah terjadi sebelumnya dan mengindikasikan situasi yang genting, Mentri Pertahanan AS Robert Gates mengumumkan penutupan sebuah komando tinggi dalam tentara nasional AS yang mempekerjakan 5000 karyawan. Ia juga menyusutkan jumlah pendaftar dalam tentara nasional dan mulai meniadakan beberapa pekerjaan dalam tentara nasional dengan tujuan menghemat anggaran sebesar 100 miliar dolar selama lima tahun mendatang.
Menurut laporan koran The New York Times, Konggres AS akan memberikan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Koran itu menegaskan bahwa Gates akan mengumumkan penurunan sekitar 2 % anggaran untuk membiayai birokrasi dalam departemennya. Koran itu juga mengutip dari senator dari Partai Demokrat dan ketua komisi militer dalam Konggres bahwa ia akan berusaha menurunkan anggaran pertahanan pada tahun mendatang sebesar 7 miliar dolar. Para wakil Partai Demokrat dalam komisi militer dalam Konggres AS telah memberikan suara untuk menurunkan anggaran sebesar 8 miliar dolar dari biaya operasi-operasi besar militer yang diperkirakan sebesar 18 miliar dolar.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa perluasan operasi di luar negeri dan serangan militer, terkhusus lagi dalam perang Afghanistan dan Irak 2003, saling berperan sehingga menimbulkan krisis ekonomi dan menempatkan AS dalam posisi yang sangat sulit dalam aspek ekonomi dan militer. Hal itu sepenuhnya sesuai dengan keinginan Al-Qaeda.
AS masih menggelar perang berkelanjutan di Afghaistan sejak 2001, sementara itu jumlah tentara AS yang tersebar di Afghanistan dalam perang terlama yang pernah diterjuninya mencapai 100.000 tentara. AS juga terpaksa harus mempertahankan sekitar 6 divisi militer penuh dan sekitar 100 pangkalan militernya di Irak, sebelum melakukan penarikan mundur pasukan dari kota-kota di Irak. Biaya perang di Irak dan Afghanistan mencapai sekitar satu triliun dolar, sebanyak 684 miliar dolar untuk perang di Irak dan 223 miliar dolar untuk perang di Afghanistan.
Hal itu belum terhitung biaya operasi-operasi menghadapi apa yang disebut dengan “terorisme”. Laporan Pusat Studi Konggres AS menegaskan bahwa perang melawan “terorisme” yang timbul pasca serangan 11 September memakan biaya lebih dari 1 triliun dolar. Diperkirakan biaya total untuk perang ini mencapai angka 2 triliun dolar sampai tahun 2019, sesuai perhitungan komisi militer dalam Konggres AS.
Pembicaraan tentang hal itu juga berkaitan erat dengan “pembengkakan” aparat keamanan di AS pasca serangan 11 September. Lebih dari 850 ribu aparat keamanan di AS telah membebani anggaran negara AS miliaran dolar setiap tahunnya.
Para analis mengaitkan anggaran militer yang sangat besar ini sebagai salah satu sebab krisis ekonomi yang masih mendera AS dan sebagian negara Eropa sejak 2008. Krisis ekonomi parah yang melanda AS sejak dua tahun lalu pastinya bukan angin yang berlalu begitu saja. Krisis itu telah meninggalkan dampak yang sangat serius, terutama pada anggaran belanja dan persenjataan.
The New York Times telah mengungkapkan pembengkakan jumlah hutang pemerintah AS. Menurut laporan koran itu, hutang pemerintah AS telah meningkat sehingga mencapai angka 13 triliun dolar dan defisit anggaran AS mencapai angka 1,5 triliun dolar. Kantor Anggaran dalam Konggres AS telah memperkirakan skenario keuangan alternatif yang diperkirakan akan menyebabkan sejumlah perubahan bagi kebijakan pemerintah AS. Skenario itu memperkirakan hutang AS secara umum akan meningkat dari angka 44 % sebelum terjadinya krisis sampai angka 716 % pada tahun 2080. Berdasar skenario pokok yang dibuat oleh Kantor Anggaran dalam Konggres AS, jika kebijakan moneter AS saat ini dipertahankan maka hutang AS akan naik sebanyak 280 %.
Dua perkara ini, kelemahan fondasi ekonomi dan perluasan operasi militer di luar negeri, kira-kira merupakan dua poros utama yang menjadi sasaran strategi kelompok Al-Qaeda. Kedua perkara ini merupakan dua pertiga sebab kehancuran dan kemunduran sejumlah imperium dan negara super power.
Barangsiapa mengkaji ulang sejarah dengan baik niscaya akan mendapati fakta bahwa selama dua abad yaitu abad kedua dan ketiga Masehi, terjadi tiga krisis secara bersamaan yang mengancam imperium Romawi ke jurang keruntuhan; peperangan di luar negeri, perang saudara dalam negeri dan kelemahan ekonomi.
Hal inilah yang ditegaskan oleh laporan majalah AS, News Week. News Week menyebutkan bahwa AS dikenal sebagai negara super power, penguasa dunia atau imperium. Namun kemampuannya dalam mengatur masalah keuangannya sangat terkait erat dengan kemampuannya dalam mempertahankan dirinya sebagai kekuatan militer terpenting di dunia.
News Week menyoroti sejarah runtuhnya beberapa imperium dimulai dengan hutang yang menumpuk dan berakhir dengan penurunan drastis terhadap sumber-sumber keuangan bagi tentara. News Week mengambil imperium Inggris sebagai contoh. Ketika itu bunga hutang Inggris menghabiskan 44 % total keuangan kerajaan Inggris selama masa berkecamuknya perang. Akibatnya Inggris sangat sulit untuk mempersenjatai kembali kekuatan militernya saat mendapat ancaman keamanan dari Jerman. Di akhir laporannya, News Week menegaskan AS harus melakukan reformasi keuangan yang fundamental agar tidak mengalami kesudahan nasib yang sama.
Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa perang strategi antara AS dan kelompok Al-Qaeda masih terus berlangsung. Hanya saja permulaan-permulaan perang ini menunjukkan bahwa AS tengah berada di pinggir jurang kekalahan strategi, dalam pengaruh-pengaruhnya dan kesudahan akhirnya, jauh lebih besar dari kekalahan dalam perang militer taktis.
Ditulis oleh Isham Zaidan
Analis dan penulis muslim dari Mesir
(muhib almajdi/arrahmah.com)