KLATEN (Arrahmah.com) – Hilangnya nyawa Siyono, (34 tahun) rupanya bukanlah akhir derita bagi Suratmi, istri Siyono. Wanita yang tinggal di Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten ini juga terancam diusir dari tempat tinggalnya.
Aparat Desa Pogung berniat mengusir istri Siyono dan kelima anaknya, hanya karena Suratmi meminta keadilan dan kepastian hukum atas kematian suaminya.
Setelah kasus Suratmi diadvokasi oleh PP Muhammadiyah, muncul tekanan dari aparat Desa Pogung.
”Ini surat pernyataan kesepakatan bersama warga Desa Pogung diwakili RT, RW, BPD, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Desa Pogung,” kata Kepala Desa Pogung Djoko Widoyo pada Rabu (30/3/2016).
Djoko mengklaim, berdasarkan rapat yang dihadiri unsur masyarakat, warga Desa Pogung mendukung isi surat pernyataan yang dibuat dan ditandatangani keluarga almarhum Siyono, yakni Marso Diyono, Kakak ipar Sutomo dan Sri Mulyadi.
Isi surat pernyataan itu adalah apabila ada salah satu keluarga yang mengingkari surat pernyataan yang dibuat bersama pemerintah desa, maka warga masyarakat memberikan sanksi. Berdasar surat pernyataan saksi di antaranya, kalau terjadi autopsi, maka pelaksanaan harus dilaksanakan di luar Desa Pogung.
Jenazah setelah diautopsi tidak boleh dikubur di wilayah Desa Pogung. Keluarga yang mendukung autopsi tidak boleh tinggal di wilayah Desa Pogung.
“Demikian surat ini dibuat untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya demi ketentraman masyarakat Desa Pogung”. Itulah tiga poin kesepakatan warga Pogung yang tertanggal 29 Maret 2016
Menurut penelusuran wartawan anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU), Tommy, sejak hari Rabu (30/3), warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Cawas, Klaten terkejut dengan kedatangan lima truk anggota Dalmas Polres Klaten. Mereka datang sejak pukul 03.00 dini hari.
Aparat berpakaian tempur itu disiagakan di sekitar rumah Siyono, di balai Desa Pogung dan sisanya berjaga di Polsek Cawas.
“Kemungkinan yang di Polsek Cawas langsung merapat ke Pogung,” kata narasumber kami yang tidak mau disebut namanya demi alasan keamanan pada Sabtu (02/04).
Anggota Dalmas itu berjaga sejak pukul tiga dini hari hingga pukul dua belas siang. Mereka berjaga setelah menyebarnya isu akan dilakukannya autopsi pada jenazah Siyono.
Sumber kami menyebutkan pada Rabu pagi itu, seluruh jajaran pengurus RT dan RW se-Kelurahan Pogung, tokoh masyarakat dan BPD dikumpulkan di balai desa. Usut punya usut, ternyata mereka dimintai tandatangan untuk menolak dilakukanya autopsi pada jenazah Siyono.
“Jadi bukan keinginan masyarakat, tapi ini keinginan lurah,” imbuhnya.
Tak berhenti di situ, Lurah Pogung, Djoko Widoyo juga mengutus para pengurus RT dan RW untuk mengumpulkan tokoh masyarakat yang intinya l menolak diadakannya autopsi dan rencana pengusiran keluarga Siyono.
Ahmad (45 tahun), bukan nama sebenarnya, yang tinggal di Dusun Brengkungan, membenarkan hal itu. Ia didatangi aparat desa, dan disuruh kumpul di sekitar rumah Siyono. “Saat kumpul diberi tahu, jika ada yang tanya terkait autopsi, mereka diminta semuanya harus kompak menolak autopsi,” terang Ahmad.
Sebenarnya, lanjut Ahmad, masyarakat sekitar Dusun Brengkungan tak ambil pusing dengan proses autopsi. Artinya, apapun yang akan dilakukan pada jenazah Siyono, baik otopsi maupun tidak mereka tidak peduli. Tapi karena takut oleh aparat yang setiap hari datang, mereka akhirnya tanda tangan.
“Namun ada juga yang menolak dan mengajak untuk tidak tanda tangan,” kata pria yang berulangkali meminta disembunyikan identitasnya ini.
Hingga laporan ini diturunkan, Kepala Desa Pogung serta perangkat desa lainnya belum berhasil ditemui. (azmuttaqin/arrahmah.com)