RAKHINE (Arrahmah.com) – Muslim di Myanmar menghadapi lebih banyak penganiayaan sejak terpilihnya Aung San Suu Kyi, dengan melakukan pembatasan dokumen identitas, tempat ibadah dan pembentukan desa-desa ‘bebas Muslim’, ungkap sebuah kelompok hak asasi manusia dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Selasa (5/9/2017), lansir Daily Sabah.
Penindasan terhadap komunitas Muslim menyebar di negara bagian Rakhine, barat laut Myanmar, di mana 90.000 anggota minoritas Rohingya – yang telah dianiaya – telah melarikan diri dari kekerasan dalam beberapa hari terakhir, menurut laporan dari Jaringan Hak Asasi Manusia Burma (BHRN).
“Menjadi seorang Muslim, saya tidak bisa pergi ke manapun di negara saya sendiri,” kata Kyaw Win, direktur eksekutif BHRN, saat peluncuran laporan tersebut di Bangkok.
Dia menyebut penganiayaan tersebut adalah sebuah “strategi yang sangat sistematis dan terkalkulasi,”, dimana pemerintah junta militer Myanmar melakukan pemantauan terhadap orang-orang yang beribadah di masjid-masjid dan membentuk setidaknya 21 desa yang melarang Muslim masuk.
BHRN mewawancarai lebih dari 350 orang di 46 kota sejak Maret 2016 untuk laporan tersebut, yang diterbitkan beberapa hari setelah kekerasan di Myanmar meletus.
Kekerasan meletus di negara bagian Rakhine di Myanmar pada 25 Agustus ketika pasukan keamanan negara tersebut melancarkan pempembataian terhadap komunitas Muslim Rohingya. Hal ini memicu masuknya pengungsi baru ke negara tetangga Bangladesh, meskipun negara tersebut menutup perbatasannya dengan para pengungsi.
Laporan media mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, menggusur ribuan warga desa Rohingya dan menghancurkan rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
Daerah ini telah mengalami ketegangan antara populasi Budha dan Muslim sejak kekerasan komunal terjadi pada tahun 2012.
(ameera/arrahmah.com)