IDLIB (Arrahmah.id) — Muhammad Alloush (60) mengatakan bahwa besarnya gempa yang terjadi kemarin membuat rumahnya seperti terombang-ambing di lautan.
“Rumah kami terombang-ambing seperti gelombang laut,” kenang Alloush yang mengungsi dari kota Homs ke Sarmada, Idlib, kepada Al Jazeera (6/2/2023).
“Tangan saya terluka oleh puing-puing yang jatuh saat saya melindungi cucu perempuan saya, yang menunda keluarnya kami dari rumah dan akibatnya saya menderita sejumlah luka ringan lainnya,” ujar pria beranak delapan ini.
Dengan berlinang air mata, Alloush mengatakan anggota dari dua keluarga lain yang tinggal di gedung yang sama tidak dapat tiba tepat waktu.
“Saya berharap tetangga saya akan diselamatkan,” tambahnya.
“Ketakutan yang kita saksikan hari ini hanya bisa digambarkan mirip dengan Kiamat.”
Sebelumnya, pada pukul 04:17 (01:17 GMT) hari Senin (6/2) waktu setempat, gempa berkekuatan 7,8 skla richter mengguncang Turki tenggara dan Suriah barat laut, menyebabkan kematian dan kehancuran yang meluas.
Ribuan orang tewas, terluka, dan kehilangan tempat tinggal di bagian Suriah yang dikuasai oposisi setelah gempa besar karena infrastruktur yang sudah melemah akibat pemboman.
Getaran dahsyat, yang berpusat di provinsi Kahramanmaras Turki, telah memaksa korban selamat di seluruh wilayah Idlib dan pedesaan utara Aleppo untuk berlindung di jalan-jalan dan lapangan umum di tengah kondisi cuaca yang sangat dingin.
Anak-anak, wanita, dan orang tua tidur di udara terbuka tanpa sumber panas untuk melindungi mereka dari hawa dingin, sementara banyak pemuda pergi membantu tim penyelamat mencari korban selamat di bawah reruntuhan bangunan yang runtuh.
Anggota Pertahanan Sipil Suriah, atau White Helmets, sebuah kelompok penyelamat yang beroperasi di bagian-bagian Suriah yang dikuasai oposisi, mengatakan infrastruktur yang ada di wilayah barat laut sudah dilemahkan oleh pemboman yang tak henti-hentinya.
“Tim kami bekerja sepanjang waktu untuk menyelamatkan mereka yang terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang hancur. Lebih dari 133 bangunan hancur total dan 272 hancur sebagian, sementara ribuan lainnya tidak lagi kokoh secara struktural,” Ismail Abdullah, seorang relawan penyelamat, mengatakan kepada Al Jazeera.
Saat tim pertahanan sipil dan relawan terus mencari korban selamat, tekanan meningkat pada rumah sakit di barat laut Suriah, yang tidak memiliki perlengkapan untuk merawat sejumlah besar korban luka.
Dr Osama Abu al-Ezz, direktur lapangan di Syrian American Medical Society (SAMS), organisasi nirlaba yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Suriah, menggambarkan gempa tersebut sebagai bencana besar.
“Di rumah sakit SAMS, kami merawat lebih dari 550 orang yang terluka akibat puing-puing rumah yang hancur, dan kami menerima jenazah 120 orang,” ujarnya.
Abu al-Ezz menyerukan upaya bersama untuk meningkatkan kemampuan yang ada untuk merawat yang terluka, yang diperkirakan akan meningkat jumlahnya saat operasi pencarian dan penyelamatan berlanjut.
Petugas penyelamat dan kelompok hak asasi manusia juga meminta masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah guna memberikan bantuan kepada para penyintas dan menyelamatkan warga sipil.
“Di tengah badai musim dingin dan krisis biaya hidup yang belum pernah terjadi sebelumnya, sangat penting bahwa warga Suriah tidak dibiarkan menghadapi akibatnya sendiri,” kata Dewan Pengungsi Norwegia dalam sebuah pernyataan, memperingatkan bahwa bencana akan memperburuk.
Kondisi kehidupan penduduk yang telah berjuang dengan dampak yang menghancurkan dari hampir 12 tahun konflik.
“Jutaan orang telah terpaksa mengungsi karena perang di wilayah yang lebih luas dan sekarang lebih banyak lagi yang akan terlantar akibat bencana.” (hanoum/arrahmah.id)