Oleh : K. Mustarom
(Arrahmah.com) – Lebih dari 150 tahun, Hukum Kemanusiaan Internasional (IHL) melindungi layanan kesehatan kepada kombatan yang terluka, baik dari pihak kawan maupu lawan. Perlindungan tersebut mampu memberikan obat yang cukup vital bagi kemanusiaan di tengah kondisi perang. Pada tahun 1864, beberapa negara sepakat untuk membentuk IHL tentang layanan kesehatan. Hukum tersebut menyatakan bahwa kombatan yang sakit dan terluka dari pihak yang bertikai yang berada di luar pertempuran akan dilindungi dan dirawat.
Tentu saja, perlindungan kepada mereka yang terluka akan sia-sia tanpa akses kepada personil dan bantuan medis. Karenanya, IHL juga melindungi mereka yang memberikan layanan medis dan sarana untuk melakukannya. Mereka tidak boleh diserang, ditembak, atau dicegah dari menjalankan fungsinya secara tepat. Perlindungan tersebut tidak dicabut kecuali jika personel tersebut melakukan aksi yang membahayakan musuh di luar fungsi kemanusiaan mereka. Meski demikian, perlindungan tersebut hanya bisa dicabut setelah mereka diberi peringatan dengan batas waktu yang layak. Personel medis juga tidak boleh dihukum jika mereka memberi pelayanan kesehatan, bahkan kepada musuh yang terluka sekali pun. Dalam IHL, perlindungan tersebut tidak melemah meski musuh tersebut didefinisikan sebagai teroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan layanan kesehatan meski ia masuk dalam daftar teroris. Namun sayangnya, perang global melawan teror menjadi titik balik yang mengancam etik dasar dalam IHL tersebut. Sebagai bagian dari respon terhadap ancaman terorisme, beberapa negara menyerang para pelayan kesehatan, atau menahan, mencegah, bahkan menghukum mereka.
Hari ini, perang melawan teror menjadi semacam cek kosong bagi negara untuk melakukan segala yang mereka inginkan. Aturan internasional, yang harapannya bisa memperlunak dampak perang terhadap warga sipil, tidak lebih dari sekadar janji kosong terhadap warga sipil yang keinginannya untuk mendapatkan keadilan dan pertanggungjawaban sering diabaikan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard Law School Program in International Law dan Armed Conflict, disimpulkan bahwa seringkali dengan atas nama kekuatan hukum dan dukungan politik dari Dewan Keamanan PBB, negara menghukum—di waktu perang maupun damai—berbagai bentuk dukungan, termasuk meliputi layanan kesehatan, kepada organisasi teroris. Respon tersebut mengabaikan dua prinsip dasar perlindungan yang diberikan oleh IHL dalam hal layanan medis.
Pertama, kebijakan kontraterorisme menganggap layanan kesehatan sebagai bentuk dukungan tidak sah terhadap musuh. Padahal, menurut International Committee of Red Cross (ICRC), ide besar dibalik Konvensi Jenewa I tahun 1949 adalah bahwa “layanan kesehatan, meskipun diberikan kepada pihak musuh, selalu legitimate, dan tidak termasuk tindakan permusuhan. Personil medis selalu ditempatkan di atas konflik.”
Kedua, kebijakan kontra terorisme mengabaikan kemungkinan bahwa sebuah organisasi teroris sangat mungkin mempekerjakan petugas medis untuk bekerja di bawah otoritasnya. Karenanya, undang-undang anti terorisme nasional seringkali melarang petugas medis untuk melakukan tindakan di bawah arahan dan kendali dari kelompok teroris. Padahal, sistem perlindungan IHL tentang layanan kesehatan sebagian bergantung pada mutual trust di antara pihak yang bertikai. Lambang Konvensi Jenewa mungkin adalah manifestasi paling tampak dari hal tersebut. Dengan menampilkan lambang tersebut akan memberikan notifikasi kepada pihak musuh bahwa personel dan objek yang memakainya dapat mengklaim manfaat untuk mendapatkan perlindungan khusus.
Dewan Keamanan nampaknya menganggap bahwa pemberian layanan kesehatan kepada Al Qaidah dan sekutunya paling tidak sebagai dasar untuk menuduh mereka sebagai teroris. Menurut kesimpulan dari penelitian Harvard Law School Program on International Law and Armed Conflict, dengan menghukum tenaga medis karena tuduhan membantu teroris, beberapa negara justru telah melanggar kewajiban mereka dalam perjanjian IHL.
Rasionalitas yang dipakai untuk memahami prinsip kemanusiaan—terutama netralitas—seringkali terjebak pada logika “with us or against us” yang selama ini menjadi penyokong agenda kontraterorisme. Sementara netralitas berarti tidak berpihak, pendekatan kontraterorisme seringkali membuat pengkubuan. Framing yang dilakukan oleh kontraterorisme menghadirkan sebuah ancaman yang eksistensial. Karena itulah, pada tahun 2011, ICRC meminta kepada seluruh negara untuk mengeluarkan dari undang-undang anti terorisme segala aktivitas yang bersifat kemanusiaan, tidak berat sebelah, dan dilakukan tanpa membedakan pembedaan musuh. Jika tidak, larangan memberikan layanan kesehatan terhadap orang yang terluka dan menuduh aktivitas kemanusiaan tersebut sebagai dukungan terhadap terorisme berarti “meragukan ide di balik pendirian ICRC—dan tentunya lembaga palang merah dan bulan sabit merah nasional—lebih dari 150 tahun yang lalu.”
Tak hanya menghadapi risiko serangan dan pembunuhan—yang selama ini coba ditutupi dengan alibi collateral damage—aksi kemanusiaan juga coba direstriksi dengan sejumlah aturan yang mempersulit bantuan kemanusiaan kepada para korban di wilayah konflik atau yang terlibat dalam konflik.
Sejumlah negara menerapkan aturan yang lebih ketat terhadap lembaga kemanusiaan, meningkatkan tindakan militer dan kepolisian dalam menghadapi pihak-pihak yang dianggap menentang, serta menyusun serangan terhadap aktivis sosial dan para pembela hak asasi manusia. Namun, sejumlah tindakan represif tersebut seolah dianggap wajar karena dipersepsikan sebagai bagian dari “perang melawan teror”.
Laporan dari Statewatch dan Transnational Institute menyatakan bahwa banyak standar global kontraterorisme dibuat oleh pemerintah AS dan kemudian diadopsi oleh PBB, G7/G8, IMF, Bank Dunia. Setelah itu, standar tersebut disebarkan melalui badan-badan regional seperti FATF sebelum akhirnya diadopsi menjadi regulasi dan hukum yang mengikat kepada negara-negara anggota. Praktik tersebut dikenal dengan istilah policy laundering, pencucian kebijakan. Sayangnya, sekumpulan kebijakan yang tidak akuntabel tersebut tidak pernah mendapatkan perhatian kritis dari publik.
Pasca Serangan 11 September, organisasi antar pemerintah mulai mengembangkan dan menguatkan rezim pemaksaan global dengan menggunakan ‘soft law’ (resolusi, prinsip, panduan, dll), yang bisa disepakati dan diratifikasi secara lebih cepat dibanding konvensi antar pemerintah tradisional, yang seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk disepakati. Para akademisi menyebut proses ini sebagai ‘pemaksaan secara keras melalui aturan yang lunak’.
Menurut Physician for Human Rights, selama 14 tahun terakhir, pemerintah AS telah merusak hukum internasional dengan menyatakan bahwa dalam memerangi teroris, aturan tidak berlaku. Argumen ini pada dasarnya cacat dan sangat berbahaya. Di Suriah, Bashar al-Assad juga telah merobek hukum perang dengan mengklaim bahwa semua boleh dalam memerangi teroris. Empat tahun telah berlalu dan 250.000 orang telah tewas—masyarakat internasional masih tetap lumpuh soal Suriah dan serangan terhadap rumah sakit dan pembunuhan dokter telah menjadi norma baru di negara ini.
“Cukup, bahkan perang pun ada aturannya” adalah kulminasi dari sebuah kekecewaan mendalam atas peristiwa yang terus berulang. Perang global melawan terorisme telah mengancam etika dasar dari hukum kemanusiaan internasional (IHL), yaitu perlindungan layanan kesehatan bagi seluruh pihak yang terluka. Kebijakan kontraterorisme saat ini banyak yang bertentangan dengan beberapa perlindungan yang dijamin dalam IHL.
Banyak organisasi kemanusiaan yang bekerja keras untuk membantu menyelamatkan nyawa mereka yang menjadi korban dalam konflik. Mereka berusaha menjangkau jutaan orang yang tak beruntung di seluruh dunia, yang seharusnya tidak boleh kita lupakan dan abaikan. Untuk itu, mereka rela mempertaruhkan nyawanya, kebebasannya, dan menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk membantu sesama. Itulah mengapa mereka sering dijuluki sebagai warriors without weapons, ksatria tanpa senjata. Dan kini, para ksatria tersebut menghadapi sebuah dilema dan ancaman: membantu mereka yang membutuhkan, dengan risiko dibunuh atau dihukum dengan tuduhan terkait dengan terorisme, atau membiarkan mereka yang membutuhkan sendiri tanpa pertolongan. Paling tidak, tindakan kemanusiaan mereka masih membuktikan bahwa dunia masih punya hati.
Executive summary laporan khusus lembaga kajian Syamina edisi 03 Januari 2016
(*/arrahmah.com)