IDLIB (Arrahmah.id) – Pengungsi Suriah yang terlantar akibat serangan rezim Asad dan terpaksa berlindung di kamp-kamp di provinsi barat laut Idlib akan merayakan bulan suci Ramadhan jauh dari rumah mereka.
Para korban perang di Suriah, yang kini memasuki tahun ke-11, sedang mempersiapkan bulan puasa dalam kondisi sulit akibat kenaikan harga pangan dan pengangguran. Mereka juga merindukan rumah yang telah mereka tinggalkan akibat serangan terus menerus yang dilancarkan rezim Asad.
Warga sipil yang mengungsi di kamp-kamp Idlib sedang menunggu bantuan agar mereka dapat berpuasa dengan relatif nyaman sepanjang bulan Ramadhan.
Cemile al Ala, yang terlantar akibat serangan udara intens rezim tiga tahun lalu dan berlindung di kamp Azraq di utara Idlib, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa tidak ada peluang kerja dan keluarga mereka di wilayah tersebut menderita kekurangan sumber daya.
Um Ala, seorang ibu enam anak berusia 64 tahun, mengeluh, “Saya memiliki banyak properti di desa. Saya punya uang dan bebas makan apa pun yang saya inginkan. Sekarang kami tidak punya apa-apa.”
Dia menyebutkan bahwa mereka harus meninggalkan desa mereka karena serangan terus-menerus oleh pasukan rezim, dia berkata, “Ramadhan di sini tidak seperti Ramadhan di desa. Sulit mencari nafkah di sini.”
“Keluarga tidak punya cukup uang untuk membeli roti. Kami tidak punya uang untuk dibelanjakan,” ungkapnya.
Fatima Omar, warga sipil pengungsi lainnya, menyatakan, “Di desa kami, Ramadhan menyenangkan. Saudara-saudara saya cukup dekat dengan saya. Kami semua tinggal di rumah yang sama.”
Dia menekankan betapa “sulitnya” untuk bergaul di kamp, dengan mengatakan, “Pria dan wanita di kamp tidak dapat menemukan pekerjaan.”
“Udara sudah mulai panas, bahkan sebelum musim panas tiba, dan kami tidak bisa duduk di tenda,” dia berharap ada donasi dari dunia internasional untuk memberi mereka dukungan perumahan briket.
Mengacu pada kondisi kehidupan yang sulit, dia berkata, “Ramadhan telah tiba. Semuanya sangat mahal. Orang-orang hampir tidak dapat membeli satu potong roti.”
Khalid Hamud, warga kamp pengungsi lainnya, juga mengatakan bahwa mereka kekurangan layanan dasar dan perlengkapan hidup di kamp tersebut.
Dia menggambarkan kehidupan di tenda sebagai tantangan, dan mengatakan, “Di desa, kami memiliki rumah, air, dan listrik.”
“Semua orang di keluarga dapat memenuhi kebutuhan berkat uang yang mereka peroleh dari ladang mereka,” jelasnya, dis menambahkan bahwa kami melihat tangan orang lain di kamp.
“Orang yang berbeda membawa air, dan orang yang berbeda membawa roti, dan seterusnya,” katanya.
Ahmed al-Ahmed, yang menekankan bahwa Ramadhan lebih indah di desa, juga mengatakan bahwa tendanya kebanjiran di musim dingin dan cuaca sangat panas di musim panas.
Dia menyatakan, “Kami memiliki properti, tetapi kami harus pindah. Hidup sangat sulit di sini.”
“Bazarnya jauh, dan kami tidak punya sarana untuk bepergian ke sana. Kami tidak bisa berlindung dari hujan atau panas di tenda,” keluhnya.
Suriah telah terkungkung dalam perang yang kejam sejak awal 2011 ketika rezim menindak keras demonstran yang menggelar aksi protes.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, 6,7 juta orang telah mengungsi, sementara setidaknya 14 juta warga sipil di Suriah membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Sebuah pernyataan PBB pada September 2021 mengatakan jumlah kematian yang dikonfirmasi dalam perang Suriah adalah sekitar 350.000 jiwa, sedangkan angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.
Rezim Asad menyiksa setidaknya 14.449 orang hingga tewas. Menurut sumber oposisi, pasukan rezim masih menahan sekitar 400.000 orang. (rafa/arrahmah.id)