Oleh Mariyatul Qibtiyah
(Arrahmah.com) – Partai Demokrat terancam mengalami dualisme setelah segelintir kader dan mantan kader menggelar Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara. KLB Demokrat itu mengangkat Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2025. (Tempo.co, 07/03/2021)
Dualisme itu terjadi karena adanya konflik internal partai. Sayangnya, konflik itu tidak diselesaikan sesuai aturan yang berlaku.
Menanggapi hal ini, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menilai KLB itu melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 32 disebutkan bahwa masalah internal partai diselesaikan dengan pembentukan mahkamah partai. Sedangkan pada Pasal 33 disebutkan adanya mekanisme gugatan ke pengadilan negeri dan kasasi Mahkamah Agung.
Kisruh internal partai yang diwarnai perebutan posisi ketua umum bukanlah cerita baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Ketua umum partai memiliki posisi yang sangat strategis. Bukan hanya sebagai penentu kebijakan partai, ketua umum juga berpeluang kuat dicalonkan dalam pemilihan presiden. Di samping itu, ketua umum juga bisa masuk dalam struktur penting lembaga pemerintahan.
Karena itu, tidak mengherankan jika posisi ketua umum menjadi posisi yang diperebutkan oleh para elite partai. Beberapa partai politik yang didirikan pasca reformasi, mengalami hal ini. Mulai dari Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, hingga yang baru saja terjadi, Partai Demokrat.
Namun, ada yang berbeda dengan kisruh di internal partai kali ini. Biasanya, yang terjadi adalah konflik antar kader partai. Sedangkan yang terjadi pada Partai Demokrat kali ini juga melibatkan tokoh yang bukan kader partai.
Menurut Aisah Putri Budiatri, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI dan research associate LP3ES, problem mendasar yang menjadi latar belakang kisruh PD sesungguhnya merupakan masalah yang dihadapi oleh kebanyakan partai politik di Indonesia. Persoalan partai personal dan masalah etika politik merupakan problem mendasar itu. (detik.com, 08/03/2021)
Konflik internal partai merupakan satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam sistem demokrasi. Hal itu karena partai politik dalam sistem ini biasanya didirikan untuk menjadi kendaraan politik dalam meraih kekuasaan. Akibatnya, para kader partai akan berebut untuk menduduki posisi ketua umum partai. Sebab, ketua umum dapat dicalonkan dalam pemilihan presiden atau jabatan lainnya.
Inilah yang terjadi pada Partai Demokrat. Dapat dikatakan bahwa partai ini dibentuk untuk menjadi kendaraan politik bagi SBY dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004. SBY memegang jabatan sebagai ketua umum partai sejak 2013 hingga 2020. Saat ini, ia menjadi ketua majelis tinggi partai. Sedangkan tampuk kekuasaan tertinggi partai kini dipegang oleh AHY, anak pertama SBY.
Diangkatnya AHY sebagai ketua umum partai ternyata menimbulkan ketidakpuasan pada sebagian elite partai. Hingga terjadilah KLB yang mengangkat Moeldoko sebagai ketua umum. Padahal, Moeldoko bukan termasuk kader partai.
Kisruh seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem politik Islam. Sebab, partai politik dalam Islam, bukanlah kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Ia memiliki peran sebagai pihak yang melakukan muhasabah terhadap penguasa.
Untuk itu, partai politik dalam Islam harus berlandaskan pada akidah Islam yang benar. Dengan demikian, fungsinya sebagai penjaga terlaksananya hukum Islam dapat berjalan dengan baik. Demikian pula dengan misinya untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar dapat terwujud.
Jika ada kader partai yang dipilih sebagai pejabat negara, baik sebagai khalifah, mu’awwin, atau yang lainnya, ia harus keluar dari partai. Hal ini dilakukan agar independensi partai tetap terjaga. Sehingga, kewajibannya untuk melakukan muhasabah terhadap penguasa tetap dapat dilakukan.
Karena itu, sudah semestinya jika kedudukan partai politik ini dikembalikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, tidak akan ada lagi kisruh partai. Di saat yang bersamaan, perannya dalam melakukan muhasabah terhadap penguasa tetap berjalan. Sehingga, penguasa akan tetap berjalan pada rel yang benar. Wallaahu a’lam bishshawaab.
(*/arrahmah.com)