Amr ditangkap pada Maret saat tengah meminum teh dengan dua orang temannya di sebuah kedai kopi di pusat kota Kairo.
Empat bulan kemudian, remaja berusia 17 tahun tersebut telah berada di penjara, dituduh terlibat dengan Anshar Baitul Maqdis, sebuah kelompok perlawanan di Sinai yang mengaku bertanggung jawab atas serangkaian serangan terhadap pasukan Mesir.
“Kami tidak mendengar apa-apa mengenai dia selama 70 hari,” ujar adik Amr yang meminta untuk tidak disebutkan namanya kepada Al Jazeera.
“Kemudia kami menemukan bahwa ia berada selama seminggu di penjara militer Azouli, di mana ia disiksa secara brutal oleh polisi.”
Setelah berhari-hari penyiksaan, Amr mengaku sebagai anggota kelompok bersenjata.
“Dia telah menderita penyakit jantung sejak masih kecil,” ungkap salah satu teman Amr. “Dia disiksa dengan listrik dan khawatir ia bisa meninggal karena jantung lemah.”
Kisah Amr bukanlah sesuatu yang unik, kasus penyiksaan di dalam penjara Mesir dilaporkan meningkat sejak tindakan keras pasukan brutal Mesir dimulai pada pendukung presiden terguling Muhammad Mursi.
Abdallah juga dipenjara. Dia mengatakan dia disiksa setelah polisi menangkapnya setelah aksi unjuk rasa menandai ulang tahun ketiga revolusi Mesir 2011. Meskipun ia dikeluarkan pada bulan Maret, ia masih menghadapi tuduhan, termasuk kepemilikan senjata.
Istrinya mengetahui penyiksaan terhadap suaminya selama kunjungan keluarga.
“Mereka terus menyimpannya di cuaca dingin selama berjam-jam dengan tangan terikat di belakang punggungnya dan menyiramkan air dingin kepadanya,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Kisah lainnya mengenai Samir. Seorang remaja berusia 17 tahun berasal dari Sudan yang ditangkap pada Mei 2013, ketika Mursi masih berkuasa. Keluarganya mengatakan ia disiksa selama lebih dari tiga minggu.
“Mereka membawanya dari jalan Mohammed Mahmoud di pusat kota Kairo dan mereka membawanya ke kantor polisi Abdeen,” ujar ibu Samir.
“Mereka menuduhnya telah membakar mobil polisi, tetapi serangan itu terjadi sehari sebelum Samir tiba di pusat kota.”
Dalam penjara, ia disimpan di ruang bawah tanah dan sekelompok polisi memukulinya setiap hari, menurut ibunya.
“Mereka menahannya di sel satu meter persegi di ruang bawah tanah tanpa makanan atau kamar mandi,” ungkapnya.
“Ada lubang di tengah sel, bukan kamar mandi, dan itu dibersihkan lima hari sekali.”
Sejak dibebaskan bulan Maret tahun ini, Samir telah menderita masalah psikologis karena penyiksaan dan membutuhkan bantuan terapis, kata ibunya.
“Saat ini ia tidak bisa melihat orang yang mengenakan pakaian putih karena itu mengingatkannya pada penjara.”
Tuduhan penyiksaan di Mesi telah ada jauh sebelum revolusi 2011 yang menggulingkan diktator Hosni “Mubarak”.
Sebelum protes dimulai pada tahun 2011, Human Rights Watch (HRW) merilis sebuah laporan yang menguraikan peggunaan penyiksaan oleh negara, menyatakan bahwa pemerintah “Mubarak” secara implisit menyetujui kekerasan polisi.
Antara tahun 2006 dan 2009, Mesir mengajukan ratusan pengaduan yang merinci pelanggaran polisi, namun hanya enam petugas polisi yang dihukum karena penyiksaan.
Salah satu kasus yang paling menonjol adalah tentang Khaled Said yang dipukuli hingga tewas di luar sebuah kafe internet oleh dua polisi di Alexandria pada bulan Juni 2010. Setelah kasus tersebut menyebar karena perhatian media, demonstrasi dan halaman Facebook “We are all Khaled Said” yang menerima lebih dari empat juta “likes”, dua petugas polisi tersebut dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena pembunuhan. Kemudian hukuman diperpanjang sampai 10 tahun.
Kelompok ham memiliki kesulitan merekam penyiksaan yang lebih baru karena mereka dicegah mengunjungi korban yang berada dalam tahanan oleh otoritas.
“Kami melakukan wawancara terhadap orang-orang yang sudah dibebaskan karena kami tidak diperbolehkan untuk memasuki penjara Mesir,” ujar seorang juru bicara HRW kepada Al Jazeera.
“Sistem polisi Mesir perlu dirubah, penyiksaan adalah praktek terkenal yang belum berhenti dalam tiga tahun sejak revolusi,” lanjut HRW.
Bukti yang dikumpulkan oleh Amnesti Internasional dan HRW menunjukkan bahwa sejak Juli 2013, beberapa tahanan telah menghilang di penjara militer rahasia tanpa pengawasan yudisial.
Organisasi hak manusia Mesir juga telah mendokumentasikan 30 kasus orang yang diam-diam ditahan di penjara militer Azouli di dalam Kamp Galaa di Ismailia, sekitar 113 km dari barat laut Kairo.
Keluarga dan pengacara tidak diperbolehkan untuk mengunjungi tahanan di penjara-penjara militer. Amnesti Internasional mewawancarai beberapa orang yang selamat dari penyiksaan dan mereka mengatakan bahwa sekitar 400 tahanan ditahan tanpa tuduhan di penjara tiga lantai.
Otoritas Mesir membantah semua tuduhan yang dibuat oleh organisasi ham. Pada bulan Juli, Abdel Fattah Osman, kepala departemen hubungan masyarakat di kementerian dalam negeri menyatakan pada ONTV bahwa laporan mengenai penyiksaan tidak ada hubungannya dengan kenyataan atau logika. Dia mengklaim bahwa penjara Mesir telah menjadi “seperti hotel”.
Tapi keluarga korban penyiksaan membantah klaim tersebut.
“Anak saya tidak akan pernah menjadi seperti ini sebelum penahanannya,” ujar ibu Samir.
“Saya berharap bahwa suatu hari akan ada keadilan bagi semua orang yang hidupnya telah dihancurkan oleh Pasukan Keamanan Mesir.” (haninmazaya/arrahmah.com)