(Arrahmah.com) – Setiap mukmin berharap selamat dari siksa api neraka dan ingin dimasukkan ke dalam surga. Untuk itu mereka beramal, menuntut ilmu, hingga diantara mereka ada yang mencapai level tinggi dalam penghambaan dan keilmuannya.
Pada tingkat seperti itu, setan tidak berarti akan berhenti untuk menjatuhkan mereka dalam kebinasaan. Justru, ia akan datang dengan jurus lain dan membuat orang-orang yang telah mencapai tingkat penghambaan dan keilmuan tinggi itu tertipu oleh apa yang mereka miliki dari sisi keilmuaan dan ketakwaan mereka.
Mereka mampu menahan diri dari memakan, meminum dan melakukan perbuatan yang haram dan keilmuannya menjadikannya sebagai rujukan ilmu di tengah-tengah manusia. Pencapaian luar biasa itu membuat mereka dirasuki rasa sombong yang tersembunyi, disitulah awal musibah mereka.
Buruknya lisan yang dikelabui setan menjadi petaka dan bencana. Mereka mampu menahan diri dari yang haram tapi tidak pada lisannya, lalu mengira untaian kalimat yang terucap dari lisannya sebagai anugrah yang patut disyukuri, ternyata itulah bentuk ketergelincirannya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:
ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز من أكل الحرام، والظلم، والزنا والسرقة، وشرب الخمر، ومن النظر المحرم وغير ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسان، حتى ترى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة، وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالا يزل منها أبعد مما بين المشرق والمغرب،
“Diantara hal yang mengherankan bahwa di antara manusia ada yang begitu mudah menjaga dan menjauhkan dirinya dari memakan makanan yang haram, berbuat zalim, berbuat zina, mencuri, meminum khamar, melihat pada yang haram dan selainnya, namun teramat sulit baginya menahan gerak lisannya. Bahkan engkau akan melihat seseorang yang digambarkan memiliki agama yang baik, zuhud, dan menjaga ibadahnya namun di sisi lain ia mengucapkan kalimat yang mendatangkan murka Allah. Ia menganggapnya biasa-biasa saja tapi justru itulah yang akan memasukkan dirinya ke dalam neraka sejauh timur dan barat.” (Ad-Daau Wa Ad-Dawa: 169)
Apa yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim ini bukanlah seorang awwam yang biasa-biasa saja. Seorang yang menjaga ibadahnya, baik agamanya, zuhud dan wara. Sifat ini tidak dimiliki oleh orang awam, melainkan pada manusia yang telah mencapai keilmuan dan merasa memiliki ketakwaan yang tinggi.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات لا يبالي ما يقول .
“Betapa banyak engkau melihat orang-orang yang menjaga dirinya dari perbuatan keji dan zalim, namun lisannya senantisa memfitnah kehormatan orang-orang yang masih hidup bahkan orang-orang yang telah meninggal dunia lalu ia tidak merasa bersalah dengan perkatannya itu.” (Ad-Daau Wa Ad-Dawa: 169)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وإن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين ما فيها يهوي بها في النار أبعد ما بين المشرق والمغرب
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan satu kalimat yang tidak ia konfirmasi dahulu, maka ia pun jatuh ke dalam neraka karenanya yang jaraknya sejauh timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan pada seorang ‘abd, yaitu seorang yang menghamba kepada Allah. Satu derajat yang sangat tinggi. Namun karena ia terfitnah oleh ilmu dan ibadahnya, iapun masuk dalam jebakan setan.
Sungguh, diantara bentuk lain dari hal ini adalah engkau akan melihat manusia-manusia yang lancang terhadap kehormatan ulama dan da’i, yang hidup atau telah wafat sedang mereka menganggap itu sebagai dakwah yang mulia. Mereka tertipu.
Karena itulah, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menukil perkataan Ibnu Qayyim di atas dalam kitabnya ar-Rudud. Satu kitab yang membahas perilaku manusia yang telah tercebur dalam kubangan lumpur gemar mengelompokkan para ulama dan da’i.
Wallahul musta’an wa ilaihi al-Musytaka
Sumber: wahdah.or.id
(*/Arrahmah.com)