Menutupi kepalanya dengan kain putih yang panjang, dikenal sebagai penduduk Duppat, Hajira Karim, 13, sedang sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian akhirnya di sekolah Shara di Mingora, ibukota Lembah Swat.
“Aku sangat bahagia dapat melanjutkan pendidikanku,” ujar Hajira seperti yang dilansir islamonline setelah menyelesaikan ujiannya.
Sekolah kembali dibuka pada 16 Februari silam, sehari setelah penerapan syariah di wilayah Lembah Swat dan beberapa distrik di wilayah suku di Pakistan. Ratusan sekolah putri sebelumnya ditutup karena kekhawatiran adanya konsekuensi akibat perang antara mujahidin Taliban dengan tentara pemerintah Pakistan. Termasuk sekolah dimana Hajira menempuh pendidikannya. Sekolah Shara ditutup selama dua bulan.
“Dua bulan seperti berabad-abad bagiku,” ia mengingat.
“Ketika aku datang dan mengetahui sekolahku dibukan kembali, mataku dipenuhi air mata karena kebahagiaan.”
Sufi Mohammad, salah satu anggota TNSM (Tehrik Nifaz-e- Shari’ah Mohammadi), mengumumkan dibukanya kembali sekolah-sekolah putri di Swat, setelah pemerintah tak mampu lagi menghalangi gerak Taliban untuk menerapkan syariah di sana.
Terdapat sekitar 2000 sekolah dasar dan lanjutan menengah serta perguruan tinggi di Lembah Swat, dan sekitar 800 diantaranya adalah sekolah putri.
Lebih dari 200 gedung sekolah hancur akibat digunakan sebagai basis militer oleh tentara Pakistan yang sering mendapat serangan dari Taliban.
Swat dikenal dengan switzerland-nya Pakistan, menjadi saksi bisu peperangan antara tentara pemerintah Pakistan dengan mujahidin Taliban yang memperjuangkan tegaknya syariah.
Hajira mengatakan kepada ibunya setelah sekian lama tidak hadir di sekolah, bahwa ia merasa sangat gembira dapat meneruskan pendidikannya dan bermain dengan teman-temannya di sekolah.
“Ibuku tidak pernah merasakan bangku sekolah atau perguruan tinggi, karena itu ia menjadi sangat bahagia mendengar diriku dapat melanjutkan pendidikan.”
Hazrat Hussein, kepala sekolah Shara yang didirikan pada 1997 silam, mengatakan pendidikan sangat diperlukan oleh masyarakat Swat, baik laki-laki maupun perempuan.
“Selama 10 hingga 15 tahun terakhir, fasilitas pendidikan untuk perempuan terlihat meningkat. Kini, para orangtua telah berpikir bahwa pendidikan untuk anak perempuan mereka juga merupakan hal yang penting,” ujarnya.
Sekolahnya menampung sekitar 360 siswa, 180 diantaranya adalah perempuan.
Hajira, seorang siswi muda yang bercita-cita menjadi seorang dokter, berharap kedamaian di tempat ia hidup akan bertahan lama.
“Tidak diragukan, aku menjadi saksi hidup pertempuran antara Taliban dengan tentara pemerintah,” lanjutnya. (haninmazaya/IOL/arrahmah.com)