JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur The Community Of Islamic Ideology Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai terkait pernyataan aparat BNPT dan Densus 88 bahwa “teroris” yang ada di Indonesia itu terkait dengan jejaring “teroris” di luar negeri, hanya ngibul alias dusta belaka.
“Itu kibulan, narasinya bisa di buat. Narasi yang mengeneralisasi kelompok “teroris” dianggap terkait Al Qaida, kemudian terkait ISIS atau jaringan baru dan sebagainya,” ujarnya kepada Arrahmah.com, Senin (4/8/2015)
Kata Harits, termasuk juga penyebutan oleh aparat adanya daerah baru yakni Bima setelah Posos yang menjadi hot spot kelompok teroris, “Itu semua upaya branding proyek,” tegasnya.
Lebih jauh pengamat kontra terorisme ini memaparkan mencermati agenda kontra terorisme di Indonesia dari waktu ke waktu makin memperlihatkan problem kompleksnya. Dari soal paradigma yang salah kaprah dengan menempatkan label teroris fokus kepada kelompok Islam tertentu.
Begitu juga, imbuh Harits, paradigma ancaman terhadap NKRI, dimana komponen Islam di posisikan sebagai ancaman potensial dan aktual. Hal ini jelas- jelas cacat memahami konstalasi ancaman dalam kontek global dan regional.
“Isu teroris hanyak kedok untuk memberangus kekuatan Islam, disamping jadi alasan dan nomenklatur anggaran agar proyek kontra teroris kontinyu berjalan,” terangnya.
Menurutnya, sikap BNPT dan Densus 88 sangat berbeda pada kasus-kasus lain seperti Tolikara atau lainnya.
“Apakah “teroris” betul-betul menjadi sertifikat “halal” bagi aparat kepolisian, BNPT atau lainnya untuk berbuat sesuka hati dengan cara yang dzalim kepada umat Islam? Wahai penguasa, wahai aparat lakukan apa saja yang engkau suka jika tidak lagi punya rasa malu dan keadaban di negeri ini,” tukasnya.
Sebelumnya bertempat di lapangan tenis Kompleks Yonif 742, Mataram, NTB, Satgas BNPT AKBP Didik Novi yang juga tergabung dalam tim Densus 88 memaparkan peta kondisi terakhir perkembangan terorisme, khususnya di NTB. Di Bima, sebutnya, masuk dalam dua kelompok besar yaitu NII di bawah pimpinan Daeng Koro, yang masih melakukan gerakan senyap meski pernah dibubarkan. Kelompok kedua adalah Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) Pimpinan Santoso.
Kata dia juga, secara global, dua kelompok ini menjadikan ISIS dan Al Qaida sebagai patronnya. Baca: Acuhkan teror Tolikara, Densus 88 “kondisikan” Bima setelah Poso. (azmuttaqin/arrahmah.com)