(Arrahmah.com) – Tanzhim Daulah Islam di Irak dan Syam atau Islamic State of Irak and Sham (ISIS) telah mengumumkan dirinya sebagai Khilafah Islamiyah atas daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya dan membai’at Abdullah Ibrahim Awad As-Samirai yang bergelar Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai khalifah bagi kaum muslimin.
Pengumuman ISIS sebagai Khilafah Islamiyah itu muncul setelah kelompok-kelompok jihad dan suku-suku muslim di Irak bangkit dalam revolusi rakyat melawan penindasan rezim Syiah Irak. Tanzhim ISIS merupakan salah satu bagian dalam gerakan revolusi rakyat muslim di Irak tersebut.
Deklarasi khilafah yang dilakukan ISIS memunculkan sejumlah pertanyaan dan tanggapan dari banyak pihak. Berikut ini merupakan terjemahan penjelasan Syaikh Husain bin Mahmud terkait permasalahan Khilafah dan persyaratannya serta siapakah mereka Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.
بسم الله الرحمن الرحيم
PEMBAHASAN TENTANG KHILAFAH
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarga-keluarganya, para sahabatnya dan kepada para pengikutnya, amma ba’du..
Pembicaraan tentang Al Imamah Al Kubra – atau khilafah – adalah pembicaraan tentang menegakkan urusan keagamaan dan keduniaan umat, dengan meniru cara dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini adalah persoalan penting yang tidak dapat dijabarkan dengan hanya sepatah dua patah kata, karena persoalan ini lebih besar dari yang disangka sebagian orang.
Ketika kita berbicara dengan orang yang kita anggap telah menguasai keilmuan dan pengetahuan, semangat dalam menindak lanjutinya serta bersemangat untuk bekerja demi kemaslahatan umat –nahsabuhum kadzalika wa Allah hasibuhum – maka kita tidak perlu untuk berpanjang, cukup kita berikan isyarat saja.
Semua orang mengetahui bahwa Al Imamah Al Kubra wajib diterapkan pada umat, dan umat berdosa jika ia tiada, dan dosa terbesar dipikul oleh para anggota Ahlul Halli wal Aqdi, Al Imamah Al Kubra memiliki beberapa persyaratan, diantaranya adalah:
Orang yang ditunjuk untuk memangku jabatan penting bagi umat ini haruslah seorang lelaki dewasa yang bebas (bukan budak), berperilaku baik, seorang yang berdarah Quraisy, seorang mujtahid, bertaqwa, bersikap adil, pemberani, menguasai politik dan strategi peperangan, kuat bagi dirinya sendiri dan kuat dalam menapaki kebenaran, dan masih ada syarat-syarat lainnya yang telah ditetapkan oleh para ulama, namun para ulama berbeda pendapat dalam sebagian syaratnya.
Pemilihan imam ini haruslah dilaksanakan oleh Ahlul Halli wal Aqdi dan lembaga ini meridhainya. Anggota dari lembaga ini haruslah orang-orang yang ahli berpikir dan bijaksana, ia juga harus memiliki peran penting di tengah-tengah masyarakat. Sebagian ulama ada yang mensyaratkan bahwa ia atau salah satu dari anggotanya adalah seorang mujtahid, namun setelah dilakukan kajian secara mendalam terhadap perkataan para ulama dan kitab-kitab sejarah, maka dapat disimpulkan bahwa mereka haruslah orang-orang yang diikuti atau dijadikan panutan bagi manusia, dan manusia ridha dengan pemikirannya, mentaati dan percaya dengan mereka.
Jadi yang dapat kita ketahui dari sini adalah, Imamah pada hari ini tidak akan bisa terjadi jika hanya ada seorang manusia yang dibai’at oleh sebuah jamaah saja, dan tanpa seluruh umat.
Atau mari kita katakan (khilafah itu sebagai kumpulan) negara-negara Ahlul Halli wal Aqdi, dan tidak diragukan lagi bahwa anggota Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama yang dikenal jujur, berilmu dan rekomended. Dan orang-orang seperti ini banyak didapati di kalangan umat – Alhamdulillah – dan Allah telah memudahkan kita semua untuk berkomunikasi dengan mereka melalui alat telekomunikasi modern.
Dan tidak diragukan lagi bahwa para komandan jihad – yang telah dikenal secara meluas kesungguhan mereka dan kebencian mereka terhadap musuh – adalah orang-orang Ahlul Halli wal Aqdi di kalangan umat, di antara yang terkenal pada hari ini adalah : Amir Mulla Muhammad Umar Mujahid, Syaikh Dr. Ayman Azh Zhawahiri dan para amir-amir mujahidin lainnya di Iraq, Syam, Chechnya, Somalia, Maghribi, Yaman, dan negara-negara lainnya. Mereka – dan selain mereka – semuanya adalah Ahlul Halli wal Aqdi yang harus diajak bermusyawarah dan dimintai pendapatnya dalam persoalan besar ini.
Ketika kami berkata kepada para pencari ilmu untuk menempuh tahapan-tahapan seperti ini dalam urusan yang besar ini, maka kami mengira bahwa sebagian besar dari mereka sudah mengetahui persoalan ini, menguasai hukum-hukumnya dan menyadari betapa urgennya persoalan ini, dan kami tidak berfikir bahwa yang seperti ini tidak diketahui oleh orang-orang yang berilmu dan memiliki pengetahuan.
Umat Islam telah mengalami banyak penderitaan dalam urusan yang satu ini, bahkan pada zaman sahabat sekalipun, ketika Khalifah Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menerima jabatan kekhilafahan, sebagian sahabat berbeda pendapat dengan beliau dalam sebuah ijtihad, maka merekapun pergi ke Iraq, mereka tahu bahwa beliau layak untuk menerima kekhilafahan. Beliau adalah orang yang paling utama di kalangan mereka, dan mampu untuk mengemban amanah ini. Namun ketika situasi kacau, lalu mereka menganggap bahwa mereka membenci beliau, dan mereka ingin menuntut pembunuhan Utsman Radhiyallahu anhu, maka mereka mengangkat senjata untuk membela agama dan memerangi para pemberontak yang telah membunuh Khalifah Utsman Bin Affan Radhiyallahu anhu, maka terjadilah apa yang telah terjadi, merekapun saling berperang dalam Perang Jamal, akhirnya umat Islam terpecah belah sampai saat ini.
Jika kita melihat peristiwa yang menakjubkan ini, maka kita akan mendapati bahwa Ali Radhiyallahu anhu tidak meminta jabatan khalifah, tidak memiliki ambisi terhadapnya, dan jabatan ini sebenarnya agak ia benci, namun para sahabat senior bersikeras untuk membai’at beliau. Para sahabat mengetahui akan keilmuan, kecerdasan, kesederhanaan, sikap wara’ dan taqwa beliau, mereka juga menghormati beliau karena posisinya dan senioritasnya, namun mereka tetap memerangi para pemberontak yang ada di dalam barisan pasukan beliau, beliau pun tetap menolak untuk memenuhi tuntutan mereka. Fitnah yang terjadi pada saat itu sangat dahsyat, peperangan sengit yang terjadi juga menyebabkan terbunuhnya orang-orang pilihan dari penduduk bumi, maka apalagi kita pada hari ini!!!
Ibnu Katsir dalam sirahnya menyebutkan sebuah riwayat yang memiliki jalur sanad yang baik, bahwa ketika Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu menerima jabatan kekhilafahan, beliau memandangi wajah para pembai’atnya, namun beliau tidak melihat Zubair dan Ali Radhiyallahu anhuma, maka beliau memanggil keduanya, menegur keduanya di depan umum karena keterlambatan mereka berdua, maka keduanya meminta maaf dan berbai’at. Beliau melakukan yang demikian itu mengingat karena posisi keduanya, dan agar kaum muslimin dapat bersatu, maka inilah fiqh dan ilmu dari para sahabat Radhiyallahu anhum.
Sesungguhnya bai’at yang terbatas hanya dari sebuah jamaah tidak mencukupi persyaratan tegaknya khilafah, akan tetapi ia haruslah mendapatkan bai’at dari Ahlul Halli wal Aqdi, dan mereka pada hari ini adalah para ulama terpercaya, para komandan jihad dan para pemuka umat ini, dan berkomunikasi dengan mereka sangat diperlukan dibandingkan dengan masa lalu.
Sebagian ulama meyakini bahwa kekhilafahan tidaklah sah kecuali dengan adanya bai’at dari lima orang, karena Umar Radhiyallahu anhu membentuk majelis syura dengan berjumlah 6 orang. Maka pada hari ini kekhilafahan tidaklah benar kecuali dengan mengikuti cara Umar Radhiyallahu anhu, membentuk majelis syura dengan 6 orang anggota, yang kesemuanya disepakati pendapatnya oleh kaum muslimin. Umar Al Faruq dan 6 orang lainnya adalah orang-orang yang mendapat kabar gembira berupa jaminan surga, semuanya adalah para sahabat senior, semuanya adalah para fuqaha dan para pembesar umat, semuanya pernah bertemu Nabi Muhammad SAW dan beliau ridha terhadap mereka dan semuanya adalah orang-orang yang diridhai oleh kaum muslimin. Proses pemilihan khalifah ini terjadi di ibukota khilafah, dan disaksikan oleh para sahabat beserta para senior dan pembesarnya. Jika kondisinya seperti ini, maka tidak diragukan lagi keabsahannya. Sedangkan jika pada hari ini ada 5 orang lelaki yang membai’at orang keenamnya sebagai khalifah – sebagaimana yang dilakukan oleh setiap jamaah khawarij – maka ini tidaklah sah.
Sesungguhnya urusan ini haruslah dijalankan oleh orang yang selalu keras dalam berusaha, memiliki sikap yang bijaksana, seorang negarawan, memiliki pengetahuan yang mumpuni, dan cakap dalam mengatur. Pekerjaan ini membutuhkan kesabaran dan mushabarah (lebih bersabar lagi), membutuhkan ijtihad dari para ulama dan para pemimpin umat agar menghasilkan instrumen yang dapat membantu pemilihan khalifah, dan juga membutuhkan kebersamaan, solidaritas dan musyawarah di antara kaum muslimin. Saya katakan kaum muslimin, bukan hanya para mujahidin karena khalifah tidaklah ditentukan untuk para pelaku jihad saja. Khilafah membutuhkan persiapan kekuatan dan pondasi, membutuhkan adanya negara beserta para politikusnya yang bijkasana, pintar dalam urusan kenegaraan dan cerdik akalnya. Maka urusan khalifah ini tidaklah senaif dan semudah ini, akan tetapi ia adalah urusan yang paling besar dan urgen terutama pada zaman kita ini.
Deklarasi khilafah artinya adalah menentang segala kekuatan kafir yang ada di muka bumi, yang bersepakat memerangi umat, dan ini haruslah ada persiapan kekuatan dan persatuan umat. Khalifah tidaklah eksklusif milik negara tertentu dari negara-negara kaum muslimin. Yang benar adalah seluruh negeri kaum muslimin haruslah menegakkan hukum Islam, lalu diangkatlah seorang wali yang membawahi negara-negara tersebut, dan semua kaum muslimin yang ada di setiap negara Islam mempercayainya dan memberikan kepadanya sikap wala’ dan ketaatan selagi tidak dalam kemaksiatan. Maka yang benar adalah imamah tidak boleh lebih dari satu dalam tubuh umat.
Tidak boleh ada seorangpun penguasa independen atas sebuah wilayah, semuanya harus berada di bawah naungan kekhilafahan, inilah yang benar dan praktek yang sesuai sengan nash-nash syariat. Namun ada beberapa ulama yang membolehkan independensi para penguasa untuk memimpin negeri – sebagaimana yang terjadi sekarang – maka ini menyelisihi nash-nash syariat di dalam al kitab dan as sunnah dan menyelisihi hakekat bahwa umat ini bersatu. Para ulama yang mengatakan demikian itu tidak lain hanya ingin membaguskan kondisi kehidupan umat ini, berapa banyak fatwa politik yang menyelisihi nash-nash syariat, yang muncul karena untuk menghindari kenyataan pahit yang dijalani umat saat ini?
Maka kita wajib merujuk kepada kitab Allah dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita tidak boleh merubah hukum-hukum syariat dengan menggunakan fatwa-fatwa pembenaran. Kita wajib mengamalkan Al Kitab dan As Sunnah sesuai dengan kemampuan kita. Terkadang kita terjebak dalam sebuah amalan dari amalan-amalan yang menyelisihi nash-nash karena hal-hal yang sifatnya darurat, namun alasan darurat ia tidaklah menyebabkan hukum syariat berubah, yang wajib akan tetap wajib hukumnya walaupun kita telah meninggalkannya, yang haram tetaplah haram walaupun kita mengerjakannya.
والله أعلم .. وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم ..
(aliakram/arrahmah.com)