(Arrahmah.com) – Setelah serangan penuh berkah 11 September 2001, Amerika Serikat (AS) melakukan aksi balas dendam dengan operasi besar-besaran untuk menangkap para pelaku. Berbagai cara dilakukan termasuk penggunaan kekerasan dalam interogasi terhadap para tersangka.
“Kita juga harus bekerja, melalui semacam sisi gelap. Banyak yang perlu dilakukan, harus dilakukan secara diam-diam, tanpa diskusi, menggunakan semua sumber daya dan metode, jika kita ingin sukses,” kata mantan Wakil Presiden Dick Cheney, pada 16 September 2001, seperti dilansir Viva News pada Kamis (11/12/2014).
Pada 17 September, Presiden George W Bush memberi kewenangan bagi CIA untuk mengoperasikan pusat penahanan rahasia di luar AS. Sementara 7 Februari 2002, Bush menandatangani memorandum yang menyatakan Konvensi Jenewa tidak berlaku dalam konflik dengan Al-Qaeda.
Pada Selasa (9/12), sehari sebelum perayaan Hari HAM Internasional 10 Desember, kubu Partai Demokrat di Komite Intelijen Senat AS merilis sebuah laporan, tentang metode yang dikenal di internal CIA sebagai program Rendisi, Penahan dan Interogasi, terjadi antara 2002-2007.
Laporan itu disebut, mengungkapkan bahwa teknik interogasi yang dilakukan CIA jauh lebih brutal, dari yang pernah diakui sebelumnya. Ketua Komite Intelijen Senat, Dianne Feinstein, menyebut tindakan CIA sebagai noda dalam sejarah AS.
Dia menambahkan, bahwa sudah waktunya untuk menghadapi kejujuran yang pahit. Namun laporan 525 halaman itu hanya berisi kesimpulan, dari 6.000 lembar dokumen yang dibuat berdasarkan penelusuran atas 6,3 juta lembar dokumen CIA.
Sehingga sebagian besar fakta masih tetap akan dirahasiakan. BBC dalam laporannya, Selasa, 7 Desember, menyebut setidaknya laporan itu telah menguak kemunafikan AS, yang selama ini lantang menyuarakan pelanggaran HAM di negara lain.
Rendisi
Untuk penangkapan para tersangka, badan intelijen AS CIA menyusun program yang mencakup rendisi, penahanan dan interogasi. Rendisi merupakan program rahasia, yang didefinisikan sebagai pengiriman tahanan tanpa proses hukum.
Para tersangka yang ditangkap akan dikirim ke negara lain di luar AS, di mana mereka akan menjadi korban penerapan metode interogasi yang melibatkan penyiksaan. Untuk itu, CIA menyiapkan penjara rahasia yang disebut sebagai “situs hitam.”
Ada sembilan negara yang menjadi tuan rumah untuk penjara rahasia CIA, antara lain di Thailand, Afghanistan, Bosnia, Teluk Guantanamo, Irak, Lithuania, Maroko, Polandia dan Rumania. Sementara 54 negara lainnya membantu dengan penangkapan.
Satu di antara 54 negara itu adalah Indonesia. Open Society Justice Initiative (OSJI) dalam laporan setebal 212 halaman, mengungkap detil bantuan internasional yang diberikan banyak negara, untuk aksi kontroversial yang dilakukan CIA.
OSJI adalah organisasi HAM yang berbasis di banyak negara, yang beranggotakan beberapa utusan khusus PBB seperti Chaloka Beyani, Pablo de Greiff, dan Juan E. Méndez. Keterlibatan Indonesia dilakukan melalui Badan Intelijen Negara (BIN).
Disebutkan bahwa BIN menangkap Muhammed Saad Iqbal Madni, pada 9 Januari 2002. Warga Mesir keturunan Mesir itu, ditangkap di Jakarta atas permintaan CIA. Mantan Kepala BIN Hendropriyono, kemudian memberikan Madni untuk direndesi ke Mesir.
Lantas pada 2003, Indonesia menangkap Salah Nasir Salim Ali Qaru yang kemudian dikirim ke Yordania, di mana dia mendapatkan penyiksaan dalam tahanan, oleh intelijen Yordania. Dia kemudian dipindahkan ke fasilitas CIA lainnya, sebelum di kirim lagi ke Yaman, pada 2005.
Jutaan Dolar
Badan intelijen Amerika Serikat (AS), CIA, membayar $80 juta atau sekitar Rp 988 miliar, kepada perusahaan milik dua mantan psikolog Angkatan Udara. Konsultan itu yang merekomendasikan waterboarding dan berbagai teknik penyiksaan lainnya.
Dalam laporan Reuters, Rabu, 10 Desember 2014, keduanya yang disebut dalam laporan Komite Intelijen Senat AS sebagai Dunbar dan Swigert, telah diidentifikasi oleh sumber intelijen AS sebagai James Mitchell dan Bruce Jessen.
Disebutkan dalam laporan tentang proses interogasi tersangka teroris, CIA mempercayakan lebih dari 80 persen program interogasi dengan tehnik brutal, pada perusahaan Mitchell Jessen and Associates of Spokane yang berbasis di Washington.
CIA juga membayar perusahaan itu sebesar $1 juta atau sekitar Rp 12 miliar untuk melindungi kontrak dan agen-agen mereka dari tuntutan hukum. Berdasarkan laporan yang dibuat Senat, keduanya tidak memiliki kualifikasi dalam menginterogasi tahanan.
Pada salah satu kasus yang terjadi di sebuah penjara rahasia, awal 2013, Abd al-Rahim al-Nashiri yang ditangkap pada 2002, dituduh sebagai otak pengeboman USS Cole di Aden pada 2000, di waterboard berulangkali.
Dia dipaksa terus berdiri dengan tangan diikat di atas kepalanya, diancam dengan mesin bor di kepalanya. Beberapa personel CIA yang terlibat, mengatakan Nashiri tetap tidak memberikan informasi yang signifikan.
Tapi seorang psikolog mendesak agar Nashiri mendapat metode penyiksaan lebih brutal, untuk membuat dirinya merasa sangat putus asa. Kedua psikolog yang merancang penyiksaan untuk CIA, mengatakan tidak menyesali apa yang mereka lakukan.
“Saya melakukan yang terbaik yang saya bisa,” kata Mitchell, yang dikutip surat kabar Inggris, Guardian. Dia juga menegaskan, bahwa tidak ada yang membuatnya merasa perlu meminta maaf. Dia bersikeras hanya melakukan sesuatu bagi negaranya.
Suap
Tidak hanya menyewa kontraktor, CIA juga mengeluarkan jutaan dolar untuk membangun, dan memelihara tempat penahanan rahasia di luar negeri. Forbes dalam laporannya, Rabu, menyebut CIA juga menggunakan uang untuk menyuap pejabat pemerintah negara lain.
Hal itu dilakukan, agar negara tersebut bersedia menangkap dan mengirimkan tersangka tanpa proses pengadilan, serta agar mereka mau menjadi tuan rumah, untuk memfasilitasi tempat penahanan rahasia CIA.
Salah satunya adalah pada pejabat negara, yang menolak redensi seorang tersangka bernama Khalid Syaikh Muhammad. Duta besar AS untuk negara itu kemudian turun tangan, dan disepakati untuk membayar lebih dari $1 juta.
Para pejabat CIA sangat sadar, bahwa betapa mudahnya mereka mendapatkan negara-negara yang mereka inginkan, untuk memfasilitasi sistem penahanan dan program interogasi CIA dengan menggunakan uang.
Khalid ditangkap di Pakistan pada 2003. Di persidangan, pada 2007, dia mengaku telah disiksa di Guantanamo. Dokumen CIA mengungkap bahwa Khalid disiksa dengan tehnik waterboarding selama 183 kali.
Suap juga dilakukan CIA pada mereka yang menjadi korban salah tangkap. Mereka akan dibayar saat dibebaskan, agar tidak membuka mulut tentang penangkapan di antaranya adalah Syaed habib, Modin Nik Muhammad dan Ali Saeed Awadh.
Ketiganya disebut dibayar oleh CIA, setelah mereka ditahan di ruang isolasi. Sementara di Jerman, Khalid al-Masri sempat ditransfer ke negara lain, sebelum akhirnya dibebaskan karena salah tangkap. Dia mendapat kompensasi sebesar 14.500 euro.
Metode Interogasi
CIA dan Komite Intelijen Senat menghindari kata penyiksaan, dan memilih penggunaan kalimat tehnik interogasi yang ditingkatkan. Beberapa teknik yang dilakukan CIA, dan telah diungkap dalam laporan antara lain rectal feeding dan rehydration.
Sedikitnya lima tahanan disiksa dengan rectal feeding. Tersangka diletakan dengan posisi telungkup, dengan kepala pada posisi lebih rendah dari badan, kemudian makanan dalam bentuk cair dimasukkan melalui pipa.
Catatan CIA mengungkap setidaknya satu tahanan, Mustafa al-Hawsawi, menderita wasir kronis akibat penyiksaan itu. Bentuk penyiksaan lainnya adalah dengan menempatkan tersangka dalam kotak sempit, dalam waktu yang lama.
Kotak itu dibuat agar tersangka sulit bernafas. Serangga juga dimasukkan dalam kotak, memanfaatkan fobia yang seorang tersangka. Teknik lainnya adalah penggunaan air dingin, di mana tersangka ditelanjangi dan direndam di air dingin selama beberapa menit.
Pada November 2002, tersangka asal Afghanistan, Gul Rahman, meninggal karena hipotermia di penjara rahasia CIA di Kabul. Dia dipenjara dalam sel yang dingin, ditelanjangi dari pinggang ke bawah dan direndam dalam air dingin.
Cara lainnya adalah larangan tidur selama 180 jam atau lebih dari sepekan. Sementara pada teknik waterboarding, tersangka diikat pada papan dengan kaki lebih tinggi dari kepala. Wajah mereka ditutupi, lalu air dikucurkan terus menerus ke arah hidung dan mulut.
Cara itu membuat tersangka merasakan sensasi tenggelam dan kepanikan. Selain kekerasan seperti membenturkan kepala ke dinding, tahanan juga diancam dengan pelecehan seksual terhadap mereka dan keluarganya.
Laporan mengungkap setidaknya tiga tahanan diancam, bahwa keluarga mereka akan disakiti. Seorang tahanan, Nashiri, mengatakan interogator mengancam akan membawa ibunya untuk diperkosa di depan dia, lalu digorok lehernya.
Disebutkan juga adanya ancaman sodomi dengan menggunakan gagang sapu. Ada juga tahanan yang disiksa, dengan cara dipaksa berdiri dan tangan diikat ke atas selama lebih dari tiga bulan. Cara itu juga kerap dikombinasikan dengan larangan tidur.
Move On
Direktur eksekutif HRW Kenneth Roth, yang dikutip Reuters, Rabu, 10 Desember 2014, menyerukan adanya akuntabilitas. Dia menegaskan bahwa proses pengungkapan kebenaran, harus berlanjut dengan penuntutan terhadap para pejabat yang bertanggungjawab.
Jika tidak, maka penyiksaan akan tetap menjadi pilihan kebijakan untuk presiden AS selanjutnya. “Itu (laporan) membuka isu akuntabilitas,” kata Alberto Mora, yang merupakan penasihat Angkatan Laut AS saat pemerintahan Presiden George W Bush.
Ketiga itu Mora secara aktif menentang kekerasan dalam proses interogasi. Mora mengatakan, secara politik sulit berpikir bahwa Bush dan para pejabat AS lainnya akan dapat dituntut. Satu-satunya yang pernah dituntut atas brutalitas CIA, adalah warga sipil David Passaro.
Kontraktor CIA itu divonis pada 2006, terkait kematian seorang tersangka asal Afghanistan. Direktur eksekutif Serikat Kebebasan Sipil Amerika, Anthony Romero, mengatakan laporan Senat merupakan cetak biru untuk kemungkinan penuntutan.
Menurutnya, jika Obama memberikan pengampunan secara resmi, itu mengisyaratkan bahwa penyiksaan dapat terjadi lagi. “Apakah akan menuntut mereka yang bertanggungjawab, atau memberikan pengampunan. Anda tidak dapat berpura-pura bahwa mereka yang melanggar hukum, bukanlah para penjahat,” ujar Romero.
“Fakta bahwa kebijakan yang diungkap dalam laporan ini, diotorisasi pada tingkat tinggi dalam pemerintahan AS, tidak dapat menjadi pengecualian,” kata Ben Emmerson, utusan khusus PBB untuk kontra-terorisme dan HAM.
Tapi seruan para advokat HAM itu tampaknya tidak berarti bagi AS. Tidak ada kemungkinan penuntutan hukum, bagi mereka yang terlibat dalam pembuatan kebijakan, yang membenarkan dilakukannya penyiksaan dalam interogasi.
Pejabat AS mengatakan, Departemen Hukum AS tidak berencana melakukan penyelidikan. Demikian juga Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, mengisyaratkan tidak akan ada siapapun yang akan dituntut terkait dengan penyiksaan yang dilakukan CIA.
“Daripada alasan lain untuk mempertentangkan kembali argumen usang, saya harap bahwa laporan hari ini dapat membantu kita meninggalkan tehnik ini, di masa lalu,” kata Obama. Dia juga menyerukan agar semua pihak “move on.”
Departemen Hukum disebut pernah melakukan penyelidikan atas 20 kasus. Namun investigasi dihentikan tanpa ada tuntutan yang dibuat. Pernyataan Obama dan para pejabat AS, mempertegas sikap hipokrit AS.
Hukum Internasional dan Kemunafikan AS
AS termasuk dalam 152 negara pihak, yang menandatangani Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain (CAT). Konvensi itu mengatur bahwa tidak ada pembenaran untuk penyiksaan, tanpa pengecualian, apakah sebuah negara berada dalam perang, atau ancaman perang.
Pasal 16 CAT, mengatur agar negara-negara mencegah tindakan kekejaman, tidak manusiawi, atau hukuman yang tidak mencakup penyiksaan, saat tindakan itu dilakukan oleh atau atas perintah pejabat publik, atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas pejabat resmi.
Beberapa hukum internasional lain seperti Kovenan Internasional Untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Amerika Untuk HAM, serta Konvensi HAM Eropa, juga melarang penyiksaan dan kekejaman, serta perlakuan tidak manusiawi.
Para pemimpin dan pejabat AS mengklaim, bahwa metode yang digunakan CIA telah membantu penangkapan para tersangka, dan pembunuhan terhadap Osama bin Laden. AS mengabaikan aturan, bahwa tidak ada pengecualian untuk membenarkan penyiksaan.
AS pernah menjatuhkan vonis 15 tahun kerja kasar, pada seorang warga sipil Jepang yang bekerja sebagai penerjemah bagi militer Jepang, pada Perang Dunia II, Yukio Asano. Dia dituduh melakukan penyiksaan dengan menerapkan waterboarding pada tentara AS yang ditahan Jepang.
Sementara kasus waterboarding yang dilakukan CIA, tidak dianggap sebagai penyiksaan atau pelanggaran hukum. Keanehan lainnya adalah pada kasus penyiksaan terhadap Gul Rahman, yang tewas setelah disiksa 48 jam larangan tidur, dan berbagai metode lain.
Agen CIA pemberi instruksi berbagai hukuman, yang mengakibatkan tewasnya Rahman, tidak mendapat sanksi. Bahkan empat bulan kemudian, justru diberi hadiah sebesar $2.500 disebut sebagai penghargaan atas konsistensinya melakukan pekerjaan hebat.
Jadi apa yang menurut AS salah jika dilakukan negara lain, tidak berarti salah jika itu dilakukan untuk kepentingan AS. Washington yang selalu bersuara keras tentang pelanggaran HAM, tidak melihat penyiksaan CIA sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM juga.
Rendisi dan Indonesia
Hukum internasional juga melarang negara-negara untuk mengirim individu ke negara-negara, di mana terdapat risiko nyata penyiksaan, atau perlakuan buruk. Indonesia yang terlibat membantu CIA, juga terikat dengan CAT.
Pasal 3 CAT menyatakan, bahwa tidak ada negara yang harus mengusir, mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara lain, di mana terdapat alasan substansial, untuk meyakini bahwa nyawanya akan ada dalam bahaya karena penyiksaan.
Pada laporan OSJI disebut bahwa Indonesia terlibat dalam penangkapan atas perintah CIA di antaranya Muhammed Saad Iqbal Madni, pada 9 Januari 2002. Kemudian Salah Nasir Salim Ali Qaru pada 2003. Keduanya dikirim ke Mesir dan Yordania, atas permintaan CIA.
Artinya selain AS, Indonesia juga dapat dituntut bertanggung jawab, karena sulit diterima akal sehat jika Indonesia tidak mempertanyakan, mengapa tersangka tidak diekstradisi langsung ke wilayah AS, melainkan ke penjara rahasia CIA di negara lain.
Hukum HAM Internasional, tidak hanya melarang negara melakukan pelanggaran secara langsung, tapi juga mewajibkan negara-negara untuk tidak memindahkan individu ke negara, di mana mereka akan menghadapi ancaman penyiksaan.
Negara yang membantu negara lain untuk melakukan tindakan yang salah, maka bertanggungjawab secara internasional. Konvensi internasional juga melarang negara-negara menutupi tindakan penyiksaan yang dilakukan pihak lain.
Berdasarkan hukum internasional, tanggungjawab atas tindakan yang salah juga terjadi karena gagalnya satu negara, untuk mencegah tindakan yang salah oleh negara lain.
(aliakram/arrahmah.com)