Penulis: Zulfikri
(Pembina Rumah Baca Terassharing)
(Arrahmah.com) – Sri Susuhunan Pakubuwana X merupakan raja Kasunan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893-1939. Ia memiliki nama lahir (asma timur) Bendara Raden Mas Gusti Sayyidin Malikul Kusna (Raden Mas Sayyidin Malikul Kusno). Ia sendiri merupakan putra ke-31 Pakubuwana IX dan permaisuri KRAy. Koestijah, yang lahir pada hari Kamis, 22 Rajab 1795 (Tahun Jawa) atau bertepatan tanggal 29 November 1866.
Pada tanggal 30 Maret 1893, ketika usianya menginjak 26 tahun, ia naik tahta menggantikan ayahnya yang meninggal dua pekan sebelumnya dengan gelar resmi Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Alogo Abdurrahman Sayyidin Panotogo Ingkang Jumeneng Kaping X.
Walaupun di wilayah Kasunanan Surakarta sudah terdapat pendidikan Barat sejak tahun 1852, Sayyidin Malikul Kusno hanya memperoleh pendidikan informal seperti pendidikan budi pekerti dari ayahnya sendiri (PB IX), pelajaran agama Islam di bawah bimbingan KRP Tafsir Anom V (Penghulu Kasunanan pada masa PB IX), ilmu spiritual (tasawwuf) dari Kyai Kasan Mukmin, dan keterampilan kanuragan.
Pemerintahan Pakubuwana X bisa dibilang sebagai puncak kejayaan Kasunanan Surakarta dari sisi pembangunan fisik, pendidikan, dan pergerakan.
Meskipun ia hidup dengan bergelimang harta dan memiliki kedekatan personal secara langsung dengan Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda) hingga memperoleh gelar Sri Maharaja Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw, tidak membuatnya lupa terhadap persoalan agama dan rakyat.
Dalam buku Negeriku Menuai Bencana Ekologi (2007) yang disusun Sudarsono, dinyatakan bahwa Pakubuwana X juga memerintahkan dibangunnya tanggul yang mengelilingi Kota Surakarta dan pintu air raksasa sebagai antisipasi dari ancaman banjir Bengawan Solo maupun Kali Anyar (hal. 87).
Pada bidang ekonomi, Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan mendirikan bank Bandhalumakso yang berperan memberi pinjaman kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika wabah pes melanda Surakarta.
Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Mambaul ‘Ulum, Pamardi Putri, dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton serta mendirikan rijksstudiefond, sebuah lembaga yang memberi beasiswa bagi sentana dan abdi dalem.
Di bidang kesehatan, Pakubuwana X membangun klinik kesehatan Panti Rogo (kelak berkembang menjadi Rumah Sakit Kadipolo) dan apotik Pantihusodo yang berada di bawah pengelolaan dinas Kridha Nirmolo.
Infrastruktur modern kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.
Dalam persoalan politik dan agama, Pakubuwana X secara diam-diam juga mendukung perjuangan para aktivis pergerakan nasional baik dari Budi Utomo maupun Sarekat Islam (SI).
Sikapnya ini kerap dibandingkan dengan kakeknya, Pakubuwono VI yang membantu secara diam-diam Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).
Saat Sarekat Islam (SI) bergeliat di Surakarta, George D. Larson dalam Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 (1990) menyebutkan, Pakubuwana X mendukung gerakan SI dalam membendung aktivitas misionaris Kristen di Surakarta (hal. 5).
Sejak SI (sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam atau SDI) membentuk cabangnya di Solo, 4 orang dari 11 pimpinannya adalah pegawai Kasunanan Surakarta. Mereka menjadi pengurus atas perintah Pakubuwana X.
Susuhunan juga memfasilitasi Kongres SI pada 23 Maret 1913 di Taman Sriwedari dan acara ini berjalan lancar tanpa halangan dari aparat kolonial (hal. 66).
Petunjuk bahwa Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya.
Secara teratur ia mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam.
Peranan Pakubuwana X sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda. Khusus dalam bidang pendidikan, Pakubuwana X merintis pola pendidikan ke dalam 3 kelompok , yaitu:
1. Pendidikan dan Pengajaran Model Barat;
2. Pendidikan dan Pengajaran Berdasarkan Islam;
3. Pendidikan dan Pengajaran Pola Tradisional;
Pendidikan dan pengajaran berdasarkan Islam dirintis Pakubuwana X dengan mendirikan Mambaul ‘Ulum pada Ahad, 20 Juli 1905 dan memperkuat eksistensi Pondok Pesantren Jamsaren.
Pembangunan gedung madrasah Mambaul ‘Ulum selesai pada 20 Februari 1915. Jumlah murid yang diterima mencapai 448 orang siswa.
Pendirian Mambaul ‘Ulum ini merupakan hasil dari pemikiran Sunan (Pakubuwana X) sebagai salah satu usaha untuk mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilayah Kasunan Surakarta.
Sunan Pakubuwana X tidak senang dengan pendirian sekolah-sekolah yang dikelola oleh para zending di wilayah Surakarta, meskipun ia masih bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan Barat ke Kasunanan. Pakubuwana X resah kerena kedudukannya sebagai Panatagama (pemimpin tertinggi Agama Islam).
Keberatan Pakubuwana X terhadap hadirnya zending (misionaris Kristen) diungkapkan lewat suratnya yang ditujukkan kepada Residen Surakarta W. de Vogel (Residen Surakarta tahun 1897 – 1905).
Residen memahami alasan keberatan Pakubuwana X dan menyetujui nasehat C. Snouck Hurgronje bahwa kehadiran zending Kristen di daerah Islam merugikan secara politik, karena itu Snouck Hurgonje mengusulkan agar Gubernur Jenderal menolak permohonan pihak zending.
Hal ini disetujui oleh Gubernur Jenderal yang kemudian mengeluarkan keputusan berisi penolakan permohonan dari pihak zending. Pihak zending terus berusaha melalui para penyewa tanah. Dengan kedudukan Pakubuwana X sebagai Panatagama, ia merasa keberatan apabila rakyatnya memeluk agama selain Islam.
Pendirian sekolah Mambaul’ulum selain karena alasan yang telah dijelaskan diatas juga karena untuk pemenuhan kebutuhan akan pejabat keagamaan, yang merupakan kebutuhan jangka pendek dan ulama sebagai kebutuhan jangka panjang.
Diharapkan sekolah ini dapat mencetak calon-calon pejabat keagamaan yang betul-betul ahli dalam bidangnya.
Sebelumya pejabat keagamaan dipilih bukan berdasarkan kemampuan tetapi didasarkan pada kebutuhan, yang terjadi disebabkan belum adanya pendidikan khusus yang memperdalam agama Islam.
Sebelum berdirinya Mambaul ‘Ulum, pendidikan masyarakat Surakarta diselenggarakan oleh kyai, guru-guru agama, dan ulama. Bagi masyarakat Kauman yang merupakan tempat tumbuhnya Islam dan ulama di Surakarta.
Masyarakat Kauman menyekolahkan putra-putrinya di pondok pesantren. Misalnya: pondok pesantren Jamsaren, Tremas, Pacitan. Pendidikan di pondok-pondok pesantren ternyata menghasilkan ulama-ulama sebagai penerus abdi dalem Pamethakan.
Munculnya modernisasi Islam di dalam keraton Kasunanan, ditandai adanya pendirian-pendirian sekolah dan Mambaul ‘Ulum di lingkungan Kasunanan.
Dalam pemikiran Pakubuwana X untuk meraih kemajuan dalam pendidikan tidak harus meninggalkan tradisi dan budaya sendiri. Karena itu dalam pendidikan di madrasah Mambaul ‘Ulum diajarkan pelajaran kebudayaan Jawa dan agama Islam. Hal ini merupakan usaha mendalam untuk mempertahankan keberlangsungan tradisi dan kebudayaan Jawa, meskipun tidak menutup kemungkinan memanfaatkan kebudayaan barat secara selektif untuk mengembangkan tradisi dan kebudayaan Jawa.
Pendirian Mambaul ‘Ulum sampai dengan 1945 berperan sangat penting dalam mencetak kader-kader ulama tak hanya di Surakarta, tetapi di tanah Jawa.
Sistem pendidikan yang diterapkan Sistem pendidikan yang diterapkan di Mambaul ‘Ulum adalah sistem pendidikan yang berdasarkan Islam dengan mengakomodasi sistem pendidikan Belanda, karena segala sesuatu harus disesuaikan dengan kemauan pemerintah Belanda apalagi yang berhubungan dengan pendidikan.
Mambaul ’Ulum merupakan pelopor dalam pembaharuan pendidikan karena memasukkan unsur pendidikan Barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia.
Sumber dana di Mambaul ’Ulum semula sama seperti sekolah lain yang dikelola oleh Kasunanan, yaitu semua anggaran untuk segala kebutuhan pelajaran ditanggung sepenuhnya oleh pihak Kasunanan. Mulai dari sarana, pendirian gedung, serta pemeliharaannya berasal dari kas Susuhunan pribadi.
Pada awal tahun 1905 sampai tahun 1920, Mambaul ‘ulum, dikelola sepenuhnya oleh pihak keraton Kasunanan sendiri. Hal tersebut dikarenakan Pakubuwana X menaruh perhatian yang besar dalam bidang pendidikan dan perkembangan Islam di Kasunanan, tidak heran bila madrasah Mambaul ‘Ulum mengalami perkembangan yang pesat.
Belanja penyelenggaraan Mambaul ’ulum ditanggung oleh pemerintah Kasunanan, sekalipun uang sekolah harus disetorkan kepada pemerintah Kasunanan. Uang sekolah yang dikenakan kepada setiap murid, 25 sen per bulan untuk murid Mambaul ‘Ulum pagi.
Uang sekolah ini disetor ke kas pemerintahan Kasunanan.
Pakaian semua siswa diharuskan mengenakan seragam sarung, batik dan jas. Sedangkan ustadz memakai udeng (ikat kepala gaya Surakarta). Sekolah tersebut libur mingguan pada hari Jumat.
Pendidikan Mambaul ’Ulum disesuaikan dengan sistem pendidikan Barat. Karenanya, jenjang pendidikannya diatur ke dalam sebelas tingkatan kelas yang dibagi menjadi tiga jenjang yaitu:
1) Bagian 1 kelas I-IV, termasuk bagian Ibtidaiyah;
2) Bagian 2 kelas V-VIII, termasuk bagian Wustha;
3) Bagian 3 kelas IX-XI, termasuk bagian Ngulya;
Masing-masing jenjang tersebut merupakan terminal tingkat pendidikan yang dipandang memiliki kelengkapan dalam tingkat keahlian tertentu. Untuk itu pada tiap jenjang diberi Syahadah (ijazah) tersendiri.
Pada tahun 1937, di sejumlah kabupaten juga didirikan Mambaul ’Ulum, sampai kelas IV. Setelah tamat dapat melanjutkan ke Mambaul ’Ulum Surakarta. Jumlah Mambaul ’ulum di kabupaten ada 7 buah yaitu: di Klaten, Sragen, Boyolali, Wonogiri, Surakarta, Kartasura dan Sukoharjo.
Mereka yang tamat dari Madrasah Mambaul ‘Ulum ini umumnya bisa membaca kitab-kitab besar seperti: Fathul Mu’in, Fathul Qarib, Taqrib Abu Sujak, Hadist Bukhari Muslim, Tafsir Jalalain, Alfiyah Ibn Malik.
Tulisan dan sastra Jawa harus dikuasai aktif, sedangkan bahasa Arab dengan membiasakan membaca kitab-kitab beraneka ragam (komunikasi lisan bahasa Arab tidak diprioritaskan).
Lulusan Mambaul ‘Ulum juga pada umumnya dapat membuat hitungan perbintangan (hisab) dalam menentukan awal bulan Ramadhan dengan ilmu falaknya, mahir membagi warisan menurut Islam yang memerlukan perhitungan rumit melalui ilmu Aljabar dan mahir berpidato/ceramah di muka umum.
Dalam surat syahadah (ijazah) dilampirkan kelulusan 16 kitab-kitabnya, antara lain: Kitab Muhadzdzab (Fiqih), Alfiah Suyuthi (Hadis), Safinatun Nukhat, ‘Imriti, Mutammimah, Alfiah Ibn Malik (Nahwu).
Selain itu, di Mambaul ‘Ulum juga diajarkan bidang-bidang lain seperti Ilmu Falak, Manthiq (Logika Aristotelian versi Arab), dan Ilmu Pendidikan versi Arab. Sedangkan dalam bidang Pengetahuan Umum, diajarkan bahasa Jawa dan Indonesia, Berhitung, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Menggambar, dan Tembang Jawa.
Dalam hal pekerjaan kedinasan baik di lingkungan pemerintah Kasunanan maupun Gubernemen, tamatan Mambaul ’ulum mendapat tempat yang terhormat. Ijazah Mambaul ’Ulum mempunyai civil effect yang diakui pemerintah Hindia Belanda sederajat dengan Perguruan (Universitas) yang mencetak ulama tenar di zamannya.
Dari Mambaul ‘Ulum yang didirikan Pakubuwana X ini telah melahirkan banyak ulama dan pejabat pemerintah diantaranya seperti: KHR. Moh Adnan (pendiri dan Rektor IAIN Yogyakarta pertama), KH. Jauhar, KH. Prof A. Kahar Mudzakir (Anggota BPUPKI dan Rektor UII Yogyakarta pertama), Brigjen Moh. Bahrun (mantan Pangdam VII Diponegoro), Prof. KH.Saifudin Zuhri (Komandan Laskar Hizbullah Jawa Tengah, Sekjen PBNU, dan Menteri Agama RI) Kyai Suyuthi (pendiri Yayasan Perguruan Islam Raudlatul Ulum), Prof. Dr. Munawir Sjadzali (Menteri Agama RI), KH. Ali Darokah (Ketua MUI Surakarta pertama, pemimpin Pondok Pesantren Jamsaren, dan pengurus Al Islam Surakarta), Dr. Mohammad Ardhani (dosen pasca sarjana IAIN Syahid Jakarta), KH. Muslim Imampuro (mbah Lim dari Klaten), Kyai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kyai Dimyati (Ponpes Termas, Pacitan), Syekh Ahmad al-Hadi (tokoh Islam dari Bali), Kiai Arwani Amin (Kudus), Kiai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan), KH Zarkasyi (pendiri Ponpes Gontor), dan KH. Miftah Farid (Ketua MUI Jabar).
Lahirnya banyak tokoh dakwah, tokoh pejuang, ulama, kyai, dan pemuka agama dari Mambaul ‘Ulum yang didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuana X ini tentunya merupakan bagian dari sumbangsih nyata kiprah perjuangan Pakubuwana X dalam sejarah peradaban Islam di Indonesia dan Surakarta khususnya.
Dari madrasah Mambaul ‘Ulum yang didirikan Pakubuwana X ini, kota Surakarta yang sejak tahun 1905 dijadikan sebagai target wilayah kerja zending masih bisa mempertahankan diri sebagai kota berpenduduk mayoritas Islam melalui aktivitas dakwah para ulama, kyai, dan dai pelanjut tongkat estafet risalah Islam di Surakarta.
(*/arrahmah.com)