Oleh Dr Abdullah Khalifa Al-Shayji*
(Arrahmah.id) – Sejak awal agresi brutal “Israel” terhadap Jalur Gaza, pengepungan dan penghentian semua pasokan dasar, seperti air, listrik dan bahan bakar untuk mengoperasikan generator rumah sakit, “Israel” telah melakukan kejahatan perang yang luas dan beragam di berbagai tingkatan, termasuk tindakan biadab dan pengeboman brutal terhadap permukiman warga dan penghuninya, hingga jumlah korban tewas melebihi 7.500 orang dan 20.000 orang terluka. Selain itu, terdapat lebih dari 2.000 orang hilang.
Namun, tetap saja pemerintahan Biden menolak gencatan senjata, meskipun jumlah korban jiwa dan kehancurannya tinggi, dan tidak menetapkan garis merah, seperti yang disebutkan Presiden Biden, atas apa yang dilakukan “Israel”, yang setiap hari melakukan kejahatan perang.
AS menggunakan hak vetonya dua kali terhadap rancangan resolusi gencatan senjata di Dewan Keamanan dan, pada Jumat malam (27/10/2023), AS bersama “Israel” dan beberapa negara melakukan pemungutan suara untuk menentang rancangan resolusi Yordania mengenai gencatan senjata kemanusiaan di Gaza.
Dengan dukungan dan simpati internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap “Israel”, yang berhasil mengubah narasi dari penjajahan, penindasan dan pembunuhan sistematis menjadi agresi terhadap “Israel” dan rakyatnya – dan pembunuhan 1.400 warga “Israel” – “Israel” memutuskan untuk melancarkan perang darat.
Hal ini terlepas dari semua peringatan untuk menghindari dampak dan kerugian akibat perang darat, seperti yang telah dilakukan “Israel” dalam perang sebelumnya selama enam tahun terakhir, bahkan selama perang panjang pada 2014 yang menyebabkan kerugian bagi “Israel” dalam invasi darat terbatas yang dilakukannya. Pemerintahan Biden telah meminta “Israel” untuk menunda perang darat karena negosiasi kesepakatan pertukaran sandera dan posisi Pasukan Amerika yang tidak lengkap.
Dengan dimulainya pekan keempat perang “Israel” di Gaza pada Jumat (27/10) dan, meskipun ada peringatan serta permintaan pemerintahan Biden untuk menunda perang darat, yang akan dilakukan secara bertahap, Gaza menjadi sasaran serangan terbesar, yaitu serangan udara tanpa henti, pengeboman artileri dan rudal paling kejam dari kapal perang, sementara komunikasi dan Internet terputus.
Gaza tenggelam dalam kegelapan, ketika orang-orang yang terluka dan para syuhada berbondong-bondong dibawa ke rumah sakit. Di bawah tirai pengeboman besar-besaran ini, pasukan darat dari tentara pendudukan maju dengan manuver dan serangan tank terbatas ke utara Jalur Gaza, membuka jalan bagi invasi darat. Di tengah perselisihan antara pemerintahan darurat dan pimpinan militer, bahkan pemimpin salah satu partai keagamaan beberapa hari lalu membocorkan informasi bahwa tentara belum siap melancarkan perang darat.
Dengan dimulainya pasukan tank pendudukan memasuki Gaza, tentara pendudukan tidak mengumumkan dimulainya perang atau manuver darat. Sebaliknya, mereka menggambarkannya sebagai “perluasan operasi militer”.
Sebuah pernyataan dari Brigade Al-Qassam Hamas mengatakan, “Kami sedang menghadapi serangan Israel”, sementara para pejabat di negara-negara Arab, seperti Arab Saudi dan Yordania, dengan suara bulat memperingatkan bahaya dan dampak perang darat “Israel” di Gaza terhadap stabilitas Timur Tengah.
The New York Times mengutip Senator Richard Blumenthal, yang termasuk di antara 10 senator yang bertemu dengan Pangeran Mohammed Bin Salman di Arab Saudi dan para pejabat Saudi, dan berharap “Israel” menghindari melancarkan perang darat. Mereka memperingatkan bahwa dampak buruk yang ditimbulkan oleh serangan darat “Israel” di Gaza akan sangat berbahaya, dan akibatnya akan menjadi bencana bagi stabilitas di Timur Tengah.
Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Al-Safadi, memperingatkan agar “Israel” tidak melancarkan perang darat di Jalur Gaza, dengan mengatakan bahwa akibatnya akan menjadi bencana kemanusiaan. Para penulis dan peneliti Amerika juga memperingatkan bahwa perang darat akan sangat merugikan “Israel”, seperti yang ditulis oleh profesor ilmu politik, Marc Lynch, di majalah Foreign Affairs, “Invasi ke Gaza akan menjadi bencana bagi “Israel”. Amerika harus membujuk sekutunya untuk mundur dari jurang kehancuran” karena hal ini akan menyeret Amerika ke dalam kekacauan di Timur Tengah, dan ini akan menjadi petualangan yang penuh risiko”.
Ada perbedaan pendapat mengenai tujuan akhir perang darat. Apakah harus bersifat komprehensif atau terbatas? Apakah tujuannya untuk melemahkan dan menguras tenaga Hamas, memberantas dan menghilangkannya, menghancurkan dan menduduki Gaza serta membunuh puluhan ribu warga sipil, atau menyerahkannya kepada Otoritas Palestina yang kalah dalam pemilu legislative 2006? Inilah yang dituntut oleh pemerintahan Biden. Apa skenario yang akan terjadi pada hari berikutnya setelah menguasai Gaza?
Menurut literatur studi militer, “Israel” melancarkan perang darat melawan Hamas dan faksi perlawanan, sebagai perang asimetris (antara tentara dan organisasi bersenjata) dan belum pernah ada tentara reguler yang berhasil mengalahkan organisasi dan faksi bersenjata.
AS tidak berhasil mengalahkan Taliban setelah 20 tahun memerangi Taliban dan menduduki Afghanistan. Demikian pula, Al-Qaeda tidak dikalahkan, meskipun terjadi pembunuhan terhadap Osama bin Laden dan Ayman Al-Zawahiri, begitu pula ISIS, meskipun terjadi pembunuhan terhadap Abu Bakr Al-Baghdadi. Semua faksi dan gerakan perlawanan ini tidak dikalahkan oleh negara adidaya yang puluhan kali lebih kuat dari “Israel”. Tidak terkecuali Pasukan Pendudukan Israel, mereka tidak akan menjadi pemenang.
Kekacauan kepemimpinan Netanyahu dalam petualangan tirani akan mendorongnya menuju kematian, jatuhnya pemerintahan fasisnya, dan akhir karir politiknya serta pemerintahan ekstremisnya setelah diadili dan dihukum atas kegagalannya di bidang militer, keamanan, dan intelijen. Seiring dengan ini, teori tentara yang tak terkalahkan akan runtuh, karena Hamas tidak akan dikalahkan oleh para tentara Netanyahu. (zarahamala/arrahmah.id)
*Penulis adalah professor di Departemen Ilmu Politik, Universitas Kuwait