Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis AMK
Lolosnya Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola Israel dalam ajang laga Piala Dunia U-20 yang sedianya akan digelar di Indonesia pada 20 Mei-11 Juni 2023 mendatang memunculkan polemik di kalangan masyarakat, tokoh, hingga penguasa. Padahal jelas bahwa keberadaan Israel sebagai entitas negara telah puluhan tahun memosisikan diri sebagai penjajah atas negeri Muslim Palestina. Mengapa masih juga menjadi polemik dan beda pendapat terkait dengan penolakannya?
Voa Indonesia (10/3/2023) mewartakan bahwa penolakan atas delegasi Israel dalam kejuaraan U-20 datang dari Wakil Ketua Umum Dewan Pertimbangan MUI KH. Muhyidin Junaidi, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqig dari PKS, hingga ormas lainnya. Sementara dari pemerintah sendiri tampak cenderung bersikap menerima. Hal ini diperlihatkan dengan terus dilakukannya persiapan demi persiapan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Terkait pengadaan fasilitas olahraga dan pendukungnya agar sesuai dengan standar FIFA.
Sederet kepala daerah, tokoh dan institusi di negeri ini pun memiliki kesamaan sikap, yakni menolak atas datangnya Timnas Israel. Mereka adalah Ketua DPP PDIP bidang Keagamaan dan Kepercayaan kepada Tuhan, Hamka Haq; Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo; Gubernur Bali I Wayan Koster; Persaudaraan Alumni (PA) 212; FPI; MUI dan beberapa organisasi masyarakat keagamaan lainnya. (CNN Indonesia, 25/3/2023)
Sebagian lainnya berprinsip tak mau ada di posisi menerima atau menolak Tim Israel. Mereka hanya berkeinginan Indonesia tidak kehilangan kesempatan emas menjadi tuan rumah acara bergengsi itu.
Harus Ditolak
Setidaknya ada beberapa alasan kenapa negeri ini sudah seharusnya memiliki suara bulat untuk menolak kedatangan delegasi Israel. Pertama, dari sisi posisi negara Israel yang telah puluhan tahun menjajah Palestina. Semua pihak yang membawa nuraninya akan sepakat terkait kejamnya agresi Israel menduduki bahkan mencaplok sejengkal demi sejengkal tanah Palestina. Hingga kini yang tersisa hanya wilayah yang teramat kecil saja. Sebagai bentuk dukungan dan solidaritas pada negara Palestina, tentu aneh jika tak berani bersikap tegas untuk memutus semua hubungan, baik diplomatik maupun tak resmi negeri ini dengan negara penjajah tersebut.
Kedua, konstitusi politik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 tegas menyebut menolak semua bentuk penjajahan di muka bumi ini. Maka ketika telah jelas Israel terus menjajah warga Plaestina, sudah semestinya semua elemen negeri ini dari rakyat terlebih penguasanya wajib membenci jalan politik Israel.
Berkembang narasi bahwa olahraga (sepak bola) itu tak boleh dicampuradukkan dengan ranah politik. Sungguh ini pemikiran yang teramat dangkal. Faktanya FIFA sebagai organisasi sepak bola dunia juga pernah menjatuhkan sanksi terhadap Timnas Rusia untuk tidak ikut serta di ajang kejuaran, perihal agresinya terhadap Ukraina. FIFA dalam hal ini tengah memainkan isu politik dalam ranah olahraga.
Bahkan di dalam negeri pun betapa sejarah memperlihatkan bagaimana Presiden RI pertama Soekarno menolak untuk bertanding dengan Timnas Irael pada Kualifikasi Piala Dunia 1958. Lagi-lagi itu dilakukan karena alasan politik. Meski karenanya, Indonesia kala itu di-blacklist di Olimpiade 1964 sekaligus ditangguhkan posisi keanggotaanya.
Ketiga, bahwa negeri ini berpenduduk Muslim terbesar sedunia. Islam mengajarkan dalam salah satu ayat Al-Qur’an yakni Al-Fath ayat 29 yang isinya “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ….”
Israel adalah negara kafir yang telah memerangi umat Islam di Palestina. Hingga kini mereka tak pernah berhenti berbuat zalim, membunuhi hingga mengusir warga dari tanah yang merupakan wilayah suci kedua, bagi umat Nabi Muhammad setelah Mekah. Oleh karenanya tak ada lagi yang wajib ditampakkan oleh negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini selain sikap tegas dan keras pada apapun yang ada hubungannya dengan Israel.
Alih-alih memiliki kesamaan sikap, yang ada justru menjadi polemik yang tak berkesudahan. Bahkan kini ketika FIFA membatalkan penyelenggaraan event Drawing di Indonesia menyusul penolakan pada Timnas Israel, yang berkembang justru opini menyalahkan pihak-pihak yang telah kukuh memegang prinsip. Alasan ekonomi dan hilangnya kesempatan untuk mendapat kebanggaan dari dunia luar letika menjadi tuan rumah piala dunialah yang mendasarinya.
Paradigma Kapitalisme Sekuler
Polemik yang menghasilkan keterbelahan pandangan dalam memutuskan terkait penolakan atas kehadiran Timnas Israel di negeri ini sungguh buah dari dianutnya paradigma Kapitalisme sekuler. Kapitalisme mengajarkan prinsip bahwa peraihan materi adalah perkara yang utama dalam mengambil setiap keputusan.
Dalam hal ini bisa dikalkulasikan potensi peraihan materi yang sangat besar dari sudut ekonomi bagi Indonesia jika menjadi tuan rumah bagi event internasional semisal Piala Dunia U-20. Mulai dari pengadaan hotel, cenderamata, tiket penonton serta wisatawan baik domestik hingga mancanegara, dan seterusnya.
Belum lagi dari sisi kebanggan dan posisi wajah negeri ini di mata internasional tentu akan terangkat saat dipercaya mengampu perhelatan skala dunia. Maka ketika pun jelas-jelas melanggar konstitusi negara, alih-alih memilih kukuh memegang prinsip, yang dilakukan justru terus dicari dalih dan alibi. Mulai dari ungkapan jangan campur-adukkan olahraga dengan politik lah; Dubes Palestina untuk Indonesia saja tidak keberatan Timnas Israel berlaga di Indonesia lah; hingga narasi bahwa kemerdekaan Palestina tidak akan ujug-ujug didapat hanya dengan menolak Timnas Israel.
Padahal potensi keuntungan ekonomi dan kebanggaan saja sesungguhnya tidaklah sebanding dengan kejahatan Israel terhadap saudara sesama Muslim di Palestina. Namun kembali pada kenyataan bahwa umat di negeri ini kini telah terasuki paham sekuler. Agama tidak diikutsertakan dalam keputusan-keputusan urusan kehidupan dan berpolitik. Olahraga ya urusan olahraga, politik ada ranahnya sendiri, terlebih agama tentu tak dipandang bisa turut campur dalam persoalan piala dunia.
Ditambah dengan sekat nasionalisme yang tidak memandang bahwa Muslim Palestina adalah saudara bagi Muslim Indonesia. Maka ketika pun terjadi kezaliman dan penjajahan atas Mulim Palestina, bahkan bentuk keberpihakan sebagai wujud solidaritas sesama manusia terlebih sesama Muslim pun demikian sulit dipadukan persepsinya.
Paradigma Islam Memutus Polemik
Jika dalam paradigma Kapitalisme polemik terus terjadi, tidak demikian dalam paradigma Islam. Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam memiliki arah pandang yang khas. Arah pandang yang berasaskan akidah yang benar (sahih) karena berasal dari al-Khalik. Ia menggabungkan antara materi dengan ruh (majzul madah birruh) ketika memandang sebuah persoalan. Ruh dalam arti idrak shilah billah (menyandarkan segala sesuatu pada Allah).
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, ….”
Oleh karenanya dalam hal ini seorang Muslim sejatinya akan berpandangan sama bahwa Muslim Palestina adalah saudara mereka. Tentu tak akan rela ketika saudaranya terus dizalimi dan diperangi. Maka dalam hubungan apapun, Islam mengajarkan untuk senantiasa bersikap tegas bahkan keras kepada siapapun pihak yang memusuhi terlebih menjahati Umat Islam lainnya (Al-Qur’an surah Al-Fath ayat 29). Termasuk Israel.
Sikap keras ini dapat ditunjukkan dengan menolak semua hubungan dengan negara kafir penjajah Israel, juga penolakan pada delegasi sepakbolanya. Meski demikian, penolakan terhadap Timnas Israel di ajang laga Piala Dunia U-20 bukan satu-satunya cara dan metode dalam menghadapi Israel. Lebih dari itu, teladan yang diperlihatkan oleh Baginda Rasulullah saw. juga para Khalifah sebagai pemimpin bagi umat adalah jelas. Yakni dengan memerangi siapapun pihak yang sudah berani menzalimi dan menjajah kaum Muslimin, termasuk di Palestina. Dimana entitas negara berdaulatlah yang berkewajiban menjalankannya. Negara yang tentunya mau tunduk pada semua aturan Allah yang kafah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.