Oleh: Nurma (Mahasiswi UM Buton)
Pemerintah Amerika Serikat pada Kamis (10/4/2025) secara resmi menjelaskan bahwa produk impor dari Cina kini menghadapi tarif minimum sebesar 145%, mempertegas sikap keras Presiden Donald Trump terhadap mitra dagang utama AS tersebut di tengah ketegangan perdagangan yang kian memanas. (CNBCIndonesia)
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan tarif impor membuat sebagian kalangan pekerja dan buruh industri tanah air was-was. Meskipun kini Trump memutuskan menunda selama 90 hari ke berbagai mitra dagang, kecuali Cina. Penundaan itu diumumkan Rabu (9/4/2025) waktu setempat, sehari setelah tarif impor itu berlaku. Namun beberapa pekerja merasa khawatir keputusan Trump bakal menekan pelaku usaha hingga berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK). (KBR, 10/4/2025)
Negeri Tirai Bambu (Cina) dipatok 34% tambahan tarif, akibatnya total bea masuk semakin meningkat menjadi 54% untuk produk-produk Cina jika masuk ke dalam pasar Amerika Serikat. Indonesia sendiri turut terkena akan imbasnya, karena terpatok persentase tarif 35%.
Dampak yang ditimbulkan oleh naiknya tarif impor ini juga dapat berpengaruh pada gelombang PHK di dalam negeri yang kembali menghantui masyarakat. Perkiraan gelombang kedua PHK dapat mencapai lebih dari 50 ribu buruh dalam tiga bulan setelah kebijakan tarif barang AS diterapkan. Maka semakin nyata bahwa kapitalisme adalah sumber penderitaan rakyat.
Kebijakan Proteksionisme
Mekanisme pasar bebas adalah solusi andalan yang selalu ditawarkan oleh sistem kapitalisme untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi. Konsep ini senantiasa digunakan untuk memberikan solusi sementara ketika memang dianggap bermanfaat dan bisa mendatangkan keuntungan. Dengan demikian, sistem ekonomi kapitalisme benar-benar berada dalam kendali para kapitalis (pemodal), sedangkan penguasa tampil untuk mewujudkan pesanan para kapitalis itu. Maka dengan adanya perang ekonomi atau perang dagang itu sydah dapat menjadi bukti nyata yang kuat tentang persekutuan para konglomerat raksasa dalam mengendalikan distribusi kekayaan. Akibatnya, orang-orang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
Perdagangan Luar Negeri Menurut Sistem Ekonomi Islam
Berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi kapitalisme, tarif ekspor dan impor merupakan bea cukai yang posisinya setara dengan pajak, bahkan sama-sama menjadi sumber utama dalam kas negara (APBN). Keberadaan bea cukai dan pajak tidak ubahnya lahan bisnis penguasa terhadap masyarakat. Maka dengan ini, menggambarkan hubungan yang terjalin antara masrakyat dengan penguasa seperti penjual dan pembeli.
Sebaliknya, dalam sistem ekonomi Islam, posisi utama sumber kas negara bukanlah dari pajak dan bea cukai, karena masih terdapat jalur lain yang menjadi pemasukan kas negara (Khilafah), yaitu zakat, ghanimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, serta harta kepemilikan umum seperti SDA tambang dan migas. Pada waktu yang bersamaan, sektor-sektor publik dalam Khilafah memikili sifat memudahkan dan menyejahterakan rakyat, bahkan bisa gratis karena dikelola berdasarkan mandat kekuasaan yang mengurusi urusan umat. Dengan artian, ini menegaskan bahwa hubungan penguasa dengan rakyat di dalam Khilafah tidak didasarkan pada paradigma bisnis, akan tetapi dalam relasi antara rakyat dengan penguasa sebagai pelayan atau pengurus urusan umat.
Dalam Islam, sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan syariat untuk baitulmal (kas negara) dipastikan sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka, tanpa harus mengandalkan pajak. Dalam Khilafah pajak tidak diwajibkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika pemungutan pajak terjadi dalam Khilafah, sifatnya benar-benar kondisional, yakni saat kas negara kosong, dan hanya dikenakan kepada orang kaya.
Sedangkan bea cukai, dalam Islam penyebutannya hanyalah cukai (maks), yaitu harta yang diambil dari komoditas yang melewati perbatasan negara, baik keluar maupun masuk. Keberadaan cukai juga bukan dalam rangka negara mengumpulkan harta, melainkan sebagai kebijakan politik dalam bermuamalah demi kepentingan kaum muslim.
Pemungutan bea masuk perdagangan disesuaikan dengan perbedaan pelaku bisnisnya, bukan komoditasnya. Jika pelaku bisnisnya adalah warga negara Khilafah, baik muslim maupun kafir dzimi, maka komoditas mereka tidak dikenakan pungutan apa pun. Selanjutnya, jika pelaku bisnisnya adalah kafir muahid, mereka akan dikenai cukai sesuai dengan isi naskah perjanjian negeri mereka dengan Khilafah. Sedangkan untuk pelaku bisnis dari negara kafir harbi, Khilafah akan memungut cukai dari mereka sesuai dengan jumlah yang negara mereka pungut dari para pelaku bisnis warga Khilafah.
Konsep ini tentunya sangat jauh berbeda dengan perdagangan internasional dalam sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, negara berkembang menjadi alat yang dimanfaatkan untuk melakukan eksploitasi dan hegemoni dengan menguasai pasar bebas. Syariat Islam melarang mekanisme seperti itu karena Allah Swt. telah melarang kaum muslim untuk memberi jalan bagi negara lain atau pihak lain, terutama kaum kafir harbi.
Dengan kata lain, sebuah negara yang tidak menggunakan prinsip syariat tidak boleh diberi ruang untuk menguasai kaum muslim, termasuk dalam hal ini adalah pasar-pasar yang sangat besar yang ada di negeri kaum muslim. Khilafah juga tegak sebagai negara ideologis dan mandiri sehingga tidak akan memberi kesempatan bagi negara lain atau pihak luar negeri untuk mengintervensi kebijakan ekonomi Khilafah.
Dengan demikian, dalam Islam, prinsip utama dalam menjalin semua subsistem negara, termasuk dalam sistem perdagangan luar negeri, adalah mengimplementasikan regulasi yang berasal dari akidah Islam. Hubungan tersebut tidak dilakukan untuk menguasai dan mengekploitasi sumber daya di negara lain. Dalam rangka menyebarkan risalah Islam, hubungan dagang antarnegara akan dibangun menurut prinsip yang membawa kebaikan bagi semuanya.
Wallahua’lam bis shawab