Majid, bayi kecil yang lahir di tengah-tengah badai salju, Rabu pekan ini.
Ibunya, Iman, seorang pengungsi dari Raqqa di utara-timur Suriah, harus bergegas berjalan melintasi salju menuju ke rumah sakit terdekat untuk melahirkannya.
“Air masuk melalui atap dan dari tanah, merendam semuanya,” katanya. “Kami harus meminjam segala sesuatu dari tetangga, bahkan selimut, barang-barang kami semuanya basah.”
Suami Iman, Zakaria, mengatakan bahwa melalui kemurahan hati tetangga ia berhasil mengumpulkan 300.000 pound Lebanon (£ 122; $ 200) untuk membayar biaya rumah sakit untuk kelahiran Majid.
“Saya tidak punya uang sama sekali,” katanya. “Kami tidak punya roti, tidak ada gula, tidak ada kayu untuk api. Kami melihat anak-anak kami sekarat, dan tidak ada yang bisa kita lakukan.”
Ketika Majid kecil nanti tumbuh, dia akan menjadi akrab dengan kondisi di mana ia lahir dan di mana ia akan tumbuh–kecuali jika terjadi perubahan.
Para anggota keluarga hidup berdesak-desakan di tempat penampungan seadanya yang terbuat dari kerangka dari papan tipis dengan terpal plastik yang dipaku, untuk sekedar bisa tempat berlindung dari cuaca dingin. Mereka tidur di lantai di atas kasur spons murah di bawah tumpukan tebal selimut.
Karena suhu di luar turun di bawah titik beku akibat serangan musim dingin pertama, mereka meringkuk mengelilingi kompor di mana bahan bakarnya adalah segala sesuatu yang bisa dibakar, termasuk kotak plastik, sepatu tua dan barang-barang lain yang mengandung zat kimia, yang memenuhi ruangan dengan bau menyengat dan mungkin juga asap beracun.
Tidak ada air yang mengalir atau sanitasi. Toilet jauh di luar, dan terdiri dari sebuah lubang di tanah yang dikelilingi oleh bilik dari selimut compang-camping.
Dengan salju di tanah dan di udara, banyak anak-anak berjalan di antara gubuk-gubuk dengan mengenakan pakaian ringan yang cocok untuk musim panas, kaki mereka yang berlumpur dibalut sandal plastik.
Di pengungsian ini tampaknya belum ada terdapat bantuan dari salah satu organisasi bantuan internasional yang besar.
“Kita semua telah diberikan beberapa kayu dan plastik terpal untuk membuat gubuk-gubuk, dan yang diberikan oleh sebuah asosiasi amal,” kata Muhammad, yang berasal dari Raqqa tahun lalu.
Kenyataan bahwa ada beberapa kelompok pengungsi yang telah diabaikan, sebagian karena keengganan pemerintah Lebanon untuk mengizinkan pembangunan kamp-kamp resmi yang besar seperti di Yordania, Turki dan Irak, yang akan membuat pengiriman bantuan jauh lebih mudah.
Bahan-bahan tersebut disumbangkan oleh UNHCR dan IOM (Kantor Migrasi Internasional PBB Migrasi) – dalam sebuah operasi bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Ini adalah pertama kalinya tentara telah memainkan peran tersebut.
“Pada dasarnya ini adalah keadaan darurat,” kata Lisa Abu Khaled dari UNHCR.
“Dalam menghadapi badai tersebut, sumber daya sebanyak mungkin harus dimobilisasi, dan lebih mudah bagi tentara untuk mencapai tempat-tempat ini dan untuk mengangkut bahan, sehingga mereka turut membantu, tentu saja bersama dengan kementerian urusan sosial.”
Namun karena terbatasnya bantuan, banyak dari pengungsi yang mengeluh.
“Selama dua bulan, saya dan keluarga saya dengan tiga orang anak diberi jatah makanan,” kata Mamdouh, seorang pengungsi di Saadnayel di Beqaa pusat.
“Tapi kemudian tiba-tiba berhenti, dan kami diberitahu bahwa kami tidak lagi memenuhi syarat.”
Para pejabat UNHCR mengakui bahwa mereka dan badan-badan PBB lainnya harus mengurangi jatah mereka sampai 30% dari penerima, dibatasi kepada mereka yang betul-betul membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup.
Terbatasnya bantuan dibandingkan dengan kebutuhan yang diperlukan oleh jutaan pengungsi, membuat mereka benar-benar berjuang keras untuk sekedar bertahan hidup. (Ameera/arrahmah.com)