SEMARANG (Arrahmah.com) – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Tengah Salman Maryadi mengungkapkan, kerugian negara akibat penyimpangan dana bantuan sosial (bansos) yang disalurkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2009 ditaksir mencapai Rp6,2 miliar lebih.
“Berdasarkan data yang ada di Kejati, terdapat 53 perkara penyimpangan dana bansos,” katanya yang menjadi salah satu pembicara pada seminar “Upaya Pembenahan Penyaluran Dana Bantuan Sosial Menuju Masyarakat Jateng Sejahtera” di Semarang, Kamis (3/12).
Ia menjelaskan, saat ini ada 13 perkara dalam tahap penyelidikan dan sisanya masuk dalam tahap penyidikan yang beberapa di antaranya sudah ada yang dinaikkan tahapannya ke tahap penuntutan.
Dalam seminar tersebut terdapat tiga pembicara selain Kajati, yaitu Koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng Jabir Alfaruqqi, Wakil Ketua DPRD Jateng Fikri Faqih, dan Sekretaris Daerah Pemprov Jateng Hadi Prabowo.
Menurut Kajati, permasalahan bansos ini merupakan hal yang spesifik karena sasarannya langsung kepada masyarakat yang ada di pedesaan sehingga perlu dicari solusi permasalahan dan upaya-upaya pencegahan yang bersifat preventif agar jangan sampai terjadi tindak pidana korupsi terhadap bansos.
Kajati mengatakan, untuk jumlah tersangka dalam perkara bansos yang saat ini ditangani pihaknya belum dapat dipastikan.
“Namun yang jelas jumlahnya lebih dari 40 tersangka karena dalam satu berkas terdapat tersangka yang berjumlah dua orang,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pada umumnya para tersangka penyimpangan dana bansos menggunakan beberapa modus operandi antara lain dengan mengajukan bansos tapi objeknya tidak ada, memalsukan data serta mengurangi jumlah dana bansos yang seharusnya diterima atau digunakan dalam pekerjaan tertentu.
Pada seminar itu, Hadi Prabowo lebih menyoroti pada mekanisme dan pencairan dana bansos yang pada penyalurannya diakui masih banyak celah-celah penyimpangan.
“Dari mekanisme sampai dengan pencairannya sebenarnya sudah dibuat sistematis untuk menutup celah-celah penyimpangan namun setelah pelaksanaannya muncul beberapa masalah terutama dari segi pengelolaan,” katanya.
Masalah-masalah itu adalah sasaran bansos yang terlalu besar dengan berbagai bidang, kesepakatan dengan anggota dewan mengenai standar pembiayaan, dan tim verifikasi hanya memeriksa pada sistem sehingga menjadi celah penyimpangan.
Sementara itu, Jabir Alfaruqqi lebih berbicara pada pengawasan dan pencegahan korupsi dana bansos karena pemerintah tidak punya desain yang jelas dan hanya menunggu permintaan dari masyarakat.
“Padahal kalau memang sudah didesain dengan baik dan rinci maka dari tahun ke tahun dana bansos dapat dikurangi jumlahnya,” katanya.
Untuk itu, lanjut dia, perlu dibuat suatu pusat data untuk mengakumulasi kebutuhan tersebut dan memberikan jaminan kepastian hukum serta memberi perlindungan terhadap saksi dalam perkara korupsi bansos.
Mengenai penyaluran dana bansos, Fikri Faqih menganggap hal tersebut bukan merupakan wewenang DPRD melainkan sudah wewenang eksekutif.
Pada akhir seminar, Kajati memberikan solusi yang dianggap terbaik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk penyimpangan dana bansos yang disalurkan kepada masyarakat yaitu dengan membuat suatu sistem aturan yang dapat menutup celah-celah korupsi bansos.
“Selain itu juga perlu melibatkan peran masyarakat dan membentuk tim verifikasi independen yang bertugas mengawasi mulai dari tahap pengajuan permohonan, penerimaan, sampai pelaporan realisasi dana bansos di lapangan,” katanya.(antara/arrahmah.com)