TRIPOLI (Arrahmah.com) – Kekerasan di Libya yang sudah berlangsung sejak Februari lalu telah menyebabkan sebagian besar penganut Kristiani melarikan diri. Sementara itu, uskup Katolik Roma di Tripoli berusaha lebih fokus untuk menjaga perebutan kekuasaan antara Muammar Gaddafi dan pemberontak anti-pemerintah keluar dari gerejanya.
Beberapa jemaatnya yang merupakan pekerja migran khususnya Afrika, telah menggunakan Gereja St. Fransiskus sebagai persembunyian. Mereka takut pergi ke jalan-jalan karena mereka sering dipaksa berhenti dan dilecehkan oleh pasukan keamanan Gaddafi.
Perang telah membuat masyarakat Kristen terpukul di Tripoli. Komunitas Kristen yang hidup di Libya mencakup buruh migran Afrika, pekerja kesehatan Filipina, dan ekspatriat Eropa, di antaranya perempuan asing yang menikah dengan orang Libya. Libya merupakan negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan aktivitas misionaris tidak diperbolehkan, meskipun pendeta mengatakan rezim telah menghormati kebebasan beribadah bagi orang-orang Kristen.
Martinelli dan kepala dari lima gereja lain di Tripoli -semua gereja di Libya dipimpin oleh pendeta asing dengan jemaat terdiri hampir seluruhnya orang asing- mengklaim telah berusaha untuk telah mempertaruhkan jalan keluar di tengah konflik yang telah memisahkan Libya menjadi dua bagian, Libya barat yang dikendalikan oleh Gaddafi dan Libya timur dikuasai oleh pemberontak.
Dalam sebuah pernyataan minggu ini, sebelum memulai Paskah pada Minggu (17/5), gereja-gereja Tripoli menyerukan agar segera dilakukan gencatan senjata dan mengatakan dialog merupakan satu-satunya cara untuk mengakhiri krisis yang sudah berusia dua bulan.
Upaya untuk mengeluarkan Gaddafi dengan paksa hanya akan membuat penguasa tiran itu semakin bertekad untuk bertahan, kata Martinelli, seorang Italia yang datang ke Libya hanya setahun setelah Gaddafi merebut kekuasaan tahun 1969.
“Dia adalah seorang Badui, dia sangat kuat,” kata Martinelli.
Martinelli mengatakan jemaatnya di Tripoli mulai menyusut dari 100.000 menjadi sekitar 5000 jemaat. Komunitas Ortodoks Yunani telah menyusut dari sekitar 1000 sampai kurang dari sepuluh orang. Gereja Uni turun dari 1200 menjadi 250 jemaat.
Beberapa dari mereka yang masih tinggal mengatakan bahwa mereka jarang meninggalkan rumah mereka hari ini karena Tripoli penuh dengan pos pemeriksaan, sebagai salah satu kebijakan Gaddafi untuk mencegah protes anti-pemerintah.
John Lucky (30), seorang jemaat asal Nigeria di St Francis, mengatakan pasukan sering menghentikan migran dengan paksa dan memeriksa paspor serta kartu SIM di ponsel mereka.
John, yang bekerja sebagai supir untuk sebuah perusahaan konstruksi Turki sampai pemberontakan mulai pada tanggal 15 Februari, mengatakan banyak dari teman-temannya telah meninggalkan Libya.
Martinelli mengatakan ia tidak terlalu khawatir tentang apakah gereja akan bertahan krisis di Libya.
“Gereja bukan institusi saya,” katanya. “Ini adalah dari Tuhan saya.” (althaf/arrahmah.com)