(Arrahmah.com) – Mimbar At-Tauhid Wal Jihad merilis penjelasan Syaikh Al Husaini yang berisi pembelaan kepada orang-orang yang arif di Yaman, dan orang-orang yang terhormat di Libya, serta penolakan terhadap kekhilafahan Abu Bakar Al Baghdadi.
Penjelasan ini sebenarnya merupakan jawaban atas pertanyaan seorang ikhwah di Libya kepada Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi sebelumnya, namun perincian dan pendalaman atas jawaban tersebut dirasa perlu dituangkan dalam tulisan ini karena peristiwa yang ada bergulir begitu cepat dengan tujuan untuk menjaga barisan mereka yang mungkin akan dikoyak dan dipecahkan.
Dalam surat itu, ikhwah tersebut menyampaikan bahwa beberapa ikhwah asal Iraq dari Tanzhim Daulah, atau kelompok Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, mendatangi para ikhwah di Libya dan mereka mengajak untuk berbai’at kepada Al Baghdadi sebagai seorang khalifah.
Sang ikhwah juga menjelaskan telah diketahui bersama bahwa Anshar Syariah yang ada di Kota Derna dan Benghazi sebelumnya telah berbai’at kepada Syaikh Ayman Azh Zhawahiri Hafizhahullah, namun para ikhwah dari Iraq itu mendatangi Anshar Syariah di Derna dan meminta mereka agar membai’at Al Baghdadi, dan para ikhwah Anshar Syariah mengatakan agar memberikan tenggang waktu 2 hari kepada mereka untuk memusyawarahkan hal ini.
Ia pun lantas bertanya, “Apakah mereka boleh membatalkan bai’at kepada Syaikh Ayman tanpa ada perintah resmi, lalu membai’at Al Baghdadi sebagai seorang khalifah?” Berikut terjemahan penjelasan lengkap Syaikh Abdullah bin Ahmad Al Bin Al Husaini Hafizhahullah atas pertanyaan tersebut yang dipublikasikan oleh Muqawamah Media pada Kamis (18/12/2014).
بسم الله الرحمن الرحيم
PEMBELAAN SYAIKH AL HUSAIN KEPADA ORANG-ORANG YANG ARIF DI YAMAN, DAN ORANG-ORANG YANG TERHORMAT DI LIBYA, SERTA PENOLAKAN TERHADAP KEKHILAFAHAN AL BAGHDADI
Oleh: Syaikh Abdullah bin Ahmad Al Bin Al Husaini Hafizhahullah
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah, Ya Allah, bershalawatlah atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi Termulia. Ya Allah, berkahilah atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkahi atas keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Terpuji lagi Termulia, wa ba’du:
Sebenarnya tulisan ini adalah jawaban atas pertanyaan seorang ikhwah di Libya, berikut ini adalah pertanyaan tersebut:
“Wahai Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi, Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, wa ba’du:
Ada beberapa ikhwah asal Iraq yang mendatangi kami para ikhwah di Libya, mereka berasal dari Tanzhim Daulah dan mereka mengajak untuk berbai’at kepada Al Baghdadi sebagai seorang khalifah, sudah ada satu kelompok mujahidin di Kota Derna yang menerima ajakan tersebut, namanya adalah Majlis Syura Syabab Islam. Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, Anshar Syariah yang ada di Kota Derna dan Benghazi sebelumnya telah berbai’at kepada Syaikh Ayman Azh Zhawahiri Hafizhahullah, namun para ikhwah dari Iraq itu mendatangi Anshar Syariah di Derna dan meminta mereka agar membai’at Al Baghdadi, namun para ikhwah Anshar Syariah mengatakan agar memberikan tenggang waktu 2 hari kepada mereka untuk memusyawarahkan hal ini. Apakah mereka boleh membatalkan bai‘at kepada Syaikh Ayman tanpa ada perintah resmi, lalu membai‘at Al Baghdadi sebagai seorang khalifah?
Saya sendiri sudah berbai’at kepada kelompok yang bernama Katibah Asy Syuhada Busalim, sebuah kelompok yang beraksi demi memperjuangkan agama Allah dan menegakkan hukum Allah di muka bumi. Para ikhwah dari Iraq itu telah mendatangi kelompok kami, dan para ikhwah pengurus mengatakan kepada mereka, beri kami waktu selama beberapa hari. Jadi apakah Anda mau memberikan nasehat kepada para ikhwah di Libya mengenai hal ini, yaitu mengenai pembai’atan kepada Al Baghdadi sebagai seorang khalifah? Padahal Anda beserta para masyayikh jihad lain yang kami anggap bahwa mereka sangat ingin agar agama ini tetap selamat telah menjelaskan bahwa Al Baghdadi bukan seorang khalifah. Sehingga katakanlah kelompokku berbai’at kepada Al Baghdadi, apakah saya harus memperbaharui bai’at atau membatalkannya? Saya mengharapkan jawaban dari syaikh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena urusannya sangat mendesak sekali, semoga Allah memberkahimu, wa as salamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.“
Namun karena peristiwa-peristiwa yang ada bergulir dengan cepat, kami merasa harus merinci dan memperdalam jawaban ini di dalam sebuah tulisan.
Pertanyaan ini mengingatkan saya akan utusan-utusan dan surat-surat dari Al Baghdadi yang sampai kepada Anshar Syariah di Yaman untuk meminta bantuan finansial sehingga mereka dapat terus eksis di lapangan, dan pada hari ini mereka mengembalikan uang tersebut kepada Anshar Syariah melalui utusan yang membawa uang berkoper-koper, tujuannya adalah menggoda para prajurit Anshar Syariah agar mau membelot dan memecah belah barisan.
Kemudian amma ba’du:
Pertama-tama saya ingin mencatat satu hal, ada beberapa negeri yang di dalamnya ahlus sunnah sudah terlebih dahulu melakukan pengorbanan dan berjihad dengan gagah berani, dan termasuk golongan awal dalam melakukan kebaikan, mereka adalah kaum ahlus sunnah di Libya dan di Yaman, dua negeri ini telah lama berjihad dengan penuh keberkahan dan kebaikan, serta sudah banyak menelurkan para komandan dan para penuntut ilmu pilihan. Sehingga keberkahannya menyebar di seluruh dunia bagaikan mentari yang menyinari bumi. Jadi seharusnya orang-orang yang senior dan terhormat itu harus menyadari kesenioran dan kehormatannya, bukannya menolak kehormatan mereka dengan memecah belah barisan mereka dan menciptakan perselisihan di antara mereka.
Sebagai pemberitahuan kepada orang-orang pilihan tersebut, tujuan saya menulis tulisan ini adalah untuk menjaga barisan mereka yang ingin dikoyak dan dipecahkan oleh Al Baghdadi, serta untuk menjaga cahayanya yang ingin ditiup hingga mati oleh mulut-mulut simpatisannya.
Tulisan ini ditujukan kepada kalangan pejuang di Libya, Yaman dan selain mereka yang tengah dibingungkan oleh permasalahan khilafah, saya akan memulainya dengan meminta kepada Allah Azza wa Jalla agar menunjuki hati yang terkunci dan membuka telinga yang tuli.
Saya katakan: sebenarnya hal paling besar yang mampu dirampas oleh seseorang adalah pemahaman dan fiqh yang benar, namun yang paling besar dari itu adalah (ketika seseorang memiliki) pemahaman dan fiqh yang terbalik, (karena orang dengan pemahaman yang terbalik), pertama ia tidak bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk, kedua ia akan mengedepankan hal yang buruk dari pada yang baik. Inilah bencana yang tengah menguji umat, umat membuahkan fikiran berdasarkan pemahamannya yang terbalik.
Lalu bagaimana dengan orang yang memiliki secuil ilmu, kemudian ia mendahulukan orang yang majhul(orang yang tidak dikenal) dari pada orang yang maklum (kebalikan dari majhul), serta mengutamakan orang yang majruh (istilah dalam ilmu hadits; orang yang tedapat cacat dalam kredibilitasnya – red.) dari pada orang yang terbukti adil dan tsiqqah?!!
Catatan Penulis :
Adil di sini maksudnya adalah “Al ‘Adalah” yang terdapat di dalam terminologi ilmu hadits yang artinya: “bercakap benar, jelas dan jujur, menjauhi yang haram, memelihara diri dari dosa, menjauhi syubhat, dan sebagainya.” Al Mawardi.
Bagaimana bisa kekhilafahan yang dipimpin oleh seorang majhul ini bisa diterima?!! Sedangkan ia diangkat oleh orang-orang yang mubham (istilah dalam ilmu hadits; secara bahasa artinya ‘orang yang tidak jelas’ – red.). Saya tidak mengatakan bahwa mereka (yang mengangkat orang ini sebagai khalifah – red.) adalah majhul ‘ain dan majhul hal, ia diangkat sebagai khalifah di sebuah negeri yang kekuasaannya belum tegak, dan di atas sebuah bangunan yang belum sempurna!!
Bagaimana bisa segelintir orang yang majhul dan mubham, baik sosoknya maupun namanya, baik kepribadiannya maupun kondisinya ini mau mendominasi umat secara keseluruhan baik itu tua maupun muda, ulama maupun para komandan?
Bagaimana bisa umat yang tersebar mulai dari timur ke barat dan sudah ada sejak 13 abad yang lalu ini ingin dipimpin oleh seorang khalifah yang tidak dikenal dan tidak jelas asal-usulnya tanpa ada musyawarah maupun penerimaan dari umat?
Bahkan tidak ada yang tahu nama dan sosoknya kecuali orang-orang yang majhul hal dan majhul ‘ain, atau orang yang keadilan dan kredibilitasnya di-majruhkan, serta orang yang tidak pernah bertemu dengannya apalagi mengerti keadaannya.
Apabila permasalahannya hanya berhenti sampai keadaan Al Baghdadi yang tidak jelas, tentu saja ini menjadi permasalahan yang remeh dan kecil. Akan tetapi ini permasalahan yang besar karena orang-orang yang mengangkatnya sebagai khalifah adalah orang-orang yang mubham, mereka menghadiahinya jabatan mulai dari amir, kemudian mereka menaikkan pangkatnya menjadi seorang khalifah!!
Abu Ayyub As Sikhtiyani berkata mengenai orang-orang semisal mereka, “mereka ingin menipu Allah sebagaimana mereka menipu anak kecil.” Bencana apa ini? Ejekan dan cemoohan apa yang mereka lontarkan ini? Dengan cemoohan dan rekayasanya, mereka telah menghina syiar agama yang lurus ini.
Bagaimana bisa seseorang menentukan orang-orang yang majhul dan mubham itu sebagai Ahlul Halli wal Aqdi, kemudian mereka mengangkat orang tadi sebagai khalifah yang memimpin semua kaum muslimin? Setelah itu ia memilih beberapa orang supaya menjadi pengurus urusan kaum muslimin!!
Apakah akan ada lagi yang akan tertipu dengan kekonyolan mereka ini selain para hudatsa’ asnan, atau parasufaha’ ahlam, atau kalangan sumbu pendek yang terbuai dengan ketergesaan dan rayuan mereka yang terang-terangan telah membenarkan kedustaan dan melakukan pelanggaran?
Apapun itu, demi melepaskan tanggung jawab, memperjelas beberapa hal yang sebenarnya sudah jelas dan menyimpulkan permasalahan ini, maka saya katakan:
Sesungguhnya syariat yang lurus ini telah memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Ahlul Halli wal Aqdi.
Jadi di mata syariat, tidak ada seorang pun yang berhak menerima jabatan-jabatan tadi kecuali ia telah memenuhi syarat-syarat syar’i yang sesuai dengan apa yang ditunjuk oleh nash-nash syariat dan apa yang diwajibkan oleh para ulama.
Di antara syarat-syarat tersebut ada yang diperoleh berdasarkan ijma’ dan ada pula yang diperoleh berdasarkan jumhur para ulama yang dikuatkan oleh dalil tanpa ada pengurangan. Jadi meremehkan syarat-syarat yang dihasilkan dari nash-nash syar’i dan tidak mengganggapnya penting sama saja berpaling dari syariat yang lurus serta mengikuti hawa nafsu yang mematikan.
Sedangkan orang-orang yang majhul dan mubham, maka mereka tidak akan mampu memenuhi syarat-syaratnya dan menyingkirkan segala rintangannya, para ulama dan para pemikir telah bersepakat bahwa orang yang majhul tidak akan hilang kemajhulannya oleh kesaksian dari majhul lainnya, atau orang yang bodoh, ataupun orang yang muttahim, ataupun identitas yang tidak diketahui.
Jahalah (ketidak jelasan) pada diri Al Baghdadi dan Ibham (kesamaran) pada majelis Ahlul Halli wal Aqdi-nya tidak akan hilang dengan metode orang-orang yang tidak populer serta asas-asas dan acuan-acuan bikinan para pemuda yang bodoh, metode yang digunakan haruslah metode ahli ilmu dan ahli hadits, dan acuan yang digunakan haruslah acuan syariat yang lurus.
Jadi berdasarkan kesimpulan dari kaedah-kaedah yang digunakan oleh para ulama terkemuka, maka saya katakan bahwa paling tidak Al Baghdadi adalah orang yang majhul ‘ain, sedangkan Ahlul Halli wal Aqdi yang mengesahkannya adalah orang-orang yang mubham.
Ahli hadits membagi orang-orang yang majhul menjadi beberapa bagian:
Pertama: Al Mubham, yaitu seseorang yang tidak pernah disebutkan namanya di dalam riwayat hadits, seperti seseorang yang dikatakan di dalam sebuah riwayat: “Haddatsaniy Rajulun” (seorang lelaki menceritakan kepada saya).
Imam Al Amidi berkata:
“Barangsiapa namanya tidak disebutkan maka ia mubham, seperti perkataan, “Haddatsaniy Rajul” dan“Haddatsani Ats Tsiqqah” (Seorang yang tsiqqah telah menceritakan kepada saya), maka ia (orang yangmubham ini) masuk ke dalam kategori jahalah ‘ain, sehingga konsekuensinya adalah periwayatannya tidak diterima.” [Al Ihkam Fie Ushul Al Ahkam: 2/78]
Kedua: Majhul ‘ain, Al Khathib Al Baghdadi mendefinisikannya sebagai:
“Setiap orang yang dikenal tidak suka menimba ilmu dan tidak ada ulama yang mengenalnya begitu. Dan juga seseorang yang tidak diketahui pernah meriwayatkan hadits, kecuali satu jalur periwayatan saja.”
Sedangkan definisi dari Ibnu Hajar adalah:
“Siapa saja yang tidak ada seorang pun pernah meriwayatkan hadits darinya kecuali satu orang, dan orang yang tidak diketahui ketsiqqahannya.”
Al Amidi berkata:
“Adapun majhul ‘ain, maka ia adalah seorang yang namanya diketahui, namun hanya satu riwayat yang pernah ia riwayatkan.” [Al Ihkam Fie Ushul Al Ahkam: 2/278]
Imam As Sakhawi berkata:
“(Majhul ‘ain) ia adalah seperti yang dikatakan oleh tidak hanya satu orang: orang yang hanya meriwayatkan satu hadits saja.” [Fathul Mughits: 1/316]
Ketiga: Majhul hal, Al Amidi berkata:
“Menurut pendapat madzhab Asy Syafi’i, Ahmad bin Hanbal serta kebanyakan ahli ilmu, majhul hal adalah orang yang riwayatnya diambil oleh dua orang atau lebih, dan ia belum terbukti ketsiqqahannya, ia dijuluki sebagai mastur (orang yang tertutupi)” [Al Ihkam Fie Ushul Al Ahkam: 2/78]
Menurut definisi dari Imam As Sakhawi, majhul hal adalah:
“Orang yang tidak pernah terkena Jarh maupun Ta’dil.”
Keempat:
Al Mastur: di antara para imam ada yang menggolongkan kategori keempat ini ke dalam majhul hal, di antara mereka ada juga yang mengatakan bahwa mastur adalah orang secara zahir tampak keadilannya, namun tidak ada yang tahu mengenai keadilannya secara batin.
Namun ada beberapa imam yang mempermudah dalam urusan menghilangkan status jahalah seseorang:
Abu Hassan Al Qathan berpendapat bahwa jahalah al hal dari seorang perawi dapat dihilangkan oleh kesaksian seorang imam ahli jarh kepadanya, sedangkan Ibnu Hajar menerima periwayatan seorang majhul ‘ain apabila ia dianggap tsiqqah oleh orang yang dekat dengannya.
As Sakhawi berkata:
“Ibnu Abdil Barr berkata: yang saya katakan adalah, orang yang dikenal ketsiqahannya, keamanahannya dan keadilannya, maka tidak ada masalah dengannya meskipun tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu orang saja, contohnya adalah perkataan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi Al Hafizh: periwayatan yang hanya satu tidak akan menghilangkan cap jahalah dari seorang perawi, kecuali apabila ia terkenal di sukunya, atau ada orang lain yang mengambil riwayat darinya.” [Fathul Mughits: 1/318]
Sedangkan Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah sebagaimana yang diketahui, keduanya memiliki pendapat yang menyelisihi ahlul jarh wa at ta’dil, keduanya beranggapan bahwa jahalah bisa dihilangkan dengan satu periwayatan yang masyhur, namun pendapat ini ditolak.
Saya katakan: ini semua adalah acuan dari mereka mengenai tatacara menghilangkan status jahalah dari para perawi dan para pembaca hadits, tujuannya adalah menjaga salah satu cabang dari syariat yang lurus ini, yang mana bisa saja ia dirusak melalui periwayatan yang tidak diketahui.
Lalu bagaimana dengan mereka jika harus menghadapi syarat-syarat pembersihan nama baik dan menghilangkan cap jahalah dari seorang imam yang diserahi tugas mengendalikan dunia, melindungi agama dan menjaga wilayah kaum muslimin?!
HUKUM PERIWAYATAN DARI ORANG-ORANG YANG MAJHUL:
As Sakhawi berkata:
“kebanyakan ulama menolak periwayatan dari perawi majhul ‘ain secara mutlak.” [Fathul Mughits: 1/320]
As Sakhawi berkata dengan mengambil dari perkataan Ibnu Al Mawwaq:
“Yang saya ketahui, tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam hadits dalam masalah menolak perwai majhul yang tidak pernah memberikan riwayat hadits kecuali kepada satu orang, namun di kalangan Hanafiyyah terdapat perbedaan pendapat.” [Fathul Mughits: 1/320]
Dikarenakan Al Hazimi memiliki posisi yang terpandang di mata para pendukung Daulah, maka saya akan menukil perkataannya mengenai orang-orang yang majhul di dalam bab: ‘Dari Mulutmu, Saya Mempercayaimu.’ Al Hazimi berkata:
“Periwayatannya (maksudnya orang yang majhul ‘ain) tidak diterima berdasarkan jumhur ulama, dan ini adalah pendapat yang shahih”.
Al Hazimi sendiri mendefinisikan majhul ‘ain sebagai:
“Siapa saja yang tidak pernah memberikan periwayatan kecuali kepada satu orang, ia dinamakan majhul ‘ainmaksudnya adalah: sosoknya tidak diketahui.. ia tidak dikenal..”
Al Amidi berkata:
“Madzhab Syafi’i, Ahmad bin Hanbal serta kebanyakan ahli ilmu berpendapat bahwa riwayat perawi yangmajhul hal tidak diterima, harus ada pengawasan mendalam terhadap keadaannya dan pengetahuan akan tingkah lakunya, serta mengupas rahasianya, atau pengakuan baik dari orang yang dikenal keadilannya dan ia men-ta’dil (si perawi majhul.)” [Al Ihkam Fie Ushul Al Ahkam: 2/90]
Abdullah bin Awn berkata:
“Kami tidak menulis hadits kecuali kepada orang yang kami kenal sebagai penuntut ilmu.”
Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:
“Kami tidak menerima kabar dari orang yang tidak kami kenal, begitu pula kami tidak menerima kabar dari orang yang belum kami ketahui kejujuran dan amalan baiknya.”
Al Baihaqi berkata:
“Tidak boleh ber-hujjah dengan kabar-kabar (hadits) dari para perawi yang majhul.”
Adz Dzahabi berkata:
“tidak ada hujjah dari siapa saja yang ‘adalah– nya tidak diketahui dan jahalah-nya tidak sirna.”
Ibnu Rajab berkata:
“Zahir dari perkataan Imam Ahmad adalah, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang majhul hal, maka haditsnya tidak shahih dan tidak bisa dijadikan hujjah.”
Semua yang saya jabarkan di atas adalah apabila seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang majhulyang tsiqqah, adapun apabila si perawi meriwayatkan hadits dari seorang majhul yang majruh – sedangkan keadaan Al Baghdadi serta Ahlul Halli wal Aqdi-nya seperti ini – maka para muhaddits bersepakat bahwa haditsnya ditolak.
HUKUM MUBHAM DAN MAJRUH YANG MEMBERIKAN PERIWAYATAN KEPADA SEORANG YANG MAJRUH PULA
Seperti sebelumnya, jumhur ulama bersepakat untuk menolak hadits dari orang yang majhul kemudian orang yang tsiqah mengambil riwayat darinya, akan tetapi mereka tidak berbeda pendapat dalam menolak hadits yang dari orang yang majhul atau mubham kemudian orang yang majruh mengambil riwayat darinya.
As Sakhawi berkata:
“Adapun para perawi majhul yang hadits-hadits mereka hanya diriwayatkan oleh perawi-perawi lemah, maka mereka harus ditinggalkan, dan seperti perkataan Ibnu Hibban; (harus ditinggalkan) dalam keadaan apapun.” [Fathul Mughits: 1/321]
As Sakhawi melanjutkan:
“Bahkan zahir dari perkataan Ibnu Katsir adalah beliau bersepakat dengan pendapat ini, di mana beliau berkata: perawi yang mubham adalah perawi yang tidak ada namanya, atau ada namanya tetapi sosoknya tidak dikenal, maka jangan ada satupun yang menerima riwayatnya. Benar, beliau berkata: karena jika pada masa tabi’in dan abad-abad yang kebaikan orang-orangnya dikenal, maka hadits mereka didengar dan dijadikan pedoman, sebagaimana diceritakan bahwa ada orang yang membantah suatu hujjah dengan menggunakan hadits mursal.”[Fathul Mughits: 1/320]
Berdasarkan apa yang telah dijabarkan di atas, maka jelas bahwa jahalah ‘ain tidak sirna dari diri Al Baghdadi, bahkan berdasarkan definisi dari jumhur, ia belum mencapai tingkatan perawi majhul ‘ain.
Karena tidak ada yang men-tsiqahkan Al Baghdadi kecuali orang-orang yang majhul atau orang-orang yang keadilannya di-jarh, yang mana tangan mereka berlumuran dengan darah ahlus sunnah wal jamaah, bahkan belum ada bukti bahwa ia di-tsiqahkan oleh seorang penuntut ilmu yang kredibilitasnya diakui apalagi di-tsiqahkan oleh orang yang terkenal adil, apalagi di-tsiqahkan oleh seorang ulama yang terpandang.
Adapun Ahlul Halli wal Aqdi Al Baghdadi, maka mereka tetap tidak keluar dari kategori mubham.
Merupakan kewajiban syar’i, berita dari mereka tidak boleh diterima, dan periwayatan dari mereka mesti ditolak, bahkan sekedar menganggukkan kepala tidak pantas diberikan pada mereka, apalagi merima kesaksian mereka, dan terlebih menerima mereka sebagai ulil amri (penguasa sah) atau sebagai ahlul hal wal aqdi (majelis Ulama yang diakui umat) untuk mengurusi urusan kaum muslimin.
Saya katakan: periwayatan dan kesaksian mereka ditolak apabila kita menganggap mereka hanya sebatasmajhul dan mubham, lalu bagaimana jika menerapkan kesaksian orang-orang yang adil dan tsiqqah terhadap mereka dan kita mengedepankan periwayatan para ulama dan pemimpin yang terkenal yang menolak periwayatan orang yang majhul?
Jadi yang kami lakukan adalah membiarkan para lawan dengan mengacuhkan perkataan para ulama mengenai mereka, jika kami tidak melakukan ini, maka sebenarnya Al Baghdadi tidak dicap sebagaimajhul ‘ain, akan tetapi ia dicap sebagai majruh dimana para imam dakwah di zaman ini tidak berbeda pendapat akan ke-majruhannya.
Syaikh Al Maqdisi telah men-jarhnya, Syaikh Ulwan men-jarhnya, sang Hakimul Ummah Azh Zhawahiri men-jarhnya, Syaikh Abu Qatadah men-jarhnya, bahkan ia di-jarh oleh orang yang dahulu mendukungnya, yaitu Hani Siba’i dan Al Wuhaisyi, begitu pula Abu Mush’ab Abdul Wadud dan lainnya, serta para ulama dan para pemimpin lain.
Indikasi-indikasi yang ada telah membuktikan apa yang para ulama itu tunjukkan. Ia banyak memerangi saudara-saudara se-manhajnya di Iraq, yang saya maksud Anshar Islam, kemudian banyak memerangi para mantan pengikut mereka, yaitu Jabhah Nushrah, bahkan ia tidak membiarkan satupun faksi di Syam, kecuali ia perangi dan ia rampas hartanya, Dan lagi, ia berkelit dari upaya tahkim dengan syariat Allah bersama faksi-faksi yang ada, semua indikasi ini sangat jelas menunjukkan akan kecacatannya secara syar’i.
Sedangkan Ahlul Halli wal Aqdi yang mengangkat Al Baghdadi, maka dalam kondisi terbaik, mereka dicap sebagai mubham, mereka diberikan kesaksian bagus oleh orang-orang yang di-jarh, dan mereka dikabarkan telah mengangkat Al Baghdadi sebagai khalifah bagi kaum muslimin.
Apa yang saya katakan ini adalah kondisi terbaik mereka, jika tidak maka sebenarnya mereka adalah orang-orang yang majruh, karena dengan arahan dari pimpinannya, mereka banyak menumpahkan darah para mujahidin dan kaum muslimin yang awam, pimpinan mereka sendiri seringkali menghindari dari mengembalikan tanggung jawab, mencegah pertumpahan darah dan tunduk kepada syariat Allah, seperti yang disaksikan oleh orang-orang yang tsiqqah dan adil, yang saya maksud adalah Syaikh Al Maqdisi dan lainnya yang dahulu dipuji-puji oleh Daulah dan dimintai kerelaan oleh para pemimpinnya, namun ketika mereka mengomentari Daulah dengan apa yang menjadikannya marah, Daulah pun mencaci-maki mereka dengan lidah yang tajam, yang saya maksud mereka di sini adalah Syaikh Ayman Azh Zhawahiri dan Al Muhaisiny.
***
SYUBHAT: AL BAGHDADI TELAH DIPUJI OLEH SANG HAKIMUL UMMAT (SYAIKH AYMAN AZH ZHAWAHIRI)
Ia dipuji oleh Syaikh Azh Zhawahiri di dalam pidato umum yang beliau sampaikan, yang benar adalah pujian tersebut ditujukan kepada masa lalunya, bukan apa yang akan terjadi setelahnya. Oleh karena itu, pernyataan Umar bin Khattab bahwa Ibnu Muljam tsiqah tidak berlaku, karena keadaannya telah menjadi rusak di periode akhir hidupnya, dan kerusakan itu tidak akan bisa memaafkan periode yang baik dalam hidupnya.
Catatan Redaksi :
Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap Ibnu Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, Ibnu Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.
Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri’. Dia mengajarkan Al-Qur’ân kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah ‘Umar bin al Khattab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khalifah ‘Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur’ân di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, ‘Amr bin al-‘Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qâri.
Dalam surat balasannya, ‘Umar menulis: “Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shâlih, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Qur’ân kepada masyarakat”.
Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri’, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawârij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh ‘âthifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.
MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP ‘ALI BIN ABI THALIB
Inilah salah satu keanehan Ibnu Muljam yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij – ‘Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin ‘Abdillah at-Tamîmi dan ‘Amr bin Bakr at-Tamîmi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.
Peristiwa peperangan Nahrawân sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?”
Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al ‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum, dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.
Rencana Ibnu Muljam untuk membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.
Dikisahkan, adalah Fithâm nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati Ibnu Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu’minin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.
Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya. Katanya, “Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh ‘Ali”. Syarat ini terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardân untuk mewujudkan rencana jahat itu.
Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja’i. Katanya,“Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, maka Syabîb menampiknya. Karena ia mengetahui, ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan ‘Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah ‘Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.
Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H . Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan ‘Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu ‘Ali, Mu’awiyyah, dan Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu’minin ‘Ali bin Thâlib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun menciderai ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan pedangnya pada bagian pelipis ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berseru: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai ‘Ali)”, lantas ia membaca ayat :”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. [al Baqarah :207].
Mendapat serangan ini, Amirul-Mu’minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardân, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri.
AKHIR KEHIDUPAN IBNU MULJAM
Ketika Amirul-Mu’minin ‘Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: “Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan (su’ul khâtimah). Dia membunuh Amirul-Mu’minin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan dan keselamatan bagi kita”. [Mizânul-I’tidâl, Abu ‘Abdillah Muhammad adz-Dzahabi]
Berbeda dengan anggapan kalangan Khawârij. Di tengah mereka, Ibnu Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari ‘Imrân bin Haththân. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawârij, menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia merangkai bait-bait sya’ir sebagai pujian yang ditujukan kepada Ibnu Muljam:
Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan…
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi…
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya…
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah…
Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na’ûdzu billahi min dzâlik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu Muljam telah melepaskan “ruh ilâhi” dari tanah.
SYUBHAT: KEBAIKAN ORANG INI (AL BAGHDADI) TERBUKTI DARI UJIAN DAN SERANGAN YANG IA TERIMA DARI KAUM RAFIDHAH, MURTAD, DAN SALIBIS
Saya katakan kebaikannya akan dianggap apabila pedangnya bersih dari darah kaum muslimin dan ia tidak merampas harta mereka.
Apabila hanya dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan penerima sedekah saja sudah dapat menghilangkan pahala taqarrub seseorang sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala berikut ini:
لَا تُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ
“janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)….” [Qs. Al baqarah: 264]
Lalu bagaimana halnya ketika engkau membunuh jiwa yang beriman, yang mana tidak ada dosa yang lebih besar di sisi Allah setelah syirik, kecuali dosa ini. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dari NabiShallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَوْلُ الزُّورِ أَوْ قَالَ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
“Dosa paling besar diantara dosa besar ialah menyekutukan Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, ucapan dusta, atau beliau mengatakan; persaksian dusta.” [Muttafaq Alaihi]
Tidak ada dosa setelah syirik, yang mana Allah mengancam pelakunya dengan kekal di dalam neraka, kemurkaan, laknat dan adzab kecuali membunuh orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمٗا ٩٣
“dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”[Qs. An Nisa’: 93]
Sedangkan Al Baghdadi banyak membunuh kaum muslimin sehingga ia menjelma menjadi seorang perusak. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah menyamakan dosa ini dengan dosa terbesar dan terdahsyat di sisi Allah, yaitu mengaku nabi, di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
سَيَكُوْنُ فِي ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ
“Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak.”
Ibnu Qayyim berkata:
“apabila (seseorang) ditanya, bagaimana bisa dosa selain riddah dapat menghapus amalan?
Maka jawabannya adalah: bisa saja, dan itu dijelaskan oleh Al-Quran, As Sunnah dan perkataan para sahabat, bahwa keburukan menghapus kebaikan, sebagaimana kebaikan dapat menghilangkan keburukan, Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)….” [Qs. Al baqarah: 264]
Allah juga berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ ٢
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” [Qs. Al Hujuraat: 2]
Aisyah pernah berkata kepada Ummu Zaid bin Arqam:
“Sampaikanlah kepada Zaid, bahwa ia telah menggugurkan nilai jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila ia tidak bertobat – karena ia telah melakukan jual beli ‘inah – “.
Imam Ahmad telah mengomentari perkataan ini dengan berkata:
“Pada zaman ini, seorang hamba harus mempelajari agama dan menikah, agar ia tidak menoleh kepada hal-hal yang tidak halal baginya, akibatnya amalannya akan terhapus.”
Ayat-ayat muwazanah di dalam Al-Quran menunjukkan tentang itu. Sebagaimana keburukan dapat menghapuskan kebaikan yang lebih besar darinya, maka pahala kebaikan juga dapat menghapuskan keburukan yang lebih besar darinya.”
Kemudian kesabaran dalam menjauhi kemaksiatan menurut pandangan para ulama, lebih baik dari pada kesabaran dalam menjalankan ketaatan, di dalam Kitab Thariq Al Hijratain karya Ibnu Qayyim disebutkan:
“Ada perbedaan pendapat, di manakah di antara dua sabar berikut ini yang paling utama; sabarnya seorang hamba dalam menghindari kemaksiatan, ataukah kesabaran dalam menjalani ketaatan? Satu kelompok menguatkan (jenis kesabaran) yang pertama dengan alasan: sabar dalam menjauhi maksiat merupakan tugas orang-orang yang jujur, sebagaimana yang disampaikan oleh sebagian salaf: perbuatan baik dilakukan oleh orang yang baik maupun orang yang fajir, namun tidak ada yang mampu untuk meninggalkan maksiat kecuali orang yang jujur. Mereka (para salaf) melanjutkan: dan juga karena dosa orang yang mengajak kepada kemaksiatan lebih besar dari orang yang mengajak untuk tidak taat. Wallahu a’lam.”
Abu Laits As Samarqandi berkata:
“Di dalam kitab Allah terdapat dalil bahwa meninggalkan maksiat lebih utama dari pada mengerjakan amalan sebagai bentuk ketaatan, karena di dalam hal kebaikan, Allah Ta’ala mensyaratkan seseorang untuk melakukannya hingga akhir waktu, sedangkan dalam hal dosa, Allah tidak mensyaratkan apapun kecuali meninggalkannya. Allah Ta’ala berfirman:
مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya…” [Qs. Al An’am: 160]
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ ٤١
“dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” [Qs. An Nazi’aat: 40-41]”
Menetap bersama para pelanggar syariat lebih baik dari pada memerangi mereka dan membunuhi orang yang baik maupun pelaku dosa. Di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, NabiShallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barang siapa yg menyerang umatku dan membunuh orang yang baik serta pelaku dosa dan tak menjauhi orang mukminnya serta tak menepati janji orang yang memiliki janji maka ia bukan dari golonganku, dan barang siapa yang berperang dibawah bendera ketidak jelasan dan menyeru kepada kefanatikan atau marah karena fanatik kemudian terbunuh maka terbunuhnya adalah terbunuh secara jahiliyah.” [HR. Muslim]
Makna dari hadits di atas difahami dengan baik oleh Usamah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Usamah, bahwasanya ia berkata:
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَصَبَّحْنَا الْقَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ رَجُلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا غَشِينَاهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارِيَّ وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ قَالَ فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا قَالَ فَقَالَ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengutus kami ke Al Huraqah, salah satu daerah Juhainah. Lalu saat pagi hari kami menyerang mereka hingga dapat mengalahkannya, setelah itu aku dan seorang laki-laki Anshar bertemu dengan seorang laki-laki dari mereka. Ketika kami mendekatinya, lantas ia mengucapkan, ‘LAA ILAAHA ILLAALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). Maka laki-laki Anshar itu menahan diri untuk tidak membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku, hingga aku membunuhnya’. Usamah berkata, ‘Ketika kami telah tiba (di Madinah), peristiwa itu sampai pada NabiShallallahu alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan, “LAA ILAAHA ILLAALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah)? ‘ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia mengucapkan hal tersebut hanya sebagai tameng.’ Perawi berkata, “Rasulullah bersabda: “Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat tersebut? ‘Usamah menjawab, “Dan beliau masih saja mengulangi sabdanya itu kepadaku hingga aku berandai-andai bahwa aku belum masuk Islam pada saat itu’.”
Adapun Usamah bin Zaid, ini adalah kisah yang tersisa dari pembunuhan seorang muslim oleh seorang yang berjihad di bawah panji Rasululah yang telah mencampur darah yang maksum dengan takwil dhahirnya.
SYUBHAT: APAKAH AL BAGHDADI MENEGAKKAN SYARIAT ALLAH?
Saya katakan: di antara bab syariat yang paling jelas adalah bab nama-nama dan hukum, dan Al Baghdadi beserta Daulahnya telah tergelincir di dalam bab tersebut, karena mereka mengeluarkan sekelompok orang dari ranah iman tanpa ada alasan syar’i yang jelas dan tertib kemudian mereka menyusun hukum yang harus diterapkan kepada orang-orang tersebut, maka ini adalah ketergelinciran yang berbahaya dan jurang yang dalam.
Ibnu Taimiyyah berkata:
“terkadang sebagian kelompok ahlus sunnah ada yang memusuhi sebagian dari mereka, atau kelompok bid’ah tertentu (yang permusuhannya) melebihi apa yang diperintahkan oleh Allah, maka hal itu merupakan sikap israf seperti yang disebutkan di dalam perkataan mereka:
رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسۡرَافَنَا فِيٓ أَمۡرِنَا
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami.” [Qs. Ali Imran: 147]
Pangkal permusuhan ini adalah ketika orang-orang (yang dimusuhi oleh sekelompok ahlus sunnah) itu menyepelekan perintah mereka (sebagian kelompok ahlus sunnah) untuk mengikuti kebenaran, atau perintah mereka untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Alangkah bijak apa yang telah dikatakan oleh sebagian Ulama Salaf: “Tidaklah Allah mewajibkan suatu perkara bagi umat melainkan Syetan coba memalingkannya dengan dua cara – ia tidak peduli yang mana saja dari antara keduanya itu yang dimenangkannya, terkadang disuruh berlebih-lebihan dan terkadang disuruh mengurangkan dan semoga Allah menunjuki kita jalanNya yang lurus dan tiada upaya dan daya melainkan dengan izin Allah”.
Hudud yang paling besar dan paling serius adalah hudud bagi pelaku riddah, dan Al Baghdadi tergelinciri dalam pembahasan hudud yang satu ini.
Hak yang paling besar dan paling terperinci adalah darah dan harta, dan Al Baghdadi enggan untuk menunaikan hak tersebut dan menolak untuk mengembalikannya kepada orang yang menuntutnya.
SYARAT AHLUL HALLI WAL AQDI (AHLUL IKHTIYAR; ORANG-ORANG YANG MEMILIH KHALIFAH)
Al Mawardi berkata:
“Adapun Ahlul Ikhtiyar, maka mereka harus memenuhi tiga syarat, yang pertama adalah keadilan yang segala persyaratannya telah terpenuhi. Yang kedua adalah memiliki pengetahuan tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan-persyaratannya. Yang ketiga adalah memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling memberikan maslahat, serta mampu dan tahu tentang kebijakan-kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.” [Al Ahkam As Sulthaniyyah: 8]
Di dalam Ensiklopedi Fiqh Kuwait disebutkan:
“Para fuqaha’ mensyaratkan beberapa hal bagi Ahlul Ikhtiyar, yaitu: keadilan yang segala persyaratannya telah terpenuhi, mengetahui persyaratan imamah, cerdas, arif, mampu dan mengerti cara mengayom. Sedangkan kalangan Syafi’i menambahkan syarat lain, yaitu apabila Ahlul Ikhtiyar hanya satu orang, maka ia haruslah seorang mujtahid yang menguasai hukum-hukum imamah, sedangkan apabila ada beberapa orangAhlul Ikhtiyar, maka di antara mereka harus ada seorang mujtahid.” [Al Mausuu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait): 2/278]
Ibnu Basyir berkata: “Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pemilih imam ada tiga: tahu akan syarat-syarat imam, adil, arif dan cerdas sehingga mampu menopang tugas yang diberikan.” [Adz Dzakhirah: 10/25]
Sedangkan Ahlul Halli wal Aqdi Al Baghdadi adalah orang-orang yang mubham, yang mana kabar mengenai mereka dituturkan oleh orang-orang yang majhul, dan para ulama tidak berbeda pendapat untuk menolak kesaksian dan riwayat dari mereka seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, bahkan mereka tidak memenuhi satupun persyaratan yang ada, dan mereka tidak mampu menyingkirkan penghalang dari posisiAhlul Halli wal Aqdi tersebut, mereka dihukumi sebagai ma’dum (orang yang tidak ada).
Syaikhul Islam telah menyimpulkan sebuah prinsip, beliau berkata:
“Prinsip kelima: prinsip ini menyingkap rahasia sebuah permasalahan, yaitu orang yang majhul menurut pandangan syariat seperti orang yang tidak ada dan orang yang tidak mampu.” [Majmu’ Fatawa: 29/323]
Ibnu Rajab berkata di dalam Qawaid-nya:
“Kaedah ke 106: orang yang majhul menempati posisi orang yang tidak ada, meskipun sebenarnya sosoknya ada, apabila ia tidak bisa dicermati atau susah untuk dimintai keterangan, (maka sama saja ia tidak ada)” [Al Qawa’id Li Ibni Rajab]
Berdasarkan pembahasan tadi, maka dapat disimpulkan bahwa Al Baghdadi menerima jabatan kekhilafahan bukan melalui persetujuan dari Ahlul Halli wal Aqdi, bukan dengan cara mewariskan tahta, dan bukan dengan cara menaklukkan negeri-negeri kaum muslimin, dan tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu walaupun sedikit yang mengatakan bahwa penerimaan jabatan oleh dirinya ini merupakan sesuatu yang sah.
Kemudian taruhlah kita menganggap bahwa Ahlul Halli wal Aqdi bayangan ini telah memenuhi persyaratan yang ada, maka mereka tetap tertuduh sebagai orang-orang yang lemah, sehingga mereka tidak mampu untuk melakukan pemilihan, karena mereka berada di dalam area dan cengkeraman orang yang menguasai mereka (Al Baghdadi), penguasa ini bisa saja membiarkan mereka tetap eksis atau memecat mereka dengan sesuka hatinya.
Anggota Ahlul Halli wal Aqdi yang memilih Al Baghdadi adalah orang-orang yang telah ia tunjuk sebelumnya, ia memiliki kendali untuk membiarkan di antara mereka yang loyal, dan ia memiliki kendali untuk memecat orang yang melawannya.
Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa para ulama telah membolehkan bagi seorang khalifah untuk menentukan siapa saja yang menjadi anggota Ahlul Halli wal Aqdi berdasarkan dalil bahwa Umar menunjuk enam orang sahabat.
Maka saya akan katakan, bahwasanya Al Baghdadi telah menunjuk mereka sebelum ia berhak menunjuk, maksudnya sebelum ia menjadi khalifah gadungan.
Sedangkan Umar Radhiyallahu Anhu menunjuk mereka setelah ia berhak untuk menunjuk, atau setelah ia menjadi seorang khalifah.
Al Baghdadi menunjuk mereka, kemudian ketika tiba saatnya, mereka pun memilihnya sebagai seorang khalifah. Maka demi Allah, ini merupakan omong kosong terhadap agama, dan bermain-main dengan kaedah-kaedah syariat yang lurus.
Cukuplah baginya dosa yang nyata..
Seseorang menjalin hubungan erat dengan kroni-kroninya, lalu ia menyingkirkan lawan-lawannya, setelah itu ia menamakan kroni-kroninya tersebut dengan Ahlul Halli wal Aqdi, kemudian mereka menunjuknya sebagai seorang khalifah.
Kemudian ia memilih beberapa orang untuk menjalankan urusannya!!!
HUKUM ORANG AWAM YANG BUKAN ANGGOTA AHLUL HALLI WAL AQDI MENUNJUK SESEORANG SEBAGAI KHALIFAH
Anggapan paling baik adalah, Al Baghdadi ditunjuk sebagai khalifah oleh orang awam yang belum mampu memenuhi syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi. Sedangkan apa yang diusulkan oleh orang awam yang bukan ahli ikhtiyar, tentu saja tertolak.
At Taftazani berkata:
“Adapun jika ia diajukan (maksudnya imam) oleh orang yang bukan Ahlul Halli wal Aqdi, ia tidak mengetahui hukum-hukum imamah dan urusan-urusan agama, dan yang mengajukannya justru sebagian rakyat jelata, maka pengajuan tersebut tidak perlu dipertimbangkan, bahkan disepakati untuk tidak menindaklanjutinya, karena syarat bagi Ahlul Halli wal Aqdi adalah adil dan memahami hukum, hal itu sebagaimana yang tercatat di dalam nash.” [Syarh Al Maqashid]
Imam Ar Ramli Asy Syafi’i berkata:
“Adapun bai’at dari orang yang bukan Ahlul Halli wal Aqdi, yaitu dari kalangan awam, maka bai’atnya tersebut tidak dianggap.” [Nihayat Al Muhtaj: 7/390]
Apa yang kami katakan di atas adalah asumsi terbaik, namun jika menilik pada fakta sejatinya, maka sebenarnya Al Baghdadi diajukan sebagai khalifah oleh orang-orang yang muttahim, bahkan orang-orang yang ma’dum.
JUMLAH MINIMAL AHLUL HALLI WAL AQDI YANG DIBOLEHKAN UNTUK MELAKUKANPENGANGKATAN IMAMAH
Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai jumlah anggota Ahlul Halli wal Aqdi, sedangkan para penulis pro Al Baghdadi bersikeras memegang pendapat dibolehkannya akad bai’at walaupun dari satu orang saja.
Sebenarnya saya tidak mau membahas mana pendapat rajih yang telah dirajihkan oleh para ulama muhaqqiqin, seperti Ibnu Taimiyyah dan lainnya, sehingga saya dapat mengalahkan orang yang memegang pendapat yang marjuh, bahkan saya akan membuktikan bahwa pendapat marjuh yang menetapkan syarat yang paling mudah dan sepele untuk terjadinya bai’at, tidak mampu dipenuhi oleh khalifah gadungan mereka.
Para penulis pro Al Baghdadi gembira ketika mereka berhasil memotong paragraf para ahli ilmu yang membolehkan bai’at satu orang kepada imam.
Di antara yang mereka (para penulis pro Al Baghdadi) katakan adalah:
“Bahkan sebagian ulama berpandangan bahwa cukup –pembai’atan—dilakukan oleh seorang anggota Ahlul Halli wal Aqdi secara mutlak. Ini merupakan pendapat Abu Hasan Al Asy’ari sebagimana disebutkan oleh Al Baghdadi, dan Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Fashlu, 3/85. Demikian juga ucapan Al Ijiy dalam kitab Al Muwafiq, dan Al Qurthubi di dalam kitab Al Jami’ Li Ahkam Alquran, 1/269. Serta Al Baqalani dan lainnya, mereka berdalil dengan : peristiwa pembai’atan Abu Bakar As Shiddhiq Radhiyallahu Anhu, karena Umar bin Khathab Radhiyallahu Anhu, dialah orang yang membai’atnya.”
Dikarenakan sumber mereka bersumber dari copy paste dan memotong kalimat, maka ketika orang yang mudah dikelabui membaca penukilan dari para penulis tersebut, mereka akan tertipu dan mengira bahwa syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ahli ilmu telah terpenuhi pada diri khalifah gadungan mereka.
Sebenarnya yang mereka lakukan adalah memelintir tulisan ahli ilmu agar sesuai dengan hawa nafsu mereka dan agar mendukung kebid’ahan mereka, mereka juga memotong tulisan yang membantah kesesatan mereka dan menyingkap penyimpangan mereka.
Kalangan Syafi’iyyah yang membolehkan bai’at satu orang menambahkan satu syarat yang itu membantah kebid’ahan mereka, mengapa mereka tidak menyebutkan syarat itu?!!!
Syafi’iyyah memandang bahwa Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama, para pemimpin dan pemuka masyarakat, yaitu orang-orang yang identik dengan ketenaran, mereka mensyaratkan kepada satu orang dari kalangan Ahlul Halli wal Aqdi yang memberikan bai’at tersebut, ia haruslah orang yang ditaati.
Al Qalqashandi berkata di dalam Maatsir Al Anaqah, 1/42:
“Kedelapan: ia adalah pendapat yang paling shahih menurut sahabat-sahabat kami di kalangan Syafi’iyyahRadhiyallahu Anhum, pengangkatannya harus dilakukan oleh orang yang mudah untuk datang pada waktu pembai’atan, ia dilakukan oleh para ulama, pemimpin, para pemuka masyarakat yang identik dengan ketenaran, sehingga walaupun Ahlul Halli wal Aqdi hanya berjumlah satu orang maka itu sudah cukup, asalkan ia adalah orang yang ditaati.”
Yang mengherankan adalah para pendukung Daulah berdalil dengan perkataan Al Qalqashandi di atas untuk membuktikan bahwa tidak perlu ada keikutsertaan dari para seluruh penduduk negeri kaum muslimin dalam pembai’atan imam, akan tetapi cukup bagi orang yang bisa datang waktu ada bai’at. Mereka pura-pura lupa bahwa Al Qalqashandi berkata di dalam paragraf yang sama bahwa anggota Ahlul Halli wal Aqdi harus berasal dari kalangan ulama dan pemimpin yang identik dengan sifat yang tenar. Dan ini adalah sifat yang tidak cocok sama sekali dengan Al Baghdadi dan para anggota Ahlul Halli wal Aqdi-nya yang mubham tersebut.
Dan lagi, mereka memotong tulisan kalangan Syafi’iyyah mengenai Ahlul Halli wal Aqdi:
Kalangan Syafi’iyyah mengatakan jika ahli ikhtiyar berjumlah satu orang maka ia harus seorang mujtahid, dan jika mereka adalah sekelompok orang, maka di antara mereka harus ada seorang mujtahid. [Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah: 7/278]
Jadi apakah ada seorang mujtahid yang membai’at Al Baghdadi? Atau apakah ini hanya sekedar meng-cuttulisan?
Mereka juga mengomentari perkataan Abu Hassan Al Asy’ari:
“Sesungguhnya keimamahan sudah sah dengan bai‘at dari satu orang dari kalangan Ahlul Halli wal Aqdi.“
Mereka meng-cut syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi yang ditulis oleh Ibnu Fawrak, Ibnu Fawrak berkata:
“Ia berkata (maksudnya Abu Hassan Al Asy’ari) bahwa para mujtahid lah yang berhak menjadi anggota Ahlul Halli wal Aqdi, mereka harus bisa menjadi pengganti bagi para imam yang mereka pilih. Apabila karakteristik mereka seperti itu, barulah mereka sah untuk memilih, dan imam pilihan mereka juga sah.” [Mujarrad Maqalat: 190]
Maka apakah syarat yang diberikan oleh Al Asy’ari ini sudah bisa dipenuhi oleh para anggota Ahlul Halli wal Aqdi gadungan kalian itu?!!
Mereka juga memotong perkataan Al Asy’ari yang dinukil oleh Ibnu Fawrak:
“Adapun imam, maka yang bisa mengesahkan keimamannya adalah orang-orang yang mengangkatnya dan mereka merupakan ahli dalam hal itu.” [Mujarrad Maqalat: 190]
Mereka juga memotong syarat bagi orang yang diangkat sebagai imam:
Ibnu Fawrak berkata:
“Karakter seorang imam adalah ia haruslah seorang yang biasa menerangkan ilmu, kemampuannya dalam memahami dan kecerdasannya menonjol, kualitas dan keutamaan perilakunya dalam perihal agama terkenal, ia adalah orang yang paling jelas, begitu juga ia harus memiliki kemampuan dalam mengingat, pandai berpolitik, dan merdeka, yang mana itu semua menjadi bekal baginya untuk menjalankan tugasnya.” [Mujarrad Maqalat: 189]
Mereka juga merasa gembira ketika mendapati perkataan Al Baqalani:
“Apabila ada yang bertanya: berapakah jumlah orang yang sah untuk mengangkat seorang imam menurut pandangan kalian? Maka jawabannya: ia boleh diangkat dan sah oleh satu orang dari kalangan Ahlul Halli wal Aqdi.”
Mereka menggugurkan aturan-aturannya. Abu Bakar Al Baqalani berkata di dalam At Tamhid:
“Seseorang bisa menjadi imam hanya jika diangkat oleh orang-orang yang terpandangan dari kaum muslimin, mereka biasa disebut sebagai Ahlul Halli wal Aqdi dan mereka orang-orang yang bisa dipercaya dalam urusan ini.”
Jadi apakah ada orang-orang terpandang dan terpercaya di dalam jajaran Ahlul Halli wal Aqdi yang menagngkat Al Baghdadi?!!
Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang terpandang dan mereka adalah Ahlul Halli wal Aqdi, jika nama, sosok, kadar keilmuan, keimanan, kecerdasan dan keyakinan mereka tidak diketahui?
Begitu juga dengan Ibnu Hazm dan Al Qurthubi, keduanya tidak menerima pengangkatan imam dari rakyat jelata, orang-orang biasa dan orang-orang yang mubham, keduanya tetap mensyaratkan agar yang melakukan pengangkatan adalah Ahlul Halli wal Aqdi, Ibnu Hazm menamakan mereka sebagai orang-orang yang terkemuka.
Mereka (para penulis pro Daulah) berdalil dengan perkataan Al Juwaini:
“Apabila tidak disyaratkan adanya ijma’ di dalam pengangkatan imamah, maka tidak ada ketentuan akan jumlah tertentu, atau batasan tertentu, maka berdasarkan hukum, pengangkatan imamah bisa dilakukan oleh satu orang dari kalangan Ahlul Halli wal Aqdi.”
Serta perkataan beliau:
“Pendapat yang paling pas di mata Qadhi Abu Bakar adalah sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh kita Abu Al Hassan, yaitu imamah bisa menjadi sah walaupun dibai’at oleh satu orang dari kalanganAhlul Halli wal Aqdi.”
Mereka (para penulis pro Daulah) meng-cut syarat-syarat yang ditulis oleh Al Juwaini:
Imam Al Juwaini Rahimahullah berkata:
“Akan tetapi orang yang membai’atnya disyaratkan agar pembai’atan yang ia lakukan bermanfaat, baik dari segi kekuatan maupun kedigdayaan.” [Al Ghiyathi: 72]
Mereka tidak mau menyebutkan aturan-aturan dan rincian-rinciannya:
Di dalam Al Ghiyathi, Al Juwaini memperjelas perkataannya di atas dengan berkata:
“Yang saya lihat ketika Abu Bakar dibai’at oleh Umar, apabila ada orang-orang yang melakukan pemberontakan, kemudian terjadi perselisihan karena mereka tidak menerima pembai’atan tersebut, saya kiraimamah (Abu Bakar) tetap akan bertahan walaupun ia dibai’at oleh satu orang, begitu pula jika ia dibai’at oleh dua orang, atau empat orang, atau seterusnya. Pemerintahannya mampu untuk mengendalikan pemberontakan orang-orang yang tidak setuju, tatkala ada diantara mereka yang berselisih paham dalam kaidah kepemimpinan. Akan tetapi ketika Umar membai’at, semua orang ikut membai’at, telapak tangan saling bertemu, ketaatan tersebar luas, dan jamaah terbentuk.
Jadi menurut saya, suatu bai’at dapat diakui apabila ia mendatangkan para pengikut dan pendukung, yang dapat membentuk kekuataan yang riil, serta kekuasaan yang berdaya, yang mana jika ternyata muncul pemberontakan, maka para pengikut sang imam bisa mengalahkan para pemberontak. Apabila pembai’atan sudah benar-benar terjadi, kemudian kekuatan dan persiapan sudah terbangun dan terjalin, kekuasaan sudah terbentuk, ia sudah siap untuk berkuasa dan menunjukkan kedigdayaannya, eksistensi kepemimpinannya sudah terbukti, dan wilayah yang ia pimpin sudah dipastikan berjalan, (barulah bai’at tersebut menjadi sah). Ketika Umar membai’at (Abu Bakar), semua orang tergerak untuk mengikuti dan sepakat dengannya, dan tak ada seorangpun yang melawan dan menolak, semua orang menyatakan untuk memberikan ketaatannya sesuai dengan kemampuan mereka.”
Sedangkan kekhilafahan Al Baghdadi ditentang oleh mayoritas kaum muslimin, seluruh ahli ilmu yang memiliki pengaruh, dan para komandan veteran mujahidin.
Mereka (para penulis pro Daulah) juga gembira dengan perkataan Al Ghazali:
“Yang kami pilih adalah satu orang saja itu sudah cukup untuk membai’at imam.” [Fadhaih Al Bathiniyyah]
Mereka meng-cut rincian dan aturan dari beliau. Kami katakan: ketika Umar membai’at Abu Bakar, bai’at yang diberikan bukan hanya bai’at Umar, akan tetapi setelah itu ada orang-orang yang mengikuti bai’atnya, setelah ia berinisiatif, jika saja mereka tidak membai’at Abu bakar, tentu saja ia tidak diangkat sebagai imam waktu itu, karena syarat dari mengawali bai’at adalah tegaknya kekuatan, serta kecondongan masyarakat dan adanya kesediaan hati untuk membai’at.
Al Ghazali berkata:
“Yang kami pilih adalah satu orang saja itu sudah cukup untuk membai’at imam, namun orang tadi haruslah orang yang memiliki banyak pengikut dan memiliki kekuatan dan tidak dapat dipengaruhi, sehingga ketika ia condong kepada sesuatu, sejumlah besar orang akan ikut condong bersamanya, dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali orang-orang yang perselisihannya tidak diperhitungkan. Maka satu orang yang memiliki pengikut dan ditaati ini sudah cukup (untuk membai’at seorang imam), karena apabila ia sepakat, berarti mayoritas orang pun sepakat. Jika tujuan ini (kesepakatan dari rakyat) tidak dicapai kecuali satu atau tiga orang saja (yang sepakat), maka harus ada persetujuan dari mereka, maksudnya bukan setiap person harus berbai’at, akan tetapi (sejumlah orang yang mampu) mewujudkan eksisnya kekuatan sang imam berkat adanya pendukung dan pembela, dan ini hanya bisa diwujudkan oleh orang yang banyak pengikutnya.” [Fadhul Bathiniyyah: 176-177]
Al Ghazali mensyaratkan bahwa satu orang ini haruslah orang yang mempunyai pengikut, sehingga ketika ia condong untuk memilih seorang lelaki sebagai imam, maka sejumlah besar orang akan ikut condong kepadanya, orang ini juga haruslah orang yang memiliki kekuatan dan tidak mudah dipengaruhi.
Jadi wahai para pendukung Al Baghdadi, tunjukkan kepada saya – dan saya yakin bahwa sebagian besar dari kalian tidak tahu satupun nama dari Ahlul Halli wal Aqdi yang mengangkat sang khalifah gadungan ini – tunjukkan kepada saya satu orang saja yang membai’at Al Baghdadi namun ia adalah orang yang memiliki pengikut sehingga ketika ia condong untuk memilih Al Baghdadi, maka sebagian besar orang akan condong bersamanya!!
Mereka juga meng-cut rincian dan kesimpulan dari perkataan Al Ghazali:
“…Kami katakan ketika Umar membai’at Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma, maka pengangkatan imamah terjadi meskipun hanya ada bai’at darinya (Umar), namun setelah itu terjadi bai’at beruntun berkat inisiatif darinya, jika saja Abu Bakar tidak dibai’at oleh Umar, tentulah semua orang akan berselisih, atau opini mereka menjadi terbagi secara imbang, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah dalam pengangkatan imamah. Sesungguhnya syarat untuk memulai pengangkatan imam adalah eksisnya kekuatan dan adanya simpati dari rakyat kemudian diikuti dengan kemauan lahir batin untuk membai’at.” [Fadhul Bathiniyyah: 177]
Sedangkan secara lahiriah, jika kita meninjau kondisi sekarang, maka seluruh ulama, orang-orang terpandang, mayoritas kaum muslimin dan para komandan veteran yang diakui keadilan dan ke-tisqqahannya menolak bai’at tersebut dan menentangnya.
Kemudian Al Ghazali memberikan aturan dan rincian yang membantah kekhilafahan palsu mereka, beliau berkata:
“Karena tujuan yang kami inginkan dari seorang imam adalah menyatukan berbagai macam pandangan ke dalam satu pandangan untuk melawan hawa nafsu dan tidak bersepakat dengan keinginan yang tidak-tidak, serta syahwat yang berbeda-beda. Kecuali jika kekuatannya tampak, kejayaannya begitu besar, dan ketakutan terhadapnya sampai merasuk ke dalam hati…” [ibid]
Sedangkan kekhilafahan palsu ini justru memecah-belah persatuan dan menyatakan perselisihan setelah adanya kesepakatan, dan khalifahnya tidak diangkat oleh orang yang menyatukan perbedaan dan pandangan dengan memilihnya.
Kemudian beliau menyebutkan definisi dari kekuatan yang mana definisi itu menjatuhkan kekhilafahan mereka:
“kekuatan tidak akan tegak kecuali dengan adanya kesepakatan dari mayoritas orang terpandang di setiap zaman.” [ibid]
Sedangkan orang-orang terpandang di zaman ini dari kalangan ulama dan komandan veteran menentang kekhilafahan palsu ini.
Mereka (para penulis pro Daulah) merasa gembira dengan perkataan At Taftazani sementara mereka mengabaikan aturan yang beliau sebutkan. At Taftazani berkata di dalam Syarh Al Maqashid, 5/233:
“Pengangkatan imamah bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah bai’at dari Ahlul Halli wal Aqdi dari kalangan ulama, pemimpin dan para pemuka masyarakat yang memungkinkan untuk datang (pada saat pengangkatan), tanpa ada persyaratan jumlah orang ataupun kesepakatan dari seluruh negeri, jikalau anggota Ahlul Halli wal Aqdi hanya satu orang dan ia memiliki banyak pengikut, maka bai’at darinya sudah cukup.”
Mereka merasa gembira dengan perkataan Al Yafrani, sementara mereka juga mengabaikan syarat dan aturan yang belia sebutkan, Al Yafrani berkata:
“Ada delapan pendapat yang berbeda-beda mengenai jumlah minimal orang yang melakukan pengangkatan imam, di antara pendapat tersebut adalah pendapat Abu Al Hassan Al Asy’ari, Qadhi Abu Bakar dan Imam Al Haramain, mereka berpendapat bahwa pengangkatan imamah bisa dilakukan bagi siapa saja yang mampu dengan adanya bai’at dari satu orang dari kalangan Ahlul Halli wal Aqdi, jika ia faham akan Kitab Allah dan Sunnah serta bersifat adil dan wara’. Jika imam diangkat oleh orang seperti ini, maka semua orang wajib menta’atinya, jika (syarat-syarat tadi) tidak (terpenuhi), maka ia tidak berhak melakukan pengangkatan.“
Al Yafrani mensyaratkan bahwa Ahlul Halli wal Aqdi haruslah orang yang faham akan Kitab Allah dan Sunnah serta bersifat adil dan wara’, jika tidak, maka ia tidak berhak melakukan pengangkatan.
Lalu bagaimana caranya Ahlul Halli wal Aqdi mereka itu diketahui keadilan dan kewara’annya jika mereka saja adalah orang-orang yang mubham? Bagaimana mungkin para ahli ilmu mampu menghukumi orang-orangmubham tersebut sebagai para ulama yang memahami Kitab dan Sunnah, kemudian mempersilahkan mereka untuk mengangkat seorang khalifah gadungan, setelah itu membiarkan mereka begitu saja?!!
Perkataan Al Abi berikut ini menguatkan perkataan di atas:
“akan tetapi pengangkatannya membutuhkan satu orang yang dapat melakukan ijma’, jika dalam satu waktu tidak ada seorangpun mujtahid kecuali satu orang saja, maka ia ditetapkan (untuk melakukan pengangkatan) dan perkataannya dianggap sebagai ijma’. Begitu juga apabila tidak ada yang tersisa dari Ahlul Halli wal Aqdikecuali satu orang, maka ia boleh melakukan pengangkatan.” [Ikmalu Ikmal Al Muallim: 5/164]
Apakah dari ratusan juta umat islam ini tidak ada lagi anggota Ahlul Halli wal Aqdi yang tersisa kecuali segelintir orang-orang majhul itu?? Sungguh aneh!
Saya ingin menutup bab ini dengan perkataan Syaikh Islam:
“Sekiranya Umar dan sekelompok orang yang bersamanya membai’atnya (Abu Bakar), sedangkan seluruh sahabat menentang bai’at tersebut, maka ia tidak akan menjadi imam, karena ia menjadi imam berkat bai’at dari jumhur para sahabat yang mana mereka semua adalah orang-orang yang memiliki kekuatan; sehingga ketika Sa’ad bin Ubadah tidak setuju, ia tidak bisa mempengatuhi (pembai’atan tersebut), karena itu tidak mengacaukan tujuan dari pemerintahan. Tujuan pemerintahan sendiri adalah mewujudkan kemampuan dan kekuasaan yang dengan keduanya maka kemaslahatan imamah akan terwujud. Dan itu semua bisa tercapai dengan adanya kesepakatan dari jumhur.” [Minhaj As Sunnah: 1/530]
Saya katakan, jika orang semisal Umar dan beberapa orang sahabat saja tidak boleh melakukan pengangkatan khalifah jika mereka tidak disetujui oleh jumhur, – menurut pandangan Syaikh Islam –lalu bagaimana dengan segelintir orang-orang mubham yang menangkat seorang yang majhul ‘ain, dan mereka menyelisihi para ulama, para komandan dan para pemuka umat?!!
Bagian dua:
KEKHILAFAHAN DAN KEKUASAAN
Sebelum memulai bab ini, saya ingin katakan bahwa di kalangan para ulama muhaqqiqin (ulama peneliti) ada sebuah istilah, yaitu tanqih al manath wa tahqiqihi wa takhrijihi, sedangkan qiyas tidak mungkin dilakukan tanpa adanya pertimbangan ini dan dan kaedah-kaedah yang kokoh.
Tanqih al Manat: yaitu, penyaringan suatu alasan hukum dengan cara meniadakan perbedaan satu dengan yang lainnya, seperti : meniadakan perbedaan antara budak laki-laki dan perempuan.
Takhrij al Manat: yaitu menentukan alasan dari sebuah hukum, seperti menentukan alasan diharamkannya khamr, menentukan alasan larangan membentak orang tua, dan lain-lainnya.
Tahqiq al Manat: yaitu menerapkan alasan tersebut pada masalah-masalah yang belum disebut hukumnya dalam Al Qur’an atau Al Hadist.
Inilah yang banyak dilalaikan oleh para penuntut ilmu pemula sehingga mereka men-qiyaskan sebuah kota sebagai sebuah negara, itu dikarenakan mereka tidak menyaring bahkan tidak menentukan alasan hukum daritamkin (kekuasaan), karena itulah tahqiq al manath menjadi teramputasi dan miring.
Untuk menjelaskan ini, maka pertama-tama seharusnya mereka menentukan alasan hukum dari tamkin, kemudian menyaringnya dengan cara mencermati Kitabullah, Sunnah Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallamserta sirah beliau dan sirah para khulafa’ pengganti beliau. Setelah mereka menentukan alasan hukum dan menyaringnya, maka mereka harus men-tahqiq alasan tersebut dengan cara menerapkannya di dunia nyata setelah ada proses pembelajaran di lapangan dan memahaminya secara jelas tanpa disertai campur tangan egoisme dan emosi.
Mereka tidak boleh melihat nash-nash yang ada dengan mata telanjang dan dari satu sudut pandang saja, kemudian mereka mengamalkan apa yang menonjol dan tampak (dari nash-nash tersebut) serta mengabaikan apa yang tidak menonjol dan samar darinya, lalu menganggap nash yang mutasyabih sebagai muhkam, yangmansukh sebagai nasikh, yang muthlaq sebagai muqayyad, dan yang mujmal sebagai mufashal.
Jikalau mereka mengkaji Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, tentu mereka tahu bahwa alasan dari tamkin bukanlah menguasai wilayah beserta gunung-gunungnya, lembah-lembahnya, lautannya, dan sungai-sungainya, bukan pula menguasai sebagian atau keseluruhan dari wilayah tersebut. Alasan tamkin juga bukanlah agar kalian berperang untuk mendapat area terbuka, bukan pula untuk sekedar menakuti musuh sehingga mereka menyerah dalam keadaan rendah pada kalian, bukan pula agar kalian merasa aman dan tidak merasa takut lagi, semua alasan ini hanya menjadikan pelakunya merendahkan jihad dan memadamkan bara khilafah yang selama ini dielu-elukan.
Tujuannya juga bukan agar kamu bisa melukai dan membuat musuh menderita, bukan pula agar kamu bisa mencaplok wilayah yang kamu tidak memiliki kekuasaan di dalamnya, sehingga sahabat-sahabat dan anggota keluargamu merasa aman di dalamnya.
Semua alasan itu digunakan oleh pelakunya disebabkan ia tergesa-gesa untuk memanen hasil dan kurang sabar dalam menghadapi ujian.
Maka semua alasan-alasan itu tertolak.
Yang benar adalah, orang yang berhak atas tamkin adalah khalifah, dialah yang berhak menguasai wilayah, mengangkat para amir di sana dan menerapkan hukumnya, dialah yang harus melindungi orang-orang di dalamnya dari serangan pihak lain, kemenangan yang dihasilkan adalah miliknya dan dialah yang berhak berkuasa, dia bagaikan tameng yang menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang berperang bersamanya. Persis seperti apa yang pernah ada di Madinah Al Munawwarah.
Oleh karena itu tidak dapat disimpulkan sebuah tamkin itu dengan apa yang baru menimpanya. Ketakutan para Sahabat, jantung mereka yang hampir saja mencapai tenggorokan, Busur panah musuh dari kalangan Arab dan A’jam bersatu membidik mereka, akan tetapi tidak bisa meruntuhkan penguasaan mereka atas Madinah, inilah dia tamkin yang terbukti dan teruji, maka renungkanlah.
Adapun kekuasaan Daulah Al Baghdadi, maka ia belum tegak, terkadang menang namun terkadang kalah, terkadang ia terpukul mundur, namun terkadang mampu memperluas daerah. Meskipun perang belum selesai, para jendral dan para komandannya hanya bisa bersembunyi di dalam rumah mereka, bahkan dengan kekuatan yang mereka miliki, mereka tidak mampu mengamankan isteri dan anak-anak mereka, apalagi melindungi para wanita muslimah beserta anak-anak mereka dan orang lain.
Hal ini membuktikan akan ketakutan mereka dan lemahnya kekuasaan mereka, sehingga berdampak pada lemahnya dominasi dan cengkeraman mereka.
Al Baghdadi bukanlah tameng yang dapat digunakan untuk berlindung, bahkan ia sendiri tidak mampu untuk melindungi dirinya kecuali dengan cara bersembunyi, tanda-tanda dari analisa ini sangat jelas dan terang, contohnya ia tidak mampu untuk mendirikan shalat bersama kaum muslimin secara terang-terangan, apalagi untuk naik mimbar memberikan pidato secara terang-terangan, terlebih untuk memeriksa kondisi rakyatnya, selama ini ia melakukannya hanya melalui surat bersandi dan kurir.
Ini kondisi pada permulaan dan pada saat Al Baghdadi menjadi khalifah, kondisinya tidak bisa di-qiyaskan dengan kondisi seorang khalifah yang pada permulaan ia telah memenuhi syarat, namun kemudian ia merasa takut karena terjadi protes yang memaksanya untuk mundur di saat ia memimpin. Jadi kondisi khalifah yang takut dan terus bersembunyi sejak awal kepemimpinan hingga saat ia memimpin berbeda dengan khalifah yang pada permulaan hingga saat ia memimpin ia memiliki kekuasaan dan dominasi, kemudian terjadi protes yang memaksanya untuk mundur dan bersembunyi, seperti yang terjadi pada Utsman Radhiyallahu Anhu.
Seluruh gambaran di atas menyatakan bahwa Al Baghdadi tidak bisa mewujudkan tamkin yang riil, dimana hukum-hukum kekhilafahan bergantung kepadanya.
Adapun mengenai wilayah yang mereka klaim telah berhasil mereka kuasai, – dan ini adalah salah satu keajaiban zaman ini yang akan selalu dikenang – maka sebenarnya mereka sangat lemah, sampai-sampai untuk mengibarkan bendera saja mereka harus melakukannya dengan cara kamuflase, bukan terang-terangan. Sedangkan khalifah gadungan mereka, maka ia lebih lemah dari mereka, sehingga untuk menyelamatkan dan mempersiapkan kekuatan mereka saja ia tak mampu, apalagi untuk membuat musuh kesulitan.
Apabila kita memaksakan Al Baghdadi harus menjadi khalifah, tentu saja ia telah keluar dari batasan Islam; bagaimana bisa Yaman, Aljazair dan Libya ia anggap sebagai wilayahnya, apakah Pemerintah kafir dan murtad yang berkuasa disana telah membelot padanya??!!
Apakah di wilayahmu menegakkan hukum selain syariat Allah wahai Al Baghdadi?
Syaikh Al Maqdisi – semoga Allah segera membebaskan beliau – berkata:
“Di dalam sebuah hadits shahih, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda mengenai ciri-ciri imam yang mengemban tanggung jawab atas orang Islam:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Seorang imam itu ibarat perisai, seseorang berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” [HR Al Bukhari, Muslim dan yang lainnya].
Maknanya adalah seorang imam itu adalah tempat berlindung, dia itu tempat yang dapat memberikan rasa aman dan perlindungan bagi rakyat, dia bagaikan perisai dan tameng bagi mereka, karena sesungguhnya orang yang berlindung di balik perisai berarti dia telah menjaga dirinya dari serangan musuh”.
An Nawawi berkata: “Yaitu seperti perisai, karena ia menghalangi musuh dari menyakiti kaum muslimin, menghalangi manusia dari (menyakiti ) satu sama lain, melindungi keutuhan Islam, ditakuti oleh manusia dan ditakuti kekuasaannya”.
Dan ini telah ditafsirkan dengan apa yang disyaratkan oleh para Fuqaha’, berupa kewajiban Khalifah di antaranya menjaga keutuhan (jama’atul muslimin), menunaikan hak-hak kaum muslimin, menegakkan apa yang menjadi kewajiban mereka berupa penegakan jihad, menjaga dien mereka dan kepentingan-kepentingan dunia mereka, sehingga bila ia terhalang dari menegakkan hal itu, baik karena ia tertawan atau ia itu dicekal, atau lemah atau yang lainnya, maka ia itu tercopot dan tidak dianggap sebagai Imam atau Khalifah. Dan begitu juga andai dia itu mustadl’af (tertindas) lagi tidak memiliki daya dan kekuatan.
Tujuan imamah yang biasa dijelaskan oleh bukan hanya satu orang ahli ilmu saja adalah seperti yang disebutkan oleh Asy Syaukani:
“Menurut saya bahwa orang yang berhak mengurusi urusan imamah dan kekuasaan, maka syarat terbesar dan rukun yang paling menonjol yang harus ia tunaikan adalah, ia harus mampu untuk mengamankan jalanan, menegakkan keadilan bagi orang yang dizhalimi oleh orang-orang zhalim, mampu untuk mempertahankan kaum muslimin apabila mereka diserang oleh sesuatu yang menakutkan bagi mereka, seperti tentara kafir, atau bughat yang fajir, tanpa ada sikap lalai dan terbuai dengan kenikmatan. Apabila penguasa tadi memiliki ciri-ciri seperti itu, maka ia adalah seorang imam yang wajib ditaati dan haram ditentang.”
Bahkan para Ulama muhaqqiqin (peneliti) berpendapat bahwa ia wajib untuk dilengserkan apabila tidak mampu memenuhi syarat di atas.
Al Mawardi berkata:
“Apabila ia sakit jiwa, maka dicopot, begitu juga apabila ia mengalami kepikunan, atau indra penglihatannya rusak sehingga ia tak mampu mandiri maka ini adalah sebab dimana ia boleh dimakzulkan, maka sesungguhnya ia lengser (karena keterbatasan itu) sebagaimana sakit jiwa, karena tujuan imamah adalah melaksanakan tugas-tugas dan menjaga kepentingan masyarakatnya, dan memantau keadaan negerinya seluruhnya sampai daerah yang paling terpencil dengan matanya yang sempurna, jika kendala-kendala itu terjadi maka ciri Imam secara maknawi tidak terpenuhi.”
Hafizh Al Maghrib Abdul Hayyi Al Kattani berkata:
“Alasan syar’i yang menyebabkan terjadinya pelengseran adalah ketidakmampuannya dalam menjalankan pemerintahan apapun bidangnya, tidak mengurusi urusan kaum muslimin yang timbul. Apabila kondisinya seperti itu, bagaimana bisa dia layak untuk menerima jabatan kekhilafahan yang agung ini?? Bagaimana mungkin ia menjadi penguasa yang sah secara syar’i?? Kita berlindung kepada Allah dari memberikan julukan tersebut kepada orang seperti itu, tidak ada yang memberikannya kecuali orang yang binasa lagi membinasakan. Selama kondisi pemerintahan seseorang pada suatu waktu masih seperti itu, maka semua orang wajib mencari jalan keluar yang memberikan kemaslahatan kepada kaum muslimin, tanpa berbasa-basi.” [Ikhtishar Al mafakihah]
Para pendukung Al Baghdadi mengomentari perkataan Al Mawardi, Abu Ya’la dan para ulama lainnya berikut ini:
“Tidak diwajibkan bagi semua orang untuk mengetahui sosok dan nama sang imam, kecuali para ahli ikhtiyar (tim syura), yang pada mereka ada hujjah dan dengan mereka khilafah diangkat.”
Mereka mengira bahwa perkataan para fuqaha’ ini membolehkan pembai’atan kepada orang yang majhul dan mengesahkan pengangkatan imam oleh orang-orang yang majhul pula.
Sebenarnya perkataan ini bukanlah hujjah yang mendukung pendapat mereka, bahkan sebaliknya, karena yang dikatakan olehh Abu Ya’la di atas adalah: “Tidak diwajibkan bagi semua orang..” kemudian beliau berkata: “kecuali para ahli ikhtiyar, yang pada mereka ada hujjah dan dengan mereka khilafah diangkat.”Maksudnya Ahlul Halli wal Aqdi wajib mengenali sang imam.
Penentangan kami terhadap kalian bukan karena Al Baghdadi majhul di mata semua orang, akan tetapi karena Al Baghdadi adalah seorang yang majhul ‘ain menurut para ulama dan para pemuka yang mana mereka lah ahli ikhtiyar itu.
Kami juga menentang karena orang-orang yang mengangkatnya adalah orang-orang yang mubham, maka selanjutnya datangkanlah kepada kami pendapat syar’i yang membolehkan orang-orang mubham mengesahkan seorang majhul sebagai khalifah.
Mungkin ada yang menyanggah, bahwa kemajhulan Ahlul Halli wal Aqdi bisa diangkat karena para komandan lapangan mengenali mereka.
Maka saya akan menjawab: sesungguhnya hubungan antara para komandan lapangan dengan majelis syura Al Baghdadi lebih serupa dengan hubungan antara tuan dengan pembantunya atau pemilik dengan budaknya, karena para komandan lapangan itu tidak diperkenankan untuk meneliti mereka bahkan untuk mengetahui kondisi detail mereka, bahkan sebagian besar komandan tersebut tidak mengetahui mereka kecuali melalui mulut ke mulut yang itu sudah dilebih-lebihkan, kemudian dengan informasi tersebut, para komandan itu pun menyebarkannya di dalam barisan prajurit, agar mereka terkesan mulia di kalangan prajurit.
Al Hafizh Ibnu Atsir berkata di dalam Muqaddimah Jamiul Ushul: “Sesungguhnya keadilan membutuhkan pengalaman yang sempurna terhadap kondisi Syaikh.”
Yang terpenting dari ini, para komandan itu tidak menggunakan instrumen jarh dan ta’dil dalam menentukan siapa sebenarnya para ahli syura tersebut.
Ibju Hajar berkata di dalam Nuzhatun Nazhar, 113-155:
“Mereka tidak boleh menerima jarh dan ta’dil kecuali dari orang yang terkenal adil, tidak boleh menerima jarh dari orang yang berlebih-lebihan di dalamnya; sehingga ia men-jarh orang yang tidak melanggar syarat-syarat ditolaknya hadits. Sebagaimana tidak diterimanya tazkiyah (rekomendasi dari seseorang bahwa si fulan adalah orang yang baik – red.) dari orang yang mengenal seseorang secara lahirnya saja, lantas ia memberikan tazkiyah.”
Syaikh Abdul Aziz Al Abdul Lathif Rahimahullah berkata:
“Ada empat syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang men-ta’dil dan orang yang men-jarh:
- Adil
- Wara’, hal ini mencegahnya dari bersikap fanatik dan mengikuti hawa nafsu
- Sadar dan tidak lalai, agar ia tidak terkecoh dengan penampilan luar seorang perawi.
- Faham akan penyebab-penyebab jarh dan ta’dil, sehingga ia tidak men-jarh orang yang adil, dan men-ta’dil orang yang berhak di-jarh“. [Dhawabith Al Jarh wa At ta’dil, 1/26]
Al Qurthubi berkata:
“Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa orang-orang awam harus mengikuti para ulama, karena mereka lah yang dimaksudkan di dalam firman Allah:
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [Qs. An Nahl: 43]
(aliakram/arrahmah.com)