Oleh: Puguh Saneko
(Pengamat Sosial & Lajnah Maslahiyah DPD I HTI Jawa Timur)
(Arrahmah.com) – Dalam hal negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada seorang muslim pun, kecuali aku bertanggung jawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu, Rasulullah saw. membacakan firman Allah Swt.,”Para nabi itu menjadi penanggung jawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda,”Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silakan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Namun, jika dia mati dan meninggalkan utang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya” (HR Kutub as-Sittah).
Bukan lagi sesuatu yang mengherankan, selain bertindak sebagai utusan (Rasul) Allah, beliau SAW pun adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupan, melaksanakan uqubat (sanksi-sanksi), menegakkan hudud, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga Daulah Islamiah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara musuh, termasuk juga menjamin kebutuhan masyarakat serta menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat. Beliau saw. bersabda:
فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوْا، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ
“Siapapun orang mukmin yang mati sedang dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yang ada. Siapa saja yang mati sedang dia menyisakan utang atau dhayâ’an, maka serahkanlah kepadaku. Selanjutnya, aku yang akan menanggungnya” (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu, Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Demikianlah, negara harus berbuat sekuat tenaga dengan kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.
Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan syariat Islam, Umar bin Khathab telah membangun suatu rumah yang diberi nama “daar ad daqiiq” (rumah tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang tujuannya menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.
Sistem Islam yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam), berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang memberikan penjelasan tentang orang-orang kafir dzimmi:
“Mereka (orang-orang kafir dzimmi) mendapat hak apa yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban yang sama halnya seperti kita mendapatkan (terkena) kewajiban.”
Rasulullah juga bersabda:
“Sesungguhnya telah kami berikan apa yang telah kami tentukan, agar darah (derajat) kita setaraf dengan darah (derajat) mereka, serta harta kita setaraf dengan harta mereka.”
2. Pandangan Islam terhadap masalah ketersediaan barang-barang kebutuhan hidup
Kalau kita kaji di dalam islam, setidaknya ada dua cara yang ditempuh untuk meningkatkan ketersediaan barang kebutuhan pokok, yaitu :
- Meningkatkan produksi
- Meningkatkan distribusi
Islam memandang bahwa persoalan ekonomi bukanlah sekedar bagaimana meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi bagaimana barang dan jasa itu sampai kepada setiap orang (distribusi)
Allah SWT. berfirman:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“… Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras sanksiNya.” (Qs. al-Hasyr [59]: 7)
Secara ekonomi, negara harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa, berlangsung sesuai dengan ketentuan syariah, dan di dalamnya tidak ada pihak yang mendzalimi ataupun didzalimi. Karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi (produksi, industri, pertanian, distribusi, dan perdagangan), investasi, mata uang, perpajakan, dll, yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan oleh orang lain.
Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan, melalui instrumen seperti zakat, shadaqah, hibah dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan.
Itulah hukum-hukum syariat Islam, yang memberikan solusi cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri termasuk melacurkan diri.
c. Pengaturan Islam terhadap pergaulan pria dan wanita termasuk larangan terhadap pornografi dan pornoaksi
- Padangan Islam terhadap penciptaan pria dan wanita
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu
Dari QS. An Nisa ayat 1 diatas kita pisa memahami bahwa tujuan penciptaan pria dan wanita adalah untuk kelestarian jenis manusia dalam bingkai rumah tangga
Karenanya Alloh SWT menciptakan ketertarikan kepada lawan jenis (gharizatu an nau’). Alloh SWT berfirman di dalam QS. Al A’raf ayat 189 :
Artinya: Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.
Tujuan dari diciptakannya gharizatu an nau’ tersebut adalah agar umat manusia tidak punah dan lestari.
- Pengaturan Islam terhadap hubungan pria dan wanita
Allah SWT telah menciptakan naluri ketertarikan terhadap lawan jenis (gharizatu an nau’) pada diri setiap orang. Yang mana naluri ini memunculkan dorongan untuk pemenuhan. Dorongan yang muncul dari adanya gharizatu an nau’ biasanya dikarenankan adanya faktor eksternal. Maka islam sebagai agama dan aturan hidup yang berasal dari Allah Dzat yang telah menciptakan manusia beserta gharizatu an nau’nya memberikan aturan bagi pemenuhannya yang tidak bertentangan dengan hakikat pencipataan manusia itu sendiri sebagai berikut :
a.Islam memerintahkan kepada pria dan wanita untuk menundukkan pandangan
“Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang muknin laki-laki hendaknya mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka…” (QS. An Nur: 30)
“Dan katakanlah (Muhammad) kepada wanita-wanita mukmin hendaknya mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan hendaknya mereka menjaga kemaluan-kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang biasa nampak darinya…” (QS. An Nur: 31)
b. Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat
c. Islam mengatur pakaian wanita
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang biasa nampak darinya dan hendaklah mereka menjulurkan kerudung-kerudung mereka atas dada-dada mereka…”(QS. An Nur: 31)
ياأْيّهاالنّبي ّقل لأزْواجك وبناتك ونساءالمؤْمنين يدْنين من جلابيبهن ّذلك أدنىأن يعْرفْن فلا يؤْذيْن وكان الله غفورا رحيما
Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.Al-Azhab:59)
Islam memerintahkan kepada wanita untuk tidak sekedar menutup aurat tetapi juga mengenakan kerudung dan jilbab.
d. Islam melarang khalwat
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Tidak diperbolehkan seorang laki-laki dan perempuan berkhalwat, kecuali jika perempuan itu disertai mahramnya.” (Hr. al-Bukhari)
e. Islam juga melarang adanya ikhtilat kehidupan campur baur antara pria dan wanita)
f. Islam memerintahkan nikah dan melarang adanya perzinaan
Islam memberikan pengaturan terhadap pemenuhan dorongan yang muncul dari gharizatu an nau’ dengan tidak menyalahi tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan yaitu melalui jalan pernikahan dan melarang perzinaan
…maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja…” (QS. An Nisa : 3)
Allah SWT melarang mendekati zina. Mendekati saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina itu sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32).
Imam Al Qurthubi berkata, “Para ulama mengatakan terkait firman Allah (yang artinya) ‘janganlah mendekati zina’ bahwa larangan dalam ayat ini lebih dari perkataan ‘janganlah melakukan zina’. Makna ayat tersebut adalah ‘jangan mendekati zina’.
Sebagaimana firman Allah di dalam QS. Al Furqan ayat 68 :
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)”
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,
“Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.”
Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al Furqon ayat 68 di atas. [HR. Bukhari no. 7532 dan Muslim no. 86]
4. Islam memberikan sanksi yang tegas bagi pezina
Jika pezina seorang jejaka atau gadis, maka dia didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS. an-Nur: 2).
Dari Ubadah bin ash-Shamit radiyallaahu ‘anhu berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah dariku. Ambillah dariku. Allah telah meletakkan jalan untuk mereka. Jejaka dengan gadis cambuk seratus kali dan pengasingan selama setahun. Laki-laki yang sudah menikah dengan wanita yang sudah menikah adalah rajam.” (HR. Muslim).
Jika pezina sudah menikah, maka hadnya adalah rajam, dari Abdullah bin Abbas radiyallaahu ‘anhu berkata, Umar bin al-Khatthab radiyallaahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran dan menurunkan kitab kepadanya, di antara apa yang Allah Subahanhu waTa’ala turunkan kepadanya adalah ayat rajam, kami membacanya, menghafalnya dan memahaminya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah merajam dan kami pun melakukannya setelah beliau, saya khawatir seiring dengan berjalannya masa ada seseorang yang berkata, ‘Kami tidak menemukan ayat rajam di dalam kitab Allah Subhanahu waTa’ala.’ Akibatnya mereka tersesat karena meninggalkan sebuah kewajiban yang diturunkan oleh Allah Subhanahu waTa’ala. Sesungguhnya rajam di dalam kitab Allah Subhanahu waTa’ala adalah haq atas orang yang berzina jika dia muhshan dari kaum laki-laki maupun wanita, bukti-bukti telah tegak atau adanya kehamilan atau pengakuan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
Dengan hukuman yang tegas tersebut akan memberikan efek jera bagi pelakunya dan penjagaan/preventive bagi yang belum melakukan. Sehingga hal ini bisa menekan angka perzinaan.
d. Larangan Islam terhadap konsumsi khamr dan NAPZA dan hukuman yang tegas bagi setiap orang yang terlibat didalamnya
- Larangan Islam terhadap khamr
Allah SWT berfirman di dalam QS. Al Maidah ayat 90: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan
- Larangan Islam terhadap NAPZA
NAPZA/Narkoba dalam istilah fiqih kontemporer disebut “al mukhaddirat” (Inggris : narcotics). NAPZA adalah segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya kesadaran pada manusia atau hewan dengan derajat berbeda-beda, seperti hasyisy (ganja), opium, dan lain-lain. (maaddatun tusabbibu fil insan aw al hayawan fuqdan al wa’yi bidarajaatin mutafawitah). (Ibrahim Anis dkk, Al Mu’jam Al Wasith, hlm. 220).
Syaikh Sa’aduddin Mus’id Hilali mendefisinikan narkoba sebagai segala materi (zat) yang menyebabkan hilangnya atau lemahnya kesadaran/penginderaan. (Sa’aduddin Mus’id Hilali, At Ta’shil As Syar’i li Al Kahmr wa Al Mukhaddirat, hlm. 142).
Narkoba adalah masalah baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat. Narkoba baru muncul di Dunia Islam pada akhir abad ke-6 hijriyah (Ahmad Fathi Bahnasi, Al Khamr wa Al Mukhaddirat fi Al Islam, (Kairo : Muassasah Al Khalij Al Arabi), 1989, hlm. 155).
Namun demikian tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya narkoba dalam berbagai jenisnya, baik itu ganja, opium, morfin, mariyuana, kokain, ecstasy, dan sebagainya. Haramnya NAPZA didasarkan pada dua alasan; Pertama, ada nash yang mengharamkan narkoba, Kedua, karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Inilah pendapat Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 177.
Nash tersebut adalah hadis dengan sanad sahih dari Ummu salamah RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir). (HR Ahmad, Abu Dawud no 3686). (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina’iyah Al Islamiyah, 1/700). Yang dimaksud mufattir (tranquilizer), adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha’) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha’, hlm. 342).
Disamping nash, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi : Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 3/457; Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/24). Kaidah ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, hukumnya haram, sebab syariah Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya. Dengan demikian, narkoba diharamkan berdasarkan kaidah fiqih ini karena terbukti menimbulkan bahaya bagi penggunanya.
Sanksi (uqubat) bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya. Pengguna narkoba yang baru beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah lama. Beda pula dengan pengedar narkoba, dan beda pula dengan pemilik pabrik narkoba. Ta’zir dapat sampai pada tingkatan hukuman mati. (Saud Al Utaibi, Al Mausu’ah Al Jina’iyah Al Islamiyah, 1/708-709; Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, 1990, hlm. 81 & 98).
Khatimah
Demikianlah solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk menyelesaikan masalah perzinaan dan prostitusi. Menutup prostitusi dolly adalah langkah yang baik akan tetapi tentu tidak cukup hanya dengan menutupnya. Diperlukan langkah yang lebih komprehensif dalam penyelesaian masalah perzinaan yaitu dengan penerapan islam secara kaffah sehingga permasalahan perzinaan tersebut bisa terselesaikan secara tuntas hingga akar-akarnya. Pelaksanaan syariah islam secara kaffah tentu hanya bisa dilakukan dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab
(azm/arrahmah.com)