KAIRO (Arrahmah.com) – Pengungsi Suriah Ahmad Al-Khatib dan putranya yang berusia 16 tahun, keduanya bekerja sebagai pengemudi tuk-tuk di Kairo, tetapi itu tidak cukup untuk membayar berbagai tagihan.
Perekonomian yang sulit dan kenaikan harga, telah menghantam para pengungsi dan migran di Mesir khususnya, ujar kelompok bantuan seperti dilansir Reuters (10/4/2019).
Bantuan dari badan amal adalah satu-satunya cara Khatib dapat membayar sewa tempat tinggal keluarganya. Dia juga meminjam uang dari temannya.
“Bagaimana saya akan membayar mereka?” Ungkapnya.
Lebih dari 77 persen keluarga Suriah di Mesir berhutang pada 2017, naik dari 73 persen tahun sebelumnya, menurut data yang tidak dipublikasikan yang dilihat oleh Reuters dari survei UNHCR terhadap lebih dari 100.000 warga Suriah.
Hampir 93 persen keluarga tidak mampu membayar kembali pinjaman, naik dari 81 persen pada 2016, tahun ketika Mesir mendevaluasi mata uangnya sebagai bagian dari kesepakatan pinjaman IMF.
Mesir memiliki populasi pengungsi yang jauh lebih kecil daripada Yordania, Lebanon, dan Turki, tempat sebagian besar pengungsi akibat perang Suriah melarikan diri. Tetapi para pengungsi dan pencari suaka tinggal di komunitas-komunitas Mesir daripada di kamp-kamp, dan mereka mengalami kesulitan ekonomi.
Kedatangan pengungsi dan pencari suaka telah melonjak, dengan peningkatan sekitar 25 persen yang terdaftar selama dua tahun terakhir, data UNHCR menunjukkan.
Reformasi ekonomi tidak hanya membuat hidup lebih sulit bagi warga Suriah. Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan permintaan bantuan dengan biaya perumahan, biaya pengobatan dan biaya untuk kembali, mulai meningkat pada bulan Juni dan meningkat lebih dari dua kali lipat sejak September. Mayoritas berasal dari Sudan dan Ethiopia.
“Kami percaya itu adalah konsekuensi dari reformasi ekonomi dan pemotongan subsidi gas, yang telah menyebabkan peningkatan biaya barang-barang dasar,” kata Laurent De Boeck, kepala IOM di Mesir.
(haninmazaya/arrahmah.com)