JAKARTA (Arrahmah.com) – Tim penasihat hukum terdakwa kasus dugaan terorisme Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menuding ada rekayasa yang dilakukan jaksa penuntut umum terkait permohonan pemeriksaan 15 dari 138 saksi melalui teleconference.
“Kami curigai ini direkayasa supaya saksi-saksi tidak bisa bergerak bebas,” kata Munarman, salah satu penasihat hukum Ba’ayir, kepada majelis hakim, seusai mendengar putusan sela di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (10/3/2011).
Tudingan itu dikatakan setelah jaksa mengajukan surat permohonan dari 15 saksi agar tidak diperiksa di ruang sidang. Permohonan itu diajukan setelah hakim menolak eksepsi Ba’asyir dan memerintahkan melanjutkan sidang dengan memeriksa saksi-saksi. “Selintas kami baca surat permohonan dari saksi-saksi ada semacam keseragaman bahasa,” kata Munarman.
Munarman mengatakan, pemeriksaan saksi melalui teleconference tidak diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Selain itu, kata dia, saksi harus diperiksa dalam ruang sidang berdasarkan KUHAP.
“Kesaksian di bawah tekanan atau tidak bisa dilihat langsung di ruang sidang, bukan teleconference. Kami sangat keberatan kalau diajukan teleconference,” kata Munarman.
Andi M Taufik, ketua tim jaksa, menolak alasan Munarman. Menurut dia, pemeriksaan di luar ruang sidang diatur dalam Pasal 34 UU Terorisme. Selain itu, ujarnya, pemeriksaan saksi melalui teleconference diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. “Pemeriksaan dengan didampingi pejabat yang berwenang,” ujarnya.
Menanggapi pendapat jaksa, tim pengacara tetap bersikukuh menolak permohonan itu. Munarman mengemukakan, tidak jelas apa alasan permohonan saksi-saksi. “Ancaman apa terhadap keamanan para saksi itu? Itu harus jelas. Saya kira di sini ada 2.000 polisi dan Jakarta bukan daerah konflik,” lontarnya.
“Majelis memiliki kewenangan untuk memaksa kehadiran saksi-saksi, apalagi saksi-saksi itu sekarang dalam tahanan,” kata Munarman menambahkan.
Andi langsung menimpali dengan menyebut, “Ini bukan kemauan kami, tapi ini kemauan mereka. Dari 138 saksi, 15 saksi yang mengajukan demikian.”
Herry Swantoro, ketua majelis hakim, lalu menghentikan sementara sidang selama 90 menit untuk bermusyawarah. “Ini persoalan yang cukup pelik. Majelis akan bermusyawarah. Nanti musyawarah akan dituangkan dalam penetapan,” kata Herry.
Sebelumnya, Ba’asyir prihatin dengan penanganan kasus korupsi yang berbanding terbalik dengan kasus terorisme. Menurutnya, untuk menangani teroris, gerak aparat hukum sangat cepat namun sebaliknya saat menangani korupsi.
“Kalo untuk Islam, penuh rekayasa. Kalau korupsi silakan jalan terus. Karena ini negeri kafir. Sidang ini penuh rekayasa,” kata Ba’asyir di sela-sela skorsing sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Jakarta.
Skorsing tersebut lantaran 5 hakim yang mengadili Ba’asyir sedang bermusyawarah untuk menentukan apakah 14 calon saksi perlu memberikan keterangan lewat fasilitas teleconfrence.
Dengan alasan keamanan, jaksa meminta 14 saksi memberi keterangan tidak di pengadilan. Namun alasan itu dibantah pengacara, lantaran persidangan telah dijaga 3.000 personil kepolisian.
“Jakarta bukan zona darurat, tidak ada alasan keamanan,” kata salah satu pengacara Ba’asyir, Achmad Michdan. (fn/km/dt)