JAKARTA (Arrahmah.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam, membahas 14 isu krusial RUU KUHP pada Rabu (12/10/2022) di Aula Buya Hamka Kantor MUI, Jakarta.
Acara ini digelar sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi umat. MUI sendiri sebagai khadimul ummah (pelayan umat) menyampaikan beberapa masukan dan usulan yang diwakili oleh Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI, Neng Djubaedah.
“Mungkin untuk kesekian kalinya, MUI menyampaikan pendapatnya tentang hal ini (RKUHP), ” ujar akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu dalam penjelasannya.
“Pada intinya ada beberapa poin. 14 (poin) krusial yang disampaikan di media, itu yang kami juga setuju, tapi juga ada beberapa pasal yang kami tidak setujui bahkan kami minta supaya diubah dan dihapus, ” lanjutnya.
Poin pertama, mengenai pasal 2 KUHP tentang hukum adat. MUI, ungkap Neng Djubaedah, berusaha menyinergikan hukum adat dengan hukum Islam.
“Kita berusaha agar hukum adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat diterapkan bagi orang Islam. Apabila hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam, kewajiban adat itu diganti dengan pidana pengganti yaitu kategori 2 (berupa denda), itu mungkin masukan dari kami, ” jelasnya.
Kedua, mengenai pasal santet, MUI menegaskan agar pasal tersebut dihapus. Pasal itu dikhawatirkan menimbulkan fitnah kepada ulama yang oleh masyarakat setempat dipercaya dapat mengobati.
“MUI khawatir ulama tersebut justru dituduh sebagai tukang sihir, padahal dalam Surat Yunus ayat 57 dan Al-Isra’ ayat 82 ditegaskan bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh, ” ujar wanita yang kerap disapa Bunda Neng itu.
Ketiga, lanjut Bunda Neng, MUI setuju mengenai usul pemerintah terkait unggas yang merusak kebun atau lahan yang ditaburi benih. Hal ini terkait dengan hak seorang untuk mencari penghasilan melalui jalan beternak maupun bertani.
“Keempat, mengenai penodaan agama, MUI mengusulkan pasal ini tetap karena banyak muslim yang masih merasa tidak enak hati bila agamanya dinodai, ” ujarnya.
Kelima, lanjut dia, MUI menyetujui dengan syarat terkait pencegahan kehamilan dan pengguguran. Syaratnya adalah, alat tersebut hanya boleh digunakan oleh orang dewasa yang sudah terikat perkawinan. Syarat ini bertujuan mempersempit ruang kesempatan untuk zina.
Keenam, mengenai aturan penggelandangan, MUI mengusulkan agar dikembalikan pada frase yang dulu. Yakni di mana penggelandangan tidak hanya untuk orang bergelandangan yang mengganggu ketertiban umum melainkan juga mereka yang menggelandang secara sengaja melacurkan diri. Sebab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pelacuran adalah hal terlarang di Indonesia.
Ketujuh, terkait pengguguran kandungan, MUI dalam hal ini setuju tetapi ada perubahan. Terkait pengguguran kandungan dalam konteks korban perkosaan, sebisa mungkin dapat digugurkan dalam usia tidak lebih dari 40 hari atau 6 minggu. Karenanya, MUI mendorong bagi korban, agar sesegera mungkin untuk melapor supaya tidak merugi.
Kedelapan, terkait perzinaan, MUI mengusulkan pasal tersebut tetap, tetapi ada perubahan. Perubahan tersebut mengenai delik aduan. Bahwa orang yang berhak mengadu tidak hanya orang tua, anak, suami dan atau istri, melainkan juga perlu ada tambahan anggota masyarakat yang rasa keadilan dan rasa kesusilaannya terganggu, terutama misalnya aduan tokoh masyarakat setempat.
Kesembilan, terkait kohebitasi (kumpul kebo), MUI mengusulkan agar hukumannya diperberat. MUI menilai hukuman 6 bulan untuk kohebitasi, sementara pelaku zina dijerat satu tahun, itu akan membuat masyarakat lebih memilih melakukan kohebitasi daripada zina karena hukumannya lebih ringan.
Kesepuluh, tentang perbuatan cabul. MUI menyetujui aturan itu, tetapi dengan catatan. Menurut MUI, masih perlu adanya penjelasan mengenai kata “di muka umum” karena kata ini menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa orang yang harus dihukum ketika melakukan perbuatan cabul hanya mereka yang melakukannya di tempat umum. Maka, perlu dijelaskan maksud “di muka umum” mungkin adalah tempat yang bisa dilihat oleh orang lain dan seterusnya, masih harus ada penjelasan lebih detail.
Kesebelas, mengenai perkosaan, MUI mengusulkan agar pasal 6 tentang suami yang memaksa istrinya padahal istrinya sedang lelah dikategorikan sebagai pemerkosaan harus dicabut. Karena ini tidak sejalan dengan pesan Islam yang mengajarkan baik suami mau pun istri harus memenuhi nafkah batin pasangannya.
Kedua belas, mengenai pidana mati. MUI mengusulkan pasal ini tetap harus dipertahankan.
Ketiga belas, mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, MUI mengusulkan pasal ini tetap.
Keempat belas, soal dokter gigi tanpa izin praktek, MUI setuju pasal tersebut dihapus tapi masih harus ada sedikit perbaikan.
Kelima belas, mengenai Contempt of Court, MUI setuju karena bagaimanapun hakim harus dihormati dan dimuliakan. MUI menilai ini sejalan dengan hadis Nabi bahwa ketika hakim berijtihad, kalau benar mendapatkan dua pahala, dan kalau salah tetap mendapatkan satu pahala.
Keenam belas, mengenai advokat yang curang, MUI melihat pasal tersebut boleh dihapus atau diganti pasal lain.
Selain poin-poin di atas, MUI juga menambahkan usulan tentang persetubuhan menyimpang yang belum ada hukum pidananya. Beberapa contohnya antara lain persetubuhan dengan mayat, binatang, anal seks, lesbian, biseksual, maupun homosektual.
“MUI berusaha agar setiap pasal yang ada di dalam undang-undang RUU KUHP itu adalah sesuai agar sesuai dengan hukum Islam. Mari kita bersama-sama berusaha agar nilai agama Islam tetap bertahan di RUU KUHP dengan memberikan masukan kepada pemerintah maupun DPR, ” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)