BEIRUT (Arrahmah.id) – Penyanderaan yang terjadi di sebuah bank di Beirut, Libanon, pada Kamis (11/8/2022) waktu setempat telah berakhir.
Menurut laporan Reuters (12/9), tidak ada yang cedera dalam insiden penyanderaan bank di Libanon itu.
Pihak berwenang mengatakan Bassam Al-Sheikh Hussein (42) memasuki bank itu dengan senjata dan tabung bensin. Ia melepaskan tiga tembakan peringatan dan mengunci bank itu bersama 10 sandera.
Hussein mengancam akan membakar dirinya kecuali bank mengizinkannya menarik tabungannya.
Setelah perundingan selama beberapa jam, ia menerima tawaran bank untuk menarik sebagian tabungannya. Ia kemudian membebaskan para sandera dan menyerahkan diri pada pihak berwenang.
Seorang pengacara yang ikut serta dalam proses perundingan itu mengatakan sebenarnya Hussein tidak benar-benar menerima uang sepeser pun.
Setelah Hussein ditangkap aparat keamanan, istrinya, Mariam Chehadi, yang berdiri di luar bank itu, mengatakan kepada wartawan bahwa suaminya “melakukan apa yang harus dilakukannya.”
Drama penyanderaan di Distrik Hamra yang ramai di Kota Beirut itu merupakan babak menyakitkan terbaru dalam kemerosotan ekonomi Lebanon yang memasuki tahun ketiga.
Bank-bank negara yang sejak tahun 2019 kekurangan uang telah memberlakukan pembatasan ketat pada penarikan aset mata uang asing sehingga jutaan orang tidak dapat mengakses tabungan mereka sendiri.
Tentara dan polisi dari Pasukan Keamanan Dalam Negeri Lebanon, bersama agen-agen intelijen mengepung daerah itu.
Sementara puluhan orang berdemonstrasi selama proses perundingan, meneriakkan slogan-slogan menentang pemerintah dan bank Lebanon. Para demonstran juga mendesak agar penyandera diperkenankan menarik tabungannya sendiri.
Banyak pengamat memujinya sebagai pahlawan.
Libanon menderita krisis ekonomi terburuk dalam sejarah modernnya. Tiga perempat dari populasi telah jatuh dalam kemiskinan dan nilai pound Lebanon telah anjlok lebih dari 90 persen terhadap dolar Amerika.
Kepala Bank Employees Syndicate George Al Haj mengatakan kepada media lokal bahwa tujuh atau delapan karyawan bank disandera bersama dua pelanggan lain.
Sang penyandera, Bassam Al-Sheikh Hussein, memiliki tabungan bernilai 21.000 dolar yang tidak bisa diambil di bank itu dan selama ini telah berjuang keras menarik uangnya untuk membayar tagihan medis ayahnya; demikian ujar Hassan Moghnieh, kepala kelompok advokasi Association of Depositors di Lebanon yang juga ikut serta dalam perundingan saat penyanderaan berlangsung.
Saudara laki-laki Hussein, Atef, yang berdiri di luar bank itu, mengatakan kepada Associated Press bahwa saudaranya akan bersedia menyerahkan diri jika pihak bank mengizinkannya menarik uang tabungannya untuk membayar tagihan dan pengeluaran keluarga lainnya.
“Saudara saya bukan bajingan. Dia laki-laki yang baik,” ujar Atef Al Sheikh Hussein. “Dia ingin menarik uang miliknya sendiri untuk diberikan kepada orang lain (membayar tagihan).”
Kebangkrutan Libanon disampaikan langsung Wakil Perdana Menteri Libanon, Saadeh al-Shami. Pada April 2022 lalu, dia mengaku jika negara dan bank sentral Libanon telah bangkrut.
Negara ini memang telah bergulat dengan krisis ekonomi yang parah sejak 2019. “Negara telah bangkrut seperti halnya Banque du Liban. Kerugian telah terjadi dan kami akan berusaha untuk mengurangi kerugian bagi rakyat,” jelas dia melansir laman Al-Jadeed.
Mata uang Libanon telah kehilangan 90 persen nilainya, mengikis kemampuan orang untuk mengakses barang-barang dasar, termasuk makanan, air, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, pemadaman listrik yang meluas sering terjadi karena kekurangan bahan bakar. (hanoum/arrahmah.id)