Oleh : Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi AMK)
Kisruh urusan bahan pangan di negeri ini seolah tiada habisnya. Sebagai komoditas kebutuhan asasi, sudah semestinya sengkarut problem yang melingkupi segera diambil tindakan dan kebijakan yang tepat dan mengakar. Satu di antaranya adalah persoalan ketersediaan dan distribusi beras.
Menyikapi hal itu, Bulog (Badan Urusan Logistik) melakukan terobosan baru agar mampu menyelesaikan sengkarut persoalan beras. Sebagaimana dikutip dari media Tempo (29/1/2023) bahwa atas perintah Badan Pangan Nasional (Bapanas), Bulog akan menjual cadangan beras pemerintah (CBP) kepada rakyat melalui pasar ritel. Dasar kebijakannya terdapat dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 01/KS.02.02/K/1/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Alasan Pemerintah
Pemerintah melalui Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi memberi alasan bahwa kebijakan tersebut dalam rangka menjabarkan arahan Presiden untuk menstabilkan harga beras yang terus naik di masyarakat. Ini pertama.
Alasan kedua adalah untuk memastikan masyarakat dapat mengakses dan menjangkau CBP dengan harga terjangkau.
Alasan ketiga untuk menstabilkan harga, karena beras adalah satu di antara penentu angka inflasi.
Sengkarut Problem Beras
Secara logika, ketika fakta harga beras di pasar itu terus naik, pemerintah tinggal lempar CBP dengan harga yang lebih rendah ke pasar retail yang dekat dengan masyarakat, dengan kemasan kecil pula. Masyarakat yang sedang kesulitan dengan harga beras yang terus naik akan mudah dan murah membelinya. Seolah beres perkara.
Bulog sebagai representasi pemerintah untuk menjaga stok beras bagi kebutuhan dalam negeri akan terus membeli beras/gabah di tingkat petani. Jika harga tinggi, maka selisih dari pembelian dan penjualan ke tangan ritel dengan mudahnya akan digelontorkan oleh pihak Kemenkeu sebagai perpanjangan tangan pemerintah pemegang harta negara. Terasa mudah bukan?
Padahal fakta yang terjadi bahwa persoalan beras di tengah masyarakat itu jauh lebih rumit dari itu.
Jika dirunut, akan didapat betapa banyaknya problem yang melingkupi urusan per-beras-an di negeri ini. Semua saling bertumpuk ibarat benang kusut yang ketika satu simpul diurai, simpul lain akan terbelit bahkan menghasilkan simpul lain yang lebih kusut lagi.
Pertama, dari sisi ketersediaan. Kalau mau merujuk pada data, sungguh Indonesia terkategori negara penghasil beras terbesar sedunia. Setelah China dan India, Indonesia ada di urutan ketiga, disusul oleh Bangladesh lalu Vietnam. Data statistik menyebut pada tahun 2021 Indonesia menghasilkan 35,3 juta ton (CNBC Indonesia). Sementara itung-itungan data bahwa setiap orang itu membutuhkan 1,451 kg per pekannya (katadata.co.id). Jadi jika diperhitungkan secara kasar, selama tahun 2021 saja kebutuhan beras rakyat kurang lebih sebesar 20,66 juta ton. Ini surplus.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa Indonesia masih juga impor beras? Bahkan salah satu negara importirnya adalah Vietnam, yang dari sisi produksi secara data masih di bawah Indonesia. Betapa anehnya.
Kedua, dari sisi silang data antar lembaga. Sudah bukan rahasia lagi betapa itung-itungan data kerap terjadi di antara beberapa lembaga; Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog dan BPS. Ini yang menyebabkan silang pendapat terus terjadi. Kementan mengatakan bahwa produksi beras dalam negeri tinggi, sementara Bulog sering mengeluhkan ketika mereka mendatangi petani untuk membeli hasil padinya sebagai stok CBP, produk tidak ada. Istilahnya, ketika Bulog datang, ada bandar yang sudah jauh lebih dulu membeli stok gabah petani. Ini pulalah yang kerap dijadikan alasan bagi Bulog yang dalam perjalanannya kini digawangi oleh Bapenas kerap mengambil opsi impor untuk menyolusikan minimnya iron stock CBP.
Pemerintah menyebut bahwa ada gerakan mafia di area bandar/pengepul besar. Gerak mereka demikian cepat dan dekatnya dengan petani, lantas dengan mudah menimbun barang ketika harga murah untuk dikeluarkan di saat harga sedang tinggi. Para mafia pula yang disebut-sebut sebagai pihak yang mampu mengendalikan harga di pasar. Padahal negara dalam hal ini sudah mematok HET (harga eceran tertinggi), tapi kerap tak terlaksana.
Pertanyaannya, kenapa negara demikian tak berdayanya menghadapi segerombol mafia yang “hanya” berstatus sebagai bagian dari rakyat negeri ini? Bukankah negara itu memiliki instrumen untuk menyelidiki, menangkap, mengadili hingga menghukum pihak-pihak yang melakukan tindak kecurangan bahkan merugikan rakyat luas? Kenapa, kenapa, dan kenapa.
Ketiga, dari sisi keterjangkauan. Berdasarkan ilmu perdagangan bahwa harga itu dipengaruhi oleh suplai dan demand. Jika suplai melimpah dan stabil, maka pada dasarnya harga akan stabil pula. Jika saja semua potensi yang ada di dalam negeri difokuskan untuk produksi beras, tentu sangatlah bisa. Dengan kenyataan bahwa Indonesia negara agraris, lumbungnya pangan, bahkan di masa orde baru telah dikenal mampu berswasembada beras.
Tanah Indonesia pun demikian luasnya. Dengan iklim tropis sangat cocok untuk memproduksi hasil pertanian termasuk padi (beras).
Dari sisi SDM, Indonesia memiliki banyak peneliti dan pakar pertanian yang mumpuni. Demi majunya negara, mereka tentu siap digerakkan untuk melakukan serangkaian penelitian sehingga didapatlah metode, alat, hingga produk pendukung bagi terdongkraknya produksi beras berkualitas premium.
Faktanya Indonesia telah terjerat oleh permainan para pemburu rente di tataran impor produk, termasuk beras. Ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan adanya rente. Ditambah dari sisi adanya kewajiban negeri ini mematuhi perjanjian-perjanjian internasional terkait pasar bebas, yakni salah satunya adalah penetapan kuota impor atas komoditas tertentu.
Permainan Kapitalisme Global
Ketika berhadapan dengan sengkarut persoalan yang luar biasa bertumpuk tersebut, kita perlu jujur memandangnya. Bahwa sungguh hal itu bukan problem yang berdiri sendiri-sendiri. Namun yang terjadi berupa problematika multidimensi sebagai dampak sistemik dari diterapkannya prinsip Kapitalisme sekuler. Sistem ekonomi bahkan ideologi yang berasal dari Barat tersebut telah menjadi kekuatan global yang mencengkeram hampir semua negara di dunia.
Kapitalisme memfatwakan kepada negara untuk menjalani peran bukan sebagai pengurus melainkan cukup di bagian pembuat dan pengatur regulasi. Adapun urusan rakyat, kebutuhannya semua diserahkan pada mekanisme pasar. Artinya bahwa kebutuhan rakyat itu dipenuhi oleh pihak yang bermodal (kapitalis) dengan prinsip jual beli tentunya.
Maka tak mengherankan untuk urusan kebutuhan pangan berupa beras sekalipun negara pada gilirannya tampak tidak berdaya ketika para kapitalis memegang kendali atas pengadaan, penentuan harga hingga distribusi ke tangan rakyat.
Dalam Kapitalisme pula sistem hukum yang berlaku demikian lemahnya. Hingga jika pelaku kecurangan ada di pihak yang kuat (oligarki pengusaha dan penguasa) hukum seolah demikian tumpulnya. Mereka seolah memiliki kekebalan dari terjamah hukum.
Pilar Kapitalisme adalah kebebasan dalam berkepemilikan. Atas nama kebebasan, penguasaan lahan-lahan pertanian yang sangat luas bisa dialihfungsikan sekehendak sang pemilik kapital untuk diubah menjadi lahan industri, properti, hingga infrastruktur pendukung gurita bisnis yang mereka miliki. Maka didapati setiap tahunnya luasan lahan pertanian kian menyempit terhimpit nafsu serakah para kapitalis.
Maka alih-alih harga beras terkendali, pelepasan CBP ke pasar-pasar ritel hanya semakin mempertegas lepas tangannya negara dalam mengurus kebutuhan asasi rakyat berupa pangan.
Solusi Mengakar dalam Islam
Sengkarut persoalan yang telah menjelma ibarat benang kusut tersebut pasti ada solusinya. Tentu solusi yang dikehendaki berupa solusi mengakar secara sistemik.
Dengan kembali pada keyakinan sebagai mukmin, betapa Allah Sang Maha Kuasa telah menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan itu beserta seperangkat aturan yang menyertainya. Dengan terikat pada aturan-Nya (syariat Islam) maka manusia akan mendapatkan keberkahan yang dikucurkan Allah dari langit dan bumi, bahkan akan dikeluarkan dari beragam ketakutan karena himpitan hidup dan kekurangan pangan (Al-Qur’an surat Al-a’raf ayat 96).
Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok semua individu rakyat oleh negara. Dengan mekanisme tidak langsung, negara menjamin kebutuhan asasi individu, pangan salah satunya.
Negara akan membuat para laki-laki dewasa mudah dalam melaksanakan tugasnya memenuhi kebutuhan hidup keluarga termasuk urusan pangan.
Dalam urusan pangan semisal produk beras, negara memegang peran agar produksi bisa mencukupi bahkan surplus. Dengan mekanisme intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian; memberi bantuan benih dan saprotan lainnya; memfasilitasi penelitian-penelitian di bidang pertanian dan produk pasca panen, dst. Hal ini dalam rangka kemandirian dan kedaulatan negara.
Kebijakan tersebut ditopang oleh sistem ekonomi berbasis syariat yang tangguh. Dengan menempatkan posisi kepemilikan SDA sebagai harta milik semua rakyat tanpa kecuali, sebagai rahasia kuatnya negara dalam mengurus dan menjamin semua kebutuhan rakyat. Hingga saat ada rakyat yang tidak memiliki harta untuk mengakses kebutuhan asasi individunya termasuk pangan, maka negara akan memberikan kepada mereka secara gratis. Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika menjabat sebagai Khalifah dan mendapati ada rakyatnya yang kesulitan. Dia sendirilah yang mendistribusikan secara langsung kebutuhan pangannya secara gratis yang diambil dari Baitulmaal.
Sistem hukum yang diberlakukan oleh negara dalam Islam pun tangguh dan demikian tegasnya. Negara akan melarang penimbunan, upaya mempermainkan harga, dan beragam jenis praktik kecurangan lain yang dapat mengacaukan rantai produksi hingga distribusi beras
Para pemimpin dalam Islam memiliki spirit ruhiyah yang tinggi ketika menjalankan amanah kepemimpinan. Mereka sadar dan yakin bahwa amanah kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di yaumil akhir kelak. Hingga tak akan terbersit dalam benak mereka untuk berbuat curang, abai atau menipu rakyat yang dipimpinnya.
Yang ada dalam benak mereka hanyalah rasa cinta yang teramat dalam kepada semua individu rakyatnya. Karena dengannya maka tiket untuk mendapat limpahan cinta dan rida Sang Pencipta akan diraih.
Jika kita rindu dipimpin oleh penguasa seperti itu, maka prasyaratnya adalah terapkan sistem Islam kafah dalam kehidupan ini. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.