TASHKENT (Arrahmah.com) – Pemerintah Uzbekistan telah menutup perbatasan dengan dalih pihaknya kewalahan menampung gelombang pengungsi yang melarikan diri dan mencari perlindungan dari kerusuhan etnis di Kyrgyzstan.
Wakil Perdana Menteri Uzbek, Abdullah Aripov, seperti dilansir PressTV, mengatakan pada hari Senin (14/6) bahwa negaranya tidak akan menerima lebih banyak pengungsi.
“Hari ini kami berhenti menerima pengungsi dari Kyrgysztan karena kami tak lagi punya tempat yang cukup untuk mengakomodasi mereka,” kata Aripov.
Sudah ada sekitar 45.000 pengungsi dewasa yang berada di Uzbek sejak terjadinya bentrokan di negara tetangganya empat hari lalu.
Dalam laporan terbarunya, UNHCR mengatakan bahwa hampir 80.000 pengungsi yang menetap di kamp-kamp sepanjang perbatasan.
Yves Giovannoni, kepala Palang Merah Internasional Asia Tengah, mengatakan sebagian besar pengungsi sejauh ini tinggal di tempat-tempat penampungan sementara.
“Sebagian tinggal di tempat saudara mereka di Uzbek, namun kebanyakan tingga di kamp-kamp sementara, seperti tempat parkir, sekolah-sekolah, dan pabrik-pabrik. Mereka benar-benar membutuhkan uluran tangan otoritas Uzbekistan dan komunitas internasional,” ujar Giovannoni, dikutip Al Jazeera.
Pemerintah interim Kirgistan telah memberlakukan jam malam di bagian selatan negara tersebut. Selama terjadi bentrokan, lebih kurang 125 orang telah tewas. Wilayah Osh, yang merupakan tempat minoritas Uzbek tinggal, telah berubah menjadi wilayah yang sangat mengerikan, menjadi tempat pembantaian, penjarahan, dan pembakaran.
Pemerintah saat ini mengklaim situasi di wilayah ini stabil.
Sebagai negara yang pernah menjadi salah satu wilayah yang dikuasai oleh imperium Uni Soviet dan saat ini menjadi tempat yang penting bagi AS (karena pangkalan udara Manas, salah satunya), situasi politik di Kyrgyzstan memang selalu tidak menentu. Kondisi ini semakin parah pasca terjadinya pemberontakan yang menggulingkan mantan Presiden Kurmanbek Bakiyev selama bulan April lalu. (althaf/arrahmah.com)