PARIS (Arrahmah.com) – Serangan martir terkoordinir yang baru-baru ini terjadi dan dilancarkan oleh unit Mujahidin MUJAO di Afrika Barat serta Brigade al-Mulatamin di pembangkit nuklir yang dimiliki oleh anak perusahaan Areva, Perancis dan basis militer rezim boneka di Niger utara, menunjukkan bahwa Jihad mulai menyebar ke negara-negara Sahara, lapor Reuters.
Persaingan regional antara rezim yang berkuasa untuk mencari perhatian Paris dan negara-negara Barat, masalah kontrol atas negara dan sumber daya serta kurangnya kerjasama antara rezim boneka Sahara, membantu Mujahidin untuk menghilang pada saat yang tepat dan pindah ke bagian yang lebih aman di wilayah gurun yang luas, lansir Kavkaz Center.
Agresor Perancis mengeluh bahwa selatan Libya menjadi andalan bagi para pejuang dan gerakan Islam, mereka bersatu dengan Al Qaeda setelah pasukan pendudukan Perancis menginvasi Azawad di Mali utara.
“Bagian selatan Libya adalah seperti Mali utara sebelumnya,” klaim penasehat senior untuk “presiden sementara” Mali, Traore Dioncounda yang tidak ingin disebutkan namanya.
Chad, yang memainkan peran utama dalam perang dengan Mujahidin di Mali, mengatakan seorang pria ditembak mati dalam serangan terhadap konsulat di kota gurun di Libya, Sabha pada akhir pekan.
Juru bicara MUJAO mengatakan kepada situs berita Mauritania, al Akhbar News bahwa serangan Niger tidak dipersiapkan di Libya selatan.
Perancis, yang bergantung pada Niger untuk seperlima dari uranium untuk reaktor nuklirnya, bagaimanapun telah mendesak kekuatan regional untuk bekerja sama untuk “mengatasi ancaman dari Libya”.
“Kami sangat prihatin bahwa apa yang terjadi di Libya selatan bisa menjadi replika di Mali,” klaim sumber diplomatik Perancis yang menambahkan bahwa Menteri Pertahanan Perancis telah mengangkat isu Libya pada kunjungan terakhir ke Washington dan London.
Paris sangat ingin memotong jumlah pasukan pendudukan di wilayah tersebut, namun penduduk mengakui pekan lalu bahwa pasukan Perancis telah digunakan di tempat lain di Sahel.
Pemerintah negara-negara Eropa juga menyetujui 110 pria untuk misi meningkatkan keamanan di perbatasan dengan melatih polisi Libya dan pasukan keamanan. Namun Paris merasa hal ini merupakan langkah yang sangat lambat mengingat mendesaknya situasi. Sepertinya Perancis ingin melakukan invasi seperti yang mereka lakukan di Mali utara.
Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius, berbicara dalam kunjungan ke Niger, ia menegaskan ada tanda-tanda bahwa Libya selatan akan menjadi sebuah benteng untuk Mujahidin Afrika di Sahara.
Fabius mengatakan upaya untuk “mengatasi masalah” di Libya selatan akan membutuhkan dukungan dari rezim boneka Aljazair, Chad, Mali dan Mesir.
Al Jazeera juga melaporkan bahwa pemerintah Libya masih bergulat dengan milisi yang mengangkat senjata untuk melawan rezim Gaddafi, untuk mengendalikan wilayah timur.
Negara-negara Barat memperingatkan bahwa Al Qaeda dan sekutunya akan mengambil keuntungan dari kekosongan keamanan di daerah tersebut. (haninmazaya/arrahmah.com)