Ketika Muhammad meninggalkan kota Raqqa, Suriah pada awal tahun 2011, mencari pekerjaan dan menghindari wajib militer di negaranya, Sudan tampak seperti tempat yang bagus untuk pergi.
Warga Suriah diizinkan untuk memasuki negara itu tanpa visa, dan di sana, mereka menikmati hak dan pelayanan yang sama seperti warga Sudan-seperti akses ke pendidikan dan kesehatan. Dan tidak seperti negara Arab lainnya, warga Suriah yang pergi ke Sudan mendapatkan perlakukan khusus ketika mereka mengurus izin tinggal.
Namun Muhammad tidak pernah membayangkan bahwa hanya beberapa bulan setelahnya, setelah revolusi dan kemudian perang pecah di negaranya, keluarganya terpaksa untuk mengikutinya ke Sudan.
Tamu, bukan pengungsi
Setelah revolusi Suriah, hidup menjadi lebih sulit di sana, ujar pria berusia 26 tahun tersebut.
“Keluarga saya harus melarikan diri.”
Sekarang keluarganya termasuk di antara 60.000 pengungsi Suriah yang menurut Menteri Luar Negeri Suriah, Ali Al-Sadiq Ghandour, berada di negara tersebut.
Bagi mereka itu adalah pilihan yang jelas, tidak hanya karena Muhammad sudah berada di sana, tetapi karena mereka telah mendengar bahwa Sudan lebih ramah daripada negara lain.
Kerabat yang telah pergi ke Turki berbicara tentang bantuan yang diberikan, tetapi mereka merasa tidak diinginkan. Namun Sudan, menurut Muhammad, ia tidak merasa seperti pengungsi.
Ibukota Sudan, Khartoum, sudah menjadi tuan rumah sebuah komunitas yang didirikan untuk imigran Suriah yang kehadirannya paling sangat dirasakan di restoran populer, kafe, salon kecantikan dan toko pakaian. Itu juga merupakan refleksi dari keramahan yang telah terkenal di Sudan.
Seorang warga Sudan yang memiliki toko di Khartoum, Khalid, adalah salah satu contoh khas. Berdiri di antara rak-rak tokonya yang berisi susu bubuk, cokelat dan biskuit, ia menjelaskan: “Mereka diterima di sini.”
“Warga Suriah adalah tamu di negara saya, bukan pengungsi. Suatu hari mudah-mudahan mereka bisa kembali. Tapi mereka bisa tinggal di sini layaknya kami,” ujar Khalid kepada Al Jazeera.
Menurut perkiraan terbaru PBB, pada akhir 2015, mungkin terdapat sekitar 460.000 pengungsi dan pencari suaka dari berbagao negara di Sudan.
Tetapi untuk semua kemurahan hati tuan rumah mereka, kehidupan di Sudan masih sulit bagi Muhammad dan keluarganya.
“Sudan memiliki masalah sendiri,” ungkap Muhammad.
“Ini adalah negara yang mahal dan sulit untuk bertahan hidup jika kalian tidak membangun ekonomi yang kuat.”
“Orang-orang tidak melihat ke bawah terhadap kami dan kami diizinkan untuk membuka usaha sendiri dan melanjutkan hidup, tetapi bagi
mereka sama halnya seperti kami, yang tidak memiliki pendapatan yang kuat, kehidupan di sini terasa seperti tertahan.”
Namun, katanya, mereka setidaknya diperlakukan seperti manusia di Sudan, dibandingkan dengan pengungsi Suriah yang pergi ke negara-negara Arab lainnya.
Muhammad kini tinggal bersama saudara kembarnya, Ali, ibu mereka Leyla, adik perempuan mereka Mariam dan saudara laki-laki mereka yang terkecil Hassan, di sebuah apartemen kecil dengan dua kamar tidur di ibukota.
Ayah mereka masih di Raqqa, tidak bisa melarikan diri karena harus melunasi hutang kepada penyelundup yang melarikan Mariam keluar dari Suriah.
“Itu tidak mudah,” jelas Muhammad. “Kami berada dalam lingkaran hutang.”
Pembayaran tetap seiring dengan tingginya biaya hidup di Sudan membuat kehidupan mereka semakin sulit. Namun mereka bersyukur karena adik mereka bersama dengan mereka.
Mariam bergabung dengan keluarganya di Sudan pada awal tahun ini. Seorang gadis yang pemalu dan lembut, dia mendengarkan saat kakaknya berbicara dan tidak banyak berbicara.
“Putri saya telah menyaksikan banyak hal,” ujar ibunya, Leyla.
Mariam sekarang bekerja bersama ibunya di salon wanita, di mana lagu-lagu Mesir sering diputar keras.
Di Suriah, Leyla memiliki salon sendiri. Tidak mudah baginya menyesuaikan diri dengan bekerja untuk orang lain.
“Ibu saya, saudara kembar saya dan saya harus bekerja untuk bertahan hidup,” jelas Muhammad.
“Biaya hidup sangat mahal di sini. Biaya sewa sangat mahal. Daging dan buah-buahan juga sangat mahal,” ujarnya menambahkan.
“Saya ingin menikmati buah-buahan untuk beberapa tahun belakangan, sebuah kemewahan yang kami tidak mampu untuk mendapatkannya.”
Sewa bulanan untuk apartemen mereka adalah 1.700 USD, biaya listrik, air dan transportasi juga sangat mahal.
“Semuanya mahal, jika kita tidak bekerja, kita tidak akan dapat bertahan hidup di Sudan.”
Dia berharap bisa menyekolahkan adik-adiknya, tetapi tidak ada sekolah negeri terdekat dan mereka tidak mampu membayar pendidikan swasta.
“Masa depan mereka hancur. Mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak mengenyam pendidikan,” ujar Muhammad yang kini bekerja sebagai tukang batu bersama saudara kembarnya.
Sangat berbeda dari apa yang mereka rasakan di Suriah (sebelum perang).
Sekarang, Muhammad dan Ali memulai kerja mereka pukul 05.00 dan bekerja sampai pukul 17.00. Jika mereka kehilangan satu hari kerja, konsekuensi keuangan bagi keluarga mereka akan mengerikan.
“Anda harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan di sini,” ujarnya. “Sulit bagi penduduk setempat dan kami tidak mengharapkan mereka untuk membuat pengecualian bagi kami. Tapi setidaknya mereka tidak mempermalukan kami karena kami pengungsi Suriah.”
Namun Muhammad dan keluarganya tidak ingin menetap di Sudan. Mereka berharap bisa menyimpan cukup uang untuk membayar penyelundup untuk membawa mereka ke Libya dan dari sana mereka akan pergi ke Italia.
“Tak ada yang tersisa di Suriah, negara kami telah hilang, hilang.”
Tetapi dia mengatakan bahwa dia harus melanjutkan hidup.
“Yang harus saya lakukan adalah bekerja, mengumpulkan uang, jadi saya bisa pergi.”
Ketika Leyla pertama kali bergabung dengan Muhammad dan Ali di Sudan, mereka menerima dukungan dari organisasi yang didirikan oleh pengusaha Suriah di negara itu.
Abdurrahman Aldimashqi adalah salah satu dari warga Suriah yang mendirikan organisasi. Dia mengatakan bahwa ketika pengungsi Suriah pertama mulai tiba di Sudan, beberapa akan mengemis di Masjid-masjid. Jadi kelompok mapan Suriah berkumpul untuk melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Mereka sekarang menyediakan paket makanan dan dukungan keuangan untuk para pendatang baru.
Mereka mengklasifikasikan pengungsi menjadi tiga kelompok. Yang pertama adalah yang membutuhkan makanan dan uang untuk membantu mereka membayar sewa. Yang kedua adalah yang hanya membutuhkan bantuan pangan dan ketiga adalah mereka yang membutuhkan bantuan untuk menemukan pekerjaan.
Leyla mengatakan organisasi itu membantu banyak keluarga, tapi ketika dia mulai bekerja, organisasi itu mengklasifikasikan keluarganya sebagai orang-orang yang tidak lagi membutuhkan dukungan.
“Mereka menganggap kami sebagai keluarga yang tidak lagi membutuhkan dukungan karena kami bekerja,” ujar Leyla kepada Al Jazeera.
Muhammad dan saudara kembarnya telah terdaftar sebagai pengungsi Suriah dalam daftar PBB. Namun dia mengatakan PBB tidak memberikan dukungan emosional ataupun keuangan.
“Mereka tidak melakukan apa-apa bagi saya,” ujar Muhammad.
“Mereka tidak memberi kami uang, kami tidak menerima sepeser pun dari mereka.”
“Saya bertemu dengan beberapa orang yang berbeda dari PBB, salah satu dari Italia, yang lain dari Swedia, yang lain dari Jerman dan satu dari Inggris. Mereka terus menjanjikan bahwa mereka akan menindaklanjuti dan melakukan sesuatu untuk mai, tapi sejauh ini tidak ada. Tidak ada pemukiman di tempat lain atau jawaban,” katanya.
“Kami pengungsi, bukan pengemis.”
Dan ketika mereka pergi ke pertemuan PBB, Muhammad mengatakan mereka bisa menunggu selama lima jam.
“Kami pengungsi, kami orang yang membutuhkan bantuan, dan mereka seharusnya membantu kami, tetapi mereka tidak melakukannya,” ungkapnya.
“Setiap kali saya harus ke wawancara ini, saya kehilangan uang. Kita harus mengambil waktu libur bekerja yang berarti hilangnya pendapatan, kami mengeluarkan banyak uang untuk transportasi, tetapi pada akhirnya mereka tidak melakukan apa-apa untuk membantu kami dan mereka memperlakukan kami seperti pengemis.”
“Kami pengungsi, kami tidak memiliki pilihan, kami bukan pengemis,” ujarnya.
Ketika Leyla, ibu mereka, ditanya apakah dia ingin kembali ke Suriah, Leyla melihat ke bawah dan mengambil nafas dalam-dalam kemudian mulai menangis.
“Ketika kami meninggalkan Suriah, aku mereka aku terpukul dengan kencang di tubuh dan jiwaku,” katanya. “Tidak ada yang ingin meninggalkan negara mereka.”
“Tapi Suriah sudah tidak ada lagi. Suriah sudah hilang.”
“Saya merasa terasing di sini. Saya takut mendengar berita dari Suriah, saya berhenti menonton berita. Saya tidak ingin mendengar berita buruk tentang keluarga saya yang masih ada.” (haninmazaya/arrahmah.com)