WASHINGTON (Arrahmah.com) – Pasca 9 / 11 dunia, militer AS tengah bersiap-siap untuk menghadapi berbagai jenis musuh yang akan muncul selama abad ke-21.
Pergeseran dari perang konvensional -pertempuran dua negara besar di medan perang terbuka- telah berlangsung sejak Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates, menjabat dan ini tercermin dalam Tinjauan Pertahanan Empat Tahunan (Quarennial Defense Review-QDR) terbaru, salah satu dokumen strategis Pentagon yang diterbitkan setiap empat tahun, yang diterbitkan pada Senin lalu.
Tapi bagi Pentagon, tantangan yang dihadapinya selama empat tahun ke belakang ini tidak bisa memproyeksikan perang esok hari yang tidak diketahui, para ahli mengatakan.
Meskipun QDR terbaru ini mencakup berbagai jenis perang yang pernah dihadapi AS -perang Irak dan Afghanistan- tetapi tidak ada jaminan bahwa perang esok hari akan menyerupai konflik sebagaimana sebelumnya. Selain itu, perubahan gaya perang tersebut akan memakan waktu bertahun-tahun untuk melaksanakan, bahkan militer tidak yakin tentang ancaman apa yang terbentang di depan, para ahli mengatakan.
Dokumen tersebut menggiring paradigma militer AS menjauh dari pandangan lama dimana angkatan bersenjata harus disiapkan untuk dua perang konvensional skala penuh pada saat yang sama, dan mengatakan pasukan AS harus mempersiapkan diri untuk “perang asimetris” -perang non konvensional melawan aktor-aktor non-negara, seperti Al-Qaidah.
“Lawan Amerika saat ini dan masa depan tengah mempersiapkan strategi inovatif yang dipersiapkan untuk digunakan kapanpun, terdiri dari teknologi komersial, serta berbentuk asimetris dengan menggunakan taktik untuk mengganggu keunggulan kekuatan militer AS,” kata QDR.
Hal inilah yang mendorong AS untuk melakukan lebih banyak aktivitas intelijen, pengawasan, dan pengintaian, dengan menggunakan pesawat tanpa awak dan platform lain yang semacamnya, yang dipandang sebagai sesuatu yang penting bagi perang di Afghanistan dan Irak.
Laporan itu pun berisi penekanan untuk mencegah Al-Qaidah mendapatkan kembali pijakan di Afghanistan dan pada peningkatan bantuan militer asing dalam rangka mengambil peran secara global melawan militansi.
Namun para analis mengatakan bahwa AS akan memerlukan waktu setidaknya satu dekade sampai militer benar-benar bisa mulai membentuk kembali dirinya sendiri dan, pada saat itu, Amerika Serikat mungkin berperang melawan musuh baru dengan kemampuan baru.
Serangan 11 September di Amerika Serikat dianggap sebagai sebuah kejutan yang datang satu dekade setelah berakhirnya Perang Dingin.
“Butuh satu dekade untuk merancang sebuah platform senjata, tetapi pada era pasca Perang Dingin, sulit untuk melihat sejauh itu,” kata Nate Hughes, analis militer di perusahaan intelijen global Stratfor. “Jadi hal inilah yang menyebabkan Anda tidak yakin platform apa yang harus Anda gunakan bahkan ketika Anda sedang mendesain mereka.”
Untuk saat ini, militer mengalokasikan dana yang biasanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan F22 -pesawat tempur yang digunakan dalam perang konvensional- kepada platform persenjataan lain yang telah berlangsung sejak Gates menjabat.
Dana tersebut disiapkan untuk menyediakan pembom dan peralatan generasi baru dengan kegunaan yang lebih maksimal.
Tetapi para kritikus mengatakan bahwa kebutuhan jangka panjang yang sedang dipersiapkan untuk melawan dua perang besar pada waktu yang sama itu sama sekali tidak bijaksana.
“Dalam hal visi strategis, QDR merupakan dokumen yang tidak berarti apa-apa dan bahkan tidak mampu mengidentifikasi semua risiko,” kata James Carafano dari Heritage Foundation.
Dia juga menuduh bahwa dokumen dibuat atas dorongan anggaran bukan ancaman.
“Apa yang tidak mereka bicarakan adalah semua resiko karena mereka menganggap tidak memiliki dana yang cukup untuk menghadapinya,” katanya.
Carafano mengatakan Pentagon sedang membangun strategi seadanya, bukan apa yang dibutuhkan.
“Apa yang ada dalam laporan itu adalah strategi berbasis anggaran,” katanya, “Gates hidup dalam anggaran yang diberikan dan dia membuat bahwa anggaran itu harus cukup untuk semua resiko yang harus kami hadapi di masa mendatang, padahal tidak cukup sama sekali.”
“Seperti halnya jika Anda adalah seorang ahli bedah dan Anda tidak memiliki semua alat bedah yang Anda butuhkan untuk melakukan operasi, jadi Anda menggunakan apa yang telah ada tapi kemudian pasien meninggal karena Anda tidak punya cukup peralatan dan keterampilan untuk menyelamatkan pasien,” kata Carafano. (althaf/xnh/arrahmah.com)