KAIRO (Arrahmah.com) – Kelompok aktivis hak asasi manusia Amnesty International telah mencatat bukti pelanggaran hak asasi manusia di Mesir selama satu tahun kudeta yang mendepak presiden terpilih Muhammad Mursi.
Memperhatikan lonjakan penangkapan sewenang-wenang dan penahanan, Amnesty International mengatakan bahwa orang yang ditahan berjumlah setidaknya 16.000, mengutip perkiraan resmi yang dipublikasikan oleh Associated Press pada bulan Maret, di antaranya paling sedikit 80 orang telah meninggal dalam tahanan menurut Pusat Hak-hak Ekonomi dan Sosial Mesir, WikiThawra.
WikiThawra, juga menyatakan bahwa lebih dari 40.000 orang telah ditahan atau didakwa antara Juli 2013 dan pertengahan Mei 2014.
Di antara empat tahanan yang meninggal di Polres Mattereya sejak April 2014 adalah Ahmed Ibrahim, yang berulang kali mengeluhkan bahwa ia mengalami kesulitan bernapas karena kurangnya ventilasi di sel polisi yang penuh sesak dan tidak diberi perawatan medis. Amnesty International melaporkan bahwa ia telah meninggal beberapa jam setelah ditolak ambulans yang ditelepon oleh ayahnya setelah panggilan telepon pada tanggal 15 Juni, di mana ia mengatakan kepada ayahnya bahwa ia merasa hampir mati. Tubuhnya dilaporkan penuh memar biru dan luka di lehernya, kemungkinan dia telah disiksa di penjara.
“Pasukan keamanan nasional Mesir telah kembali dan beroperasi pada kapasitas penuh, menggunakan metode yang sama dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya yang digunakan selama masa terburuk dari era Mubarak,” kata Hassiba Hadj Sahraoui, Wakil Direktur dari Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
Meskipun presiden dan mantan presiden berulang-ulang berjanji untuk menghormati aturan hukum, selama tahun lalu pelanggaran yang mencolok terus terjadi pada tingkat yang sangat fantastis, dengan pasukan keamanan secara efektif diberi kebebasan untuk melakukan pelanggaran HAM dengan kekebalan hukum.“
Penyiksaan sebagai praktik untuk mendapatkan pengakuan, terutama dari anggota Ikhwanul Muslimin, adalah taktik yang digunakan oleh militer Mesir dan polisi di badan keamanan nasional, kantor polisi dan tempat-tempat penahanan yang tidak resmi, Amnesty International melaporkan.
Setruman listrik, pelecehan, pemborgolan, dan metode gantung yang dikenal sebagai “pemanggangan”, yaitu tahanan diborgol tangan dan kakinya dengan tongkat dan menaruhnya di antara dua kursi yang berlawanan sampai kaki tahanan mengalami mati rasa, adalah metode penyiksaan umum yang juga digunakan selama era mantan presiden Husni Mubarak sebelum ia mengundurkan diri dalam revolusi tahun 2011.
“Mereka memotong baju saya, kemudian menutup mata saya dengan potongan baju itu dan memborgol saya dari belakang … mereka memukuli saya dengan tongkat ke seluruh tubuh saya, terutama pada dada, punggung dan wajah … Kemudian mereka menempatkan dua kabel di jari kelingking kiri dan kanan saya dan memberi saya sengatan listrik empat atau lima kali,” kata seorang tahanan 23 tahun yang diidentifikasi sebagai MRS, seorang mahasiswa yang ditangkap pada bulan Februari dan telah ditahan selama 47 hari.”
Dia juga mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia mengalami pelecehan seksual dan sangat tidak berprikemanusiaan. Ia juga dipaksa untuk menyanyikan sebuah lagu untuk mendukung tentara Mesir “Teslam Al Ayadi“.
Mahmud Muhammad Ahmad Hussein, (18), yang masih berada di penjara, juga ditangkap pada ulang tahun ketiga dari revolusi 25 Januari 2011. Dia mengatakan bahwa dia ditutup matanya dan dipaksa untuk “mengakui” memiliki bahan peledak dan sebagai anggota Ikhwanul Muslimin setelah ia disiksa oleh petugas keamanan nasional.
“Pasukan keamanan rezim Mubarak setidaknya tahu siapa yang mereka targetkan, tapi sekarang mereka menangkap orang secara acak,” kata salah seorang tahanan yang mengalami penahanan sewenang-wenang tanpa dakwaan atau akses ke pengacara atau keluarga selama 96 hari di penjara kamp militer Al Galaaa di Al–Azouly.
Hatem Mohie Eldin, (17), pelajar di Alexandria, mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia ditangkap oleh polisi secara acak pada 27 Mei saat ia dalam perjalanan pulang setelah sekolah dan dipukul selama lima hari di lokasi yang tidak diketahui tanpa kontak dengan keluarganya atau pengacara.
Sejak Januari 2014, Mesir telah merekomendasikan hukuman mati bagi 1.247 orang, sambil menunggu fatwa Mufti, dan menguatkan hukuman mati terhadap 247 orang yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai suatu persidangan yang tidak adil, laporan tersebut menyatakan.
(ameera/arrahmah.com)