JAKARTA (Arrahmah.com) – Tepat pekan ketiga berturut-turut, ibadah Sholat Jumat tidak dilaksanakan di Jakarta dan wilayah lainnya di Indonesia di tengah pandemi coronavirus (Covid-19).
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan pria muslim yang menggugurkan kewajiban sholat Jumat tiga kali berturut-turut di kala pandemi virus corona (Covid-19) tak lantas digolongkan kafir jika muslim bersangkutan menggantinya dengan melaksanakan salat zuhur di rumah.
Pria muslim yang tidak salat Jumat untuk menghindari wabah penyakit itu mengalami uzur syar’i atau segala halangan sesuai kaidah syariat Islam yang menyebabkan seseorang boleh untuk tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan kewajiban itu dengan kewajiban lain.
“Menurut pandangan para ulama fiqih, uzur syar’i untuk tidak sholat Jumat antara lain karena sakit atau karena khawatir mendapatkan sakit. Nah, dalam kondisi ketika berkumpul dan berkerumun itu diduga kuat akan terkena wabah atau menularkan penyakit, maka itu menjadi uzur untuk tidak Jumatan (sholat Jumat),” demikian keterangan Asrorun, Kamis (2/4/2020) malam seperti dikutip dari Antara.
Sementara, pria muslim yang meninggalkan sholat Jumat karena meremehkan atau mengingkari kewajiban Jumat tiga kali berturut-turut sebagaimana dinukil dari hadist shohih bisa dikategorikan kafir.
“Perlu disampaikan bahwa hadist yang menyatakan kalau tidak sholat Jumat selama tiga kali berturut-turut dihukumi kafir itu, jika mereka ingkar pada kewajiban Jumat,” tutur pria yang juga Dosen Pascasarjana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Asrorun mengatakan ada juga pria muslim yang tidak sholat Jumat karena malas. Mungkin pria muslim itu meyakini kewajiban Jumat, kata Asrorun, tapi tidak melakukannya sebab malas tanpa adanya uzur syar’i. Ganjarannya, sambung Asrosun, pria muslim itu berdosa atau ‘ashin (melakukan maksiat).
“Jika tidak Jumatan tiga kali berturut tanpa uzur, Allah juga mengunci mati hatinya,” kata dia.
Sebelumnya, bagi seseorang yang berada di kawasan yang potensi penularan wabah Covid-19 tinggi atau sangat tinggi, dibolehkan mengganti sholat Jumat dengan sholat dzuhur di rumah.
Fatwa itu dikeluarkan karena hingga kini pandemi Covid-19 masih belum bisa dikendalikan karena potensi penularan dan tingkat risiko penyebarannya masih tinggi.
“Karena itu, uzur untuk meninggalkan sholat Jumat masih ada,” tegas Asrorun.
Asrorun lalu mengutip kitab Asna Al-Mathalib yang menyebutkan orang yang terjangkit wabah lepra dan penyakit menular lainnya dicegah untuk berjamaah ke Masjid dan sholat Jumat, juga bercampur dengan orang-orang yang sehat.
Ia juga menyebut dalam kitab Al-Inshaf yang menyatakan uzur yang dibolehkan meninggalkan sholat Jumat dan jamaah adalah orang yang sakit.
“Hal itu tidak ada perbedaan pandangan di kalangan ulama. Termasuk uzur juga, apabila yang dibolehkan meninggalkan sholat Jumat dan jemaah karena takut terkena penyakit,” kata Asrorun merujuk pada kitab-kitab tersebut.
Oleh karena itu, kata dia, dapat disimpulkan bahwa kondisi wabah Covid-19 menjadikan uzur bagi pria muslim untuk tidak Jumatan. Pasalnya, saat wabah itu ada yang sakit, ada yang khawatir akan sakitnya, khawatir menularkan penyakit ke orang lain, serta ada orang yang khawatir tertular penyakit dari orang lain.
“Selama masih ada uzur, maka masih tetap boleh tidak Jumatan. Dan baginya tidak dosa. Kewajibannya adalah mengganti dengan shalat zuhur,” kata Asrorun.
Selain sakit, ada beberapa uzur syar’i lain yang dibolehkan meninggalkan sholat Jumat. Beberapa di antaranya hujan deras yang menghalangi menuju masjid, lalu karena adanya kekhawatiran akan keselamatan diri, keluarga, atau harta. Alasan-alasan tersebut juga membuat seseorang dibolehkan tidak sholat Jumat asal mengganti kewajibannya dengan salat dzuhur. (haninmazaya/arrahmah.com)