Oleh F. Irawan
(Arrahmah.com) – Perang Salib adalah serangkaian perang yang berlangsung di Asia Kecil (Anatolia) dan Syam antara 1095 sampai dengan 1291 M, yang mana bangsa-bangsa Eropa terlibat menggunakan propaganda perang ekspedisi keagamaan. Latar belakang dari Perang Salib adalah Perang Arab-Bizantium selama berabad-abad dan kekalahan telak yang belum lama sebelumnya dialami pasukan Bizantium oleh Turki Seljuk di Manzikert pada 1071 M. Penakluk Norman, Robert Guiscard, yang menaklukan sejumlah wilayah Bizantium semakin menambah permasalahan Kekaisaran Bizantium.
Dalam upaya mengatasi kedua bahaya ini, Kaisar Bizantium, Alexios I, berusaha menyatukan bangsa-bangsa Kristen melawan musuh bersama, meminta bantuan Barat, dan pada gilirannya Paus Urbanus II menyeru para pemimpin Barat untuk melancarkan Perang Salib I. Tujuan utamanya untuk merebut kembali Tanah Suci sehingga memulihkan akses kaum Nasrani menuju tempat-tempat suci di dan dekat Yerusalem.
Pasukan Salib terdiri atas satuan militer Kristen dari seluruh Eropa Barat, dan tidak berada di bawah komando tunggal. Rangkaian utama Perang Salib, terutama melawan Muslim di Syam. Beberapa ratus ribu orang menjadi tentara salib—karena lambang mereka adalah salib—dengan mengucapkan sumpah; Kepausan memberi mereka indulgensi penuh. Banyak tentara Salib berasal dari Prancis dan menyebut diri sebagai “orang Frank”, yang menjadi istilah umum di kalangan Muslim. Orang Eropa sejak lama menyebut penghuni Tanah Suci sebagai Saracen dan mereka terus menggunakan istilah ini dalam artian buruk selama Perang Salib.
Perang Salib memberikan pengaruh politik, ekonomi, dan sosial yang besar di Eropa Barat. Konflik ini mengakibatkan melemahnya Kekaisaran Kristen Bizantium, yang beberapa abad kemudian ditaklukkan oleh Turki Muslim. Reconquista, periode panjang peperangan di Spanyol dan Portugal (Iberia), di mana pasukan Kristen merebut kembali semenanjung dari Muslim, sangat berkaitan dengan Perang Salib.
Setelah bangsa Norman menetap di Prancis dan menaklukkan Inggris, baik Prancis dan Inggris, serta Kekaisaran Romawi Suci, lebih kuat dibanding pada masa Charlemagne. Para raja dan ratu mereka mulai berpikir, seperti yang dulu pernah terpikir oleh Charlemagne,untuk menaklukkan seluruh Mediterania dan mendirikan kembali Kekaisaran Romawi kuno. Secara khusus, mereka ingin merebut Yerusalem, kota Yesus Kristus, dari tangan Daulah Fathimiyah yang menguasainya.
Pada 1095 M Paus Urbanus II berpidato di Clermont di Prancis selatan, di mana ia menyeru orang-orang untuk mengangkat senjata dan berperang untuk membebaskan Yerusalem dari kekuasaan Fathimiyah. Orang-orang begitu bersemangat, bahkan anak-anak dan orang tua juga ingin ikut pergi.
Saking bersemangatnya, beberapa kelompok berangkat ke Yerusalem sebelum kelompok utama diorganisasi. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan meruntuhkan Tembok Yerusalem begitu mereka tiba di sana. Jadi, pikiran mereka tidak perlu bertempur atau membawa senjata. Beberapa dari mereka bahkan tak membawa uang sedikit pun.
Sebagian besar kelompok kemudian mendapati bahwa berkelana dan bertempur itu lebih sulit dari dugaan mereka, dan sebagian besar di antara mereka akhirnya meninggal dalam perjalanan. Satu kelompok memutuskan bahwa terlalu sulit untuk pergi ke Yerusalem dan memerangi Fathimiyah, dan lebih memilih untuk berhenti di Jerman untuk memerangi Yahudi. Ribuan orang Yahudi dirampok dan dibunuh oleh Crusaders hanya karena mereka bukan orang Kristen.
Pada akhirnya pada musim gugur 1096, pasukan salib utama berangkat ke Yerusalem. Mereka menggunakan rute yang berbeda-beda, sebagian pergi lewat darat dan sebagian lewat laut, menuju Konstantinopel. Di sana Kaisar Alexios cukup terkejut melihat mereka dan tidak terlalu senang. Dia sempat takut pasukan itu akan menyerang kekaisarannya, tapi akhirnya ia mengirim mereka menuju Yerusalem.
Fathimiyah tidak terlalu waspada karena mereka mengira bahwa yang datang adalah pasukan kecil Romawi dari Konstantinopel yang hanya ingin bertempur sedikit di Suriah.
Pasukan Salib tiba di Yerusalem pada Mei 1098. Mereka terkejut melihat betapa beradabnya kota itu, dengan adanya masjid Kubah Batu, pemandian air panas, dan kedokteran Islam yang maju.
Pasukan Salib membuat banyak kesalahan dan kejahatan dalam peperangan mereka. Namun, Fathimiyah sedang bertempur juga melawan Seljuk sehingga mereka tak mampu mempertahankan Yerusalem dengan baik. Pasukan Salib pun berhasil merebut Yerusalem serta beberapa kota penting lainnya di pesisir Mediterania.
Kemudian orang-orang Frank menetap sana sebagai raja-raja kecil di negara baru mereka. Banyak orang Eropa yang pergi bolak-balik Eropa-Timur Tengah, mempelajari matematika dan pengobatan dari para ilmuwan Islam, serta membawa makanan baru, seperti gula, ke Eropa. Dengan demikian, Perang Salib I merupakan suatu kesuksesan bagi orang Eropa dan kemunduran bukan hanya bagi Fathimiyah, tetapi juga Muslimin pada umumnya.
Executive Summary Laporan Lembaga Kajian Syamina Edisi 9/Juli 2017
(*/arrahmah.com)